Tembi

Yogyakarta-yogyamu»JEMBATAN BAMBU DI SUNGAI PROGO

01 Jan 2008 08:02:00

Yogyamu

JEMBATAN BAMBU DI SUNGAI PROGO

Jembatan penyeberangan, di jaman modern ini sudah memadai. Artinya, dari segi konstruksi kuat dan bisa dipakai untuk melewati kendaraan berat seperti bus atau truk. Di Yogya ada banyak jembatan yang konstruksinya kuat seperti itu. Setidaknya, kalau hendak menyebut dua contoh jembatan yang menghubungkan antar kabupaten dan (juga) propinsi ialah jembatan Srandakan yang menghubungkan antara Kabupaten Kulon Progo dan Kabupaten Bantul, serta jembatan Krasak yang menghubungkan antara Kabupaten Magelang (Jateng) dan Kabupaten Sleman (DIY).

Namun jangan kaget, kalau hari gini masih ditemukan jembatan bambu, yang sifatnya juga ‘darurat’. Disebut darurat karena jika musim kemarau tiba sungai Progo mulai mengering sehingga tidak mungkin dilewati kendaraan. Karena itu dibangun jembatan bambu untuk memberi fasilitas kendaraan menyeberangi sungai Progo.

Jembatan bambu itu menghubungkan dua kecamatan, yaitu Kecamatan Lendah, Kulon Progo dan Kecamatan Pajangan, Bantul. Kedua kecamatan ini sesungguhnya ‘berdekatan’, meski berbeda kabupaten, tetapi dihalangi sungai Progo. Masyarakat yang tinggal di wilayah Kecamatan Lendah, setidaknya di Desa Ngenthak, saat hendak pergi ke Bantul harus melewati sungai Progo, dan jembatan bambu merupakan jalan pintas untuk menuju Bantul, Yogya dan tempat-tempat lain.

Jembatan ini dibangun selama musim kemarau tiba. Pada musim ini air sungai Progo mulai mengering. Biasanya, pada musim penghujan air sungai Progo tinggi. Warga masyarakat menggunakan gethek untuk menyebrang. Selama musim kemarau, jembatan bambu menggantikan fungsi gethek.

Bermacam jenis kendaraan, kecuali kendaraan roda empat, bisa melewati jembatan bambu ini. Karena jembatannya kecil, kendaraan tidak bisa melaju dua arah. Secara bergantian pengguna jembatan sudah biasa mengaturnya sendiri. Saat di seberang yang satu ada kendaraan lewat, di seberang yang lain kendaraan harus menunggu, supaya tidak bertemu di tengah jembatan. Kalau hal itu dilanggar, keduanya bisa jatuh kedalam sungai.

Melewati jembatan bambu ini tidak gratis. Sekali lewat pengguna harus membayar Rp 1.000. Jadi, kalau pulang pergi harus membayar Rp 2000. Setiap hari, jembatan ini tidak pernah sepi. Yang paling ramai pada pagi hari saat orang berangkat kerja, sekolah dan ke pasar. Sore pada jam pulang kerja, jembatan penuh antrean. Siang hari, saat pulang sekolah jembatan juga tidak sepi dari orang lewat.

Dari jembatan bambu, kita bisa mencoba untuk mengerti. Hal-hal yang kelihatan sepele namun seringkali tidak diperhatikan. Warga setempat, yang telah melakukan secara bergenerasi, sampai hari ini mempertahankan siklus jembatan bambu dan gethek yang terus berjalan. Selain menghasilkan uang dan menjadi mata pencaharian, jarak yang jauh bisa menjadi dekat. Dalam konteks ini, jalan pintas tidak buruk. Justru mempercepat keperluan menempuh jarak puluhan kilometer.

Kalau rakyat memiliki ‘jalan pintas’ untuk kebaikan, kenapa justru elit politik menggunakan ‘jalan pintas’ untuk kepentingan dirinya? Belajarlah dari ‘jalan pintas jembatan bambu’.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta