Melalui Bekelan, Egrang, dan Dakon Didapat Karakter Baik
Acara ini penting dilaksanakan untuk nguri-uri budaya tradisional yang saat ini terancam oleh budaya serba instan yang kurang mengembangkan jiwa sosial anak, seperti game online, facebook, playstation, dan lainnya
Anak-anak sedang bermain bekelan
Senangnya Paijo ketika diajak bermain-main dengan teman-teman sebayanya di kala terang bulan purnama. Ia begitu senang bermain ”dhelikan” atau petak umpet, bersama teman-temannya. Walaupun ia sering ”dikungkung” menjadi pemain ”dadi”, namun Paijo tetap senang hatinya. Paijo yang periang, mudah bergaul, dan tidak mudah marah itu disenangi oleh teman-temannya. Makanya ia banyak teman.
Bosan dengan bermain petak umpet, ia dan temannya bermain dolanan tradisional lainnya, seperti jaranan, gotri, dhakon, dan sebagainya. Malam purnama itu dihabiskan oleh anak-anak bermain bareng, bersosialisasi dengan teman sebaya sekaligus mengakrabkan persaudaraan. Mereka melatih solidaritas, kerjasama, ketangkasan, kesabaran, dan lainnya. Itulah karakter budi pekerti yang ingin terus dipupuk saat anak-anak melakukan dolanan tradisional yang biasanya dilakukan secara berkelompok oleh anak-anak desa zaman dulu.
Rektor UNY Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., MA. memberi sambutan pembukaan acara
festival dolanan tradisional di Pendopo UNY
Paijo dan teman sebayanya bermain dolanan tradisional itu untuk mempraktikkan permainan anak-anak zaman dulu dalam sebuah festival dolanan tradisional yang digelar di pendopo Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) pada Minggu, 25 November 2012. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Museum Pendidikan Indonesia (MPI) UNY sebagai agenda tahunan yang bertujuan untuk tetap mencoba memperkenalkan dolanan tradisional kepada anak-anak zaman sekarang sekaligus melestarikan dolanan tradisional yang dulu pernah dilakukan oleh para orang tua atau generasi sebelumnya. Kegiatan festival dolanan tradisional yang tahun ini diselenggarakan untuk kedua kalinya mengambil tema ”Menuai Karakter Baik dari Dolanan Tradisional”.
”Bagi anak-anak sekarang, mungkin dolanan tradisional sudah tidak pernah dilakukan lagi. Padahal, dalam permainan tradisional dapat berfungsi sebagai wahana tumbuh kembang anak baik fisik maupun psikis. Sudah menjadi tanggung jawab kita semua baik orang tua, guru, maupun institusi pendidikan untuk melestarikan dolanan tradisional warisan nenek moyang,” kata Prof. Dr. Rochmat Wahab, M.Pd., MA, Rektor UNY saat memberi sambutan dalam pembukaan festival tersebut.
Paijo yang diperankan oleh Kiki dan teman sebayanya yang berasal dari SD Muhammadiyah Surakarta, adalah salah satu kelompok yang berperan aktif sebagai peserta dalam festival tersebut. Selain kelompoknya Paijo, sebuah nama yang sering dipakai oleh masyarakat Jawa tempo dulu, masih ada 8 kelompok lainnya yang berasal dari SD-SD di wilayah DIY, seperti SD Muhammadiyah Suronatan, SD Deresan, SD Sedayu, dan Sanggar Tari Pradnya Widya.
Juri dan penonton menyaksikan penampilan peserta
Setiap kelompok berusaha menampilkan berbagai permainan tradisional dengan segala perlengkapannya, seperti bekelan, jaranan, egrang, dhakon, atau lainnya. Mereka tidak hanya bermain, tetapi mencoba untuk berdialog dengan sesama teman diiringi lagu-lagu Jawa. Mereka mencoba untuk bermain kompak, serasi, dan sekaligus harus bisa menghibur penonton. Penguasaan komunikasi antarpemain dengan penonton mencoba mereka tampilkan dalam festival. Begitu pula keserasian kostum yang dikenakan, alat musik yang ditampilkan, dan kreativitas yang hendak dibangun juga mereka tampilkan. Namun demikian, esensi dolanan tradisional dan ajaran yang terkandung di dalamnya harus bisa disampaikan kepada penonton.
Berdasarkan penilaian dalam hal kekompokan, keserasian, kreativitas, komunikasi, ajaran budi pekerti dalam permainan, dan keberanian pemain, maka juri memberikan juara favorit I kepada kelompoknya Paijo dari SD Muhammadiyah Surakarta, kemudian disusul juara favorit II dari SD Muhammadiyah Suronatan, dan juara favorit III dari Sanggar Tari Pradnya Widya Yogyakarta. Masing-masing juara mendapatkan trofi, piagam dan uang pembinaan yang kisarannya Rp 500.000 hingga Rp Rp 1.000.000.
Kegiatan rutin yang akan terus dilakukan oleh MPI UNY ini banyak mendapat dukungan dari penonton, pemerhati, peserta, maupun juri. Salah satunya penonton bernama Surono, mengatakan, ”Acara ini penting dilaksanakan untuk nguri-uri budaya tradisional yang saat ini terancam oleh budaya serba instan yang kurang mengembangkan jiwa sosial anak, seperti game online, facebook, playstation, dan lainnya.”
Kelompok Paijo alis Kiki dari SD Muhammadiyah Surakarta meraih Juara I
Suwandi
Artikel Lainnya :
- De Petangans of Telingen der Javanen(28/03)
- 22 Januari 2010, Figur Wayang - Arjuna Papa(23/01)
- MONUMEN DI JOGJA RIWAYATMU KINI(23/02)
- Memilih Kampung(21/07)
- YOGYAKARTA DAN KEINDAHAN BUNGA-BUNGA KERING(01/01)
- LONG-1 (PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-74)(10/01)
- JEMBATAN BAMBU DI SUNGAI PROGO(01/01)
- 28 Agustus 2010, Kabar Anyar - MELEPAS PANAH DI TUJUH BINTANG(28/08)
- 23 Februari 2010, Kabar Anyar - THE RAKUS OF SOMETHING WRONG DI TBY(23/02)
- CANTIKNYA PISANG KALIURANG(06/10)