Macapatan Tahap 101
Manusia Menjadi Domba
Macapat malam Rabu Pon yang diselenggarakan setiap 35 hari sekali oleh Tembi Rumah Budaya, pada 28 Juni 2011 lalu memasuki putaran 101. Materi yang di tembangkan masih melanjutkan dari serat Centhini, yang pada malam hari itu sampai pada Pupuh 234 dengan tembang Dhandhanggula.
Isi tembang menceritakan perjalanan Mas Cebolang dan empat sahabatnya yang bernama Saloka, Nurwitri, Palakarti dan Kartipala, sampai di daerah Tembayat di gunung Jabalakat. Kepada Ki Abodin penjaga dan pemelihara tempat tersebut Mas Cebolang dan para sahabatnya meminta diantar ke makam Sunan Tembayat di gunung Jabalkat dan ke makam Seh Domba di gunung Cakaran untuk berjiarah. Mengapa Sunan dan Seh Domba menetap di dusun Tembayat yang gersang ini sampai beliau meninggal dan dimakamkan di sini?
Dari kiri ke kanan Djoyo Sumarto (pemandu) Wandiyo (tokoh Macapat Bantul)
dan Ign. Wahono (pemandu) (foto: herjaka)
Konon sebelum menjadi Sunan di Tembayat, ia bernama Ki Gedhe (Ki Dipati) Pandanaran dari Semarang, demikianlah Ki Abodin mengawali ceritanya. Bermula dari janji Sunan Kalijaga yang mau memberikan ilmunya di gunung Jabalakat daerah Tembayat, maka berangkatlah Ki Gedhe Pandanaran menuju gunung Jabalakat dengan tidak boleh membawa harta benda. Namun Nyi Pandanaran yang diijinkan ikut serta diam-diam membawa emas permata yang disembunyikan dalam tongkat wuluh gading, agar tidak diketahui oleh Ki Pandanaran.
Di tengah jalan Ki Pandanaran dicegat oleh 3 perampok. Kepada perampok itu Ki Pandanaran sengaja mengatakan bahwa ia membawa emas permata di dalam tongkat wuluh gading yang dibawa oleh Nyai Pandanaran dibelakang itu. Mendengar apa yang dikatakan Ki Pandanaran kepada perampok itu, Nyai Pandanaran sangat ketakutan. Ternyata diam-diam suaminya tahu bahwa dirinya membawa emas-emas-an. Maka kemudian Perampok itu merebut tongkat wuluh gading dari tangan Nyai Pandanaran.
Ada satu perampok yang bernama Sambangdalan datang belakangan sehingga tidak mendapat bagian emas permata yang ada di dalam tongkat wuluh gading tersebut. Ia kemudian merebut paksa tongkat yang dibawa Ki Gede Pandanaran, dengan harapan bahwa di dalam tongkat tersebut terdapat uang dan emas permata seperti yang terdapat pada tongkat Nyai Pandanaran. Namun Ki Sambangdalan kecewa karena tongkat yang dibawa oleh Ki Pandanaran kosong. Sambangdalan kemudian meminta oleh-oleh. “saya tidak bawa oleh-oleh” kata Ki Gede Pandanaran.
Para pecinta Macapatan malam Rabu Pon (foto: Herjaka)
Sambangdalan kemudian meminta uang dan emas permata. “Jika tidak memberikan apa yang saya minta, engkau akan merasakan pukulanku” acam Sambangdalan. Ki Gede Pandanaran jengkel dan marah, Sambangdalan dikutuk menjadi domba (bab 233, tembang Kinanthi, alinea/bait 51,52 & 53)
51. Kyai Gedhe malih muwus andlarung sira iki kaya wedhus ambekira lan ngejep ujaring jalmi Sambangdalan malih warna Wedhus dumba geng ainggil |
kyai Gede berkata engkau keterlaluan seperti kambing layaknya dan terjadilah menurut yang dikatakannya Sambangdalan berubah menjadi kambing domba yang tinggi besar |
52. Ki Dipati awas ndulu yen kang begal malih warni langkung jrih lajeng lumampah punang Dumba anututi tan uning yen malih warna maksih ngucap kadi jalmi |
Ki Dipati memperhatikan dengan seksama bahwa perampok telah berubah wujud sangat takutlah ia, lalu meneruskan perjalanan sang domba mengikutinya belum tahu kalau dirinya berubah wujud masih berucap seperti manusia |
Group Karawitan yang ikut menyemarakkan Macapatan (foto: herjaka)
53. Nulya nyabrang lepen agung tan saged ngadeg neng warih lawan wruh wayangannira angrasa yen malih warna nulya nangis asrah tobat tembung manis atut-wuri |
lalu menyeberang sungai besar tidak dapat berdiri di air setelah mengetahui bayanganya sadar bahwa dirinya telah berubah wujud lalu menangis pasrah dan tobat mohon belaskasihanuntuk mengikuti Ki Pandanaran |
Sambangdalan menyesali diri dan sangat berduka setelah mengetahui bahwa dirinya berubah wujud menjadi seekor domba. Ia mengikuti Ki Gede Pandanaran dan Nyai Pandanaran hingga sampai daerah Tembayat di gunung Jabalakat. Di gunung yang tidak ada sumur dan mataair ini Sambangdalan memasrahkan diri sebagai abdi dan memohon belas kasihan agar dipulihkan menjadi manusia. Ki Gede mau menerima Sambangdalan sebagai abdi asalkan ia dapat mengisi gentong yang ada di depan masjid dengan air hingga penuh. Sambangdalan bersedia melaksanakan perintah Ki Gede Pandanaran. Siang malam ia turun naik gunnug Jabalakat untuk mengambil air. Namun gentong tersebut tidak pernah penuh. Hal tersebut dikarenakan selain ukurannya besar dan tinggi (lebar: telung prangkul 3 x tangkupan ujung tangan kiri dan ujung tangan kanan, tinggi: sapanggayuh, diukur dari ujung kaki sampai ujung tangan orang dewasa pada umumnya), pancuran dari gentong tersebut tidak ditutup sehingga air terus keluar.
serat centhini pupuh 234
Dhandhanggula
1 Kyai gedhe dennira lumaris sampun prapta ing tanah Tembayat menggah wukir jabalkat-e amanggih dhusun agung datan wonten lepen lan prigi lan manggih masjid pelag alit wingit bagus neng ngriku dennya dhadhekah wukir jabal satetes tan ana warih Sambangdalan ngawula |
perjalanan Kyai Gede sampai di daerah Tembayat naik gunung Jabalakat menemukan sebuah dusun tidak ada sungai dan sumur dan menemukan sebuah masjid kecil, sakral dan bagus di situlah mereka tinggal gunung Jabal setetes pun tidak ada air Sambangdalan mengabdi di tempat itu |
2. Miminta sih mulyaning kang warni sinung karya ngiseni padasan tan tinutup pancurane datan linilan turu lamun dereng mbludag kang warih padasan encehika gengnya tigang prangkul sapanggayuh inggilira rinten dalu tan kendel dennya ngiseni pangambile kang toya |
untuk memohon kembalinya wujud diperintahkan mengisi gentong yang tidak ditutup pancurannya tidak diperbolehkan tidur sebelum gentong penuh air genthong tersebut besarnya tiga rangkulan tingginya satu capaian siang malam tidak berhenti mengisi dan mengambil air |
3. Tumurun ring lepen radi tebih pinaranten pambektaning toya mituhu ing saprentahe awrate ing panuwun mantuk asal jalma sajati ing tembe wus sinedya lajeng angguguru wus sapta ri neng Jabalkat tanpa nendra muhung ngangsu rina wengi padasan nora kebak |
turun ke sungai agak jauh alasan pengambilan air karena diperintah demi sebuah permohonan agar pulih menjadi manusia itulah yang senantiasa dimohon lalu menjalani laku sebagai murid sudah tujuh hari di Jabalkat walau siang malam mengambil air dan tidak tidur gentong tidak juga penuh |
4. Nulya rawuh nJeng Susunan Kali teteken cis lenggah sela gilang Ki Dipati lan nyaine mangaraspada gupuh Sambangdalan ndherek ngabekti nJeng Sunan angandika dene iku wedhus bisa ngucap tatajalma paranbaya kang dadi purwaning nguni pun Dumba matur nembah |
lalu datang Sunan Kalijaga membawa tongkat duduk di batu gilang Ki Dipati dan Nyai Dipati gugup dan menghaturkan sembah Sambangdalan ikut menghaturkan sembah Sunan berkata ini ada domba bisa berbicara bagaimana kejadian semula dan domba pun berkata dan menyembah |
5. Borong angga sumangga sang yogi nJeng Suhunan aris angandika bener aturira jebeng mula sira den kawus tobata ring Kang Maha Sukci mintaa pangaksama nir ing cintrakamu jatining tuhu manungsa ya muliha marang asalira jalmi sabdaning wali-tama |
saya memasrahkan jiwaraga kepada sang guru njeng Sunan berkata apakah benar katamu? oleh karenanya bertobatlah kepada Hyang Maha Suci memohon pengampunan agar hilanglah sengsara karena sesungguhnya engkau adalah manusia maka kembalilah menjadi manusia sabda wali |
6. Sambangdalan cintrakanya wus nir mulya jati jatining manungsa sumungkem pada pamase sukanya tan cinatur Sunan Kali tekennya ecis dinudut nulya medal toya wening mancur kinen anambaki sarya blumbang alit lestantun ngantos samangkin sabdaning wali mulya |
maka hilanglah kesengsaraan Sambangdalan dan kembali wujud menjadi manusia Sambangdalan bergegas menghaturkan sembah kegembiraannya tak terkatakan tongkat Sunan Kalijaga dicabut dari batu maka keluarlah air jernih disuruhlah Sambangdalan menampung airnya kolam kecil lestari hingga kini sabda wali mulia |
Genap satu minggu Sambangdalan melakukan pekerjaan tersebut tanpa tidur dan istirahat, datanglah Kangjeng Sunan di tempat ini. Ki Pandanaran dan Nyai Pandanaran dan juga Sambangdalan menghaturkan sembah. Kangjeng Sunan Kalijaga heran ada seekor domba dapat berbicara seperti manusia, bagaimana cerita sebelumnya? Sambangdalan menyesal atas perbuatannya. Sunan Kalijaga memohonkan pengampunan kepada Tuhan Hyang Maha Suci. Saat itu juga Sambangdalan mendapat pengampunan dan berubah kembali menjadi manusia. Sambangdalan menghaturkan sembah, sukacitanya menjadi penuh. Bersamaan dengan itu Sunan Kalijaga mencabut tongkatnya, dan keluarlah air jernih dari batu gilang yang didudukinya.
Selanjutnya Sunan Kalijaga mengajarkan ilmu kepada Ki Pandanaran dan Sambangdalan. Setelah dianggap cukup Sunan Kalijaga memberi nama Pangeran Tembayat kepada Ki Gede Pandanaran dan Seh Dumba kepada Sambangdalan. Keduanya tinggal di tempat ini hingga akhir hayat. Pangeran Tembayat dimakamkan di gunung Jabalkat dan Seh Dumba di makamkan gunung Cakaran. Masjid dan sumber mataair masih lestari hingga saat ini.
herjaka HS
Artikel Lainnya :
- 27 April 2010, Djogdja Tempo Doeloe - PLENGKUNG NGASEM MENJELANG ABAD 18 DAN TAHUN 2010(27/04)
- SENI RUPA KARYA SEORANG DOKTER(17/01)
- PENJUAL BUNGA TABUR DI YOGYAKARTA(01/01)
- Dolanan Wilwa(28/02)
- JALAN SETAPAK DI PINGGIR YOGYA(14/12)
- KETIGA, AKEH BEBENDU(30/09)
- Slenco, Kegelisahan Seniman pada Minimnya Kejujuran dan Integritas(18/10)
- POTISASI DI TENGAH KOTA YOGYAKARTA(01/01)
- POSTER PERJUANGAN DI TAHUN 1949(09/11)
- Raden Ayu Kencanasari dan Berdirinya Masjid Pucanganom (1)(20/12)