Menapaki Sejarah, Membaca Seni Rupa

Putu Sutawijaya di depan <a href='https://tembi.net/id/news/berita-budaya/menapaki-sejarah--membaca-seni-rupa-5391.html'> seni</a>lukis karyanya bersama dengan dua orang pengunjung di Sangkring Art Space, foto: Sangring
Panglima Kesetiaan, karya Putu Sutawijaya

Rasanya, pameran senirupa yang diselenggarakan Gajah Gallery, dengan mengambil tempat di Sangkring Art Space 18-26 Nopember 2013 adalah upaya untuk menapaki sejarah sekaligus membaca senirupa Indonesia. Pada pameran ini, untuk ‘membuka’ pintu sejarah senirupa Indonesia, ditampilkan lukisan karya Affandi, S.Sudjojono, Soedibio dan Sudjana Kerton

Empat tokoh senirupa di Indonesia tersebut, sampai hari ini, meski mereka telah meninggal, karya-karyanya tidak lepas dari perbincangan, dan harganya termasuk ‘melangit’, karena nilainya bilangan milyar. Ada yang menyebutnya, memiliki lukisan dari keempatnya, seperti mempunyai harta karun.

Dari keempatnya tidak ditandai angka tahun, namun ‘dianggap’ sebagai peletak sejarah senirupa Indonesia. Affandi menyajikan lukisan tahun 1964, yang berjudul ‘Chained Boar’. S.Sudjojono lukisan berjudul “Me and three Venuses, yang dibuat tahun 1974, dan Soedibio karyanya berjudul ‘To You People of Jogja’, dibuat tahun 1949. Yang terakhir, Sudjana Kerton menampilkan karya berjudul ‘The Corn Eater” dibuat tahun 1988.

Dari keempat karya pelukis besar di atas, agaknya kita diminta atau diajak untuk menelusuri ‘jejak-jejak’ senirupa Indonesia, dan masuk pada era 1950-an di mana Rusli ditampilkan dengan karya ‘Garuda’. Karya Rusli khas, garis-garis dan warna, yang membentuk satu konstruksi, dan kita akan segera mengenali sebagai burung garuda,

S.Sudjojono salah satu peletak dasar <a href='https://tembi.net/id/news/berita-budaya/menapaki-sejarah--membaca-seni-rupa-5391.html'> seni</a>lukis Indonesia, karyanyanya berjudul Me and Three Venueses, foto: Sangkring
Me and Three Venuses, karya Sudjojono

Pameran yang menyajikan tajuk ‘Seeing Paintings:Conversations Before The End of History’ menampilkan tak kurang dari 35 karya Lukis, yang dibagi periode tahun 1950-an, pasca 1965 dan 1970-an, yang ditutup antara tahun 1980-an sampai 1990-an akhir.

Pameran ini memperlihatkan sejarah senilukis Indonesia, bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka, setidaknya seperti ditulis, Aminudin TH Siregar, kurator pameran ini, Menurut dia, kemodernan dalam senilukis Indonesia tumbuh sejak Indonesia memproklamirkan kemerdekaan pada Agustus 1945.

“Adapun periode Persagi (Persatuan Ahli-ahli Gambar,tahun 1938) dengan kemunculan S.Sudjojono di kancah senilukis Indonesia dipandang sebagai era nasioanilsme” kata Aminudin TH Siregar.

Dijelaskan oleh Aminudin, sejarawan lalu meyakini bahwa periode modern baru dimulai pada era 1960-an. Karakteristik periode antara lain pertumbuhan asosiasi pelukis, keberadaan akademi seni, lahirnya inovasi dan eksplorasi baru terhadap bentuk bersamaan dengan tegaknya pemahaman atas pengetahuan senimodern, khususnya senirupa modern barat yang lebih luas.

“Gaya dan estetika senilukis Indonesia terus berkembang. Karena itu, menilai senilukis pada masa sekarang memiliki kompleksitas sendiri” ujar Aminudin.

Setidaknya, seperti dikatakan Aminudin, bahwa senilukis Indonesia pada masa sekarang ‘memiliki kompleksitas tersendiri’ bisa dilihat dari karya-karya senirupa yang dipamerkan, utamanya pada karya tahun 1990-an sampai sekarang, bahkan bisa sambil membayangkan seni rupa hari-hari ini yang tidak (ikut) dipamerkan, tetapi menandai dari apa yang disebut kompleksitas itu.

Sudut ruang pamer menampilkan era 1980-an, yang mengikuti jejak surealis, dan ditampilkan lukisan karya Lucia Hartini, berjudul ‘Caught a Barrier of Sharp Rock
Caught a Barrier of Sahrap Rock, karya Lucia Hartini

Pada karya Affandi, Sudjojono, Soedibio dan Sudjana Kerton, kita bisa melihat bahwa seniman ikut masuk dalam semangat membentuk Indonesia, sehingga karya-karyanya tidak jauh dari imajinasi mengenai Indonesia. Mengenai nasionalisme. Dalam kata lain, pada keempat perupa disebut di atas, melalui senilukis membentuk pola senilukis Indonesia.

Apa yang dilakukan oleh, sebut saja, peletak dasar senilukis Indonesia ialah empat pelukis besar disebut di atas, dan diteruskan oleh pelukis tahun 1950-an, yang mana nasionalisme semakin dkuatkan dan Indonesia ‘memerlukan’ penyangga dari kebudayaan. Maka, Nashar, Rusli, Oesman Effendi, Nasjah Djamin, But Muchtar, Srihadi Soedarsono dan Amrus Natalsya, karyanya merupakan ‘pergulatan’ pasca Indonesia dan semangat nasionalisme yang terus menyala.

Berbeda pada senilukis pasca 1965, yang lebih kuat dari segi politik, dan karya lukis merupakan bentuk dari gugatan, atau setidaknya upaya merekam peristiswa sosial yang dialami sekaligus dilihatnya, misalnya pada karya Dojoko Pekik, Trilogi Celeng, utamanya pada judul ‘Indonesia Berburu Celeng’.

Lain lagi pada era tahun 1970-an, awal orde baru menapaki kekuasaan, senirupa modern, lebih ingin ‘keluar’ dari mainstream dan mencari pola ucap sendiri, yang berbeda dari generasi sesudahnya. Gugatan ini tidak bersifat politis dibandingkan apa yang dilakukan pelukis generasi sebelulmnya, apalagi pada pasca 65. Gugatannya lebih pada teknis ketimbang ‘keluar dari situasi politik’.

Pada periode berikutnya, sikap konsumtif yang semakin kuat, bahkan hari-hari ini, terasa sekali tak lagi bisa dihindari, dan itu membentuk sekaligus digugat oleh para perupa. Mereka hadir dengan cara masing-masing, pilihan visual yang berbeda. Maka, pada periode 1980-an sampai akhir 1990-an, kita bisa melihat karya senirupa yang tidak lagi ‘hirau’ akan nasionalisme, tetapi (malah) telah melampaui hal itu.

Lukisan karya masetro, peletak dasar <a href='https://tembi.net/id/news/berita-budaya/menapaki-sejarah--membaca-seni-rupa-5391.html'> seni</a>lukis Indonesia, foto: Sangkring
Lukisan karya Affandi, S.Sudjojono, Soedibio dan Sudjana Kerton

Maka, melalui pameran seni lukis, yang mengambil tema ‘Seeing Paintings: Conversations Before The End Of History’ kita diajak menelisik jejak sejarah senirupa dan bersua dengan ‘lompatan’ narasi. Perupa kita bukan (lagi) warga Indonesia, melaikan (telah menjadi) warga dunia.

Ons Untoro



Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net - Rumah Sejarah dan Budaya


Baca Juga Artikel Lainnya :




Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta