Slenco, Kegelisahan Seniman pada Minimnya Kejujuran dan Integritas
“Slenco” merupakan tema besar yang diangkat Bentara Budaya dalam ulang tahunnya yang ke-30 dan diperingati pada 26 September 2012. Dalam ulang tahunnya yang ke-30 ini Bentara Budaya bukan hanya melakukan pameran senirupa, pentas seni, sarasehan/diskusi, namun juga memberikan penghargaan kepada 10 seniman berdasarkan kriteria seniman yang masih aktif berkarya, kurang mendapatkan perhatian serta penghargaan dari publik, namun karya-karya mereka unik dan fenomenal. Penghargaan yang disebut Bentara Budaya Award ini berupa uang sejumlah 20 juta rupiah untuk masing-masing seniman plus biaya transportasi, akomodasi, dan penginapan di hotel yang ditanggung Bentara Budaya selama mereka berada di Jakarta.
Pameran senirupa bertema Slenco sendiri telah dilaksanakan di Bentara Budaya Jakarta tanggal 26 September-2 Oktober 2012. Pameran ini menampilkan 80 karya seniman perupa dari seluruh Indonesia. Sementara untuk Bentara Budaya Yogyakarta hal yang sama dilakukan tanggal 16-24 September 2012 dengan menampilkan 31 karya seniman perupa dari Yogyakarta dan sekitarnya.
Slenco dapat diartikan sebagai “nggak nyambung”, “miss communication”, “nggak connect”, salah mengerti. Misalnya si A bilang mau kemana ? Si B menjawab namaku Paijo. Misanya si A bilang aku cinta padamu, si B menjawab celanaku berwarna hijau. Akan tetapi bukan hanya itu. Seperti paparan Rama Dr. GP. Sindhunata, SJ. dalam katalog pameran yang dibagikan dikatakan bahwa slenco mempunyai makna, masalah, dan hubungan sebab-akibat yang jauh lebih kaya daripada yang kita duga. Hal demikianlah yang kemudian digali dan ditampilkan oleh 65 perupa yang mengambil bagian dalam pameran menyambut HUT Bentara Budaya yang ke-30.
Ke-slenco-an itu telah mengakibatkan kehidupan negara carut-marut. Nggak jelas. “Ora cetha”. “Ora dhong”, palsu. Karya I Putu Edy Asmara Putra yang berjudul “Teater Dalam Negeri,” 2012 menggambarkan tentang keslencoan dalam silhturahmi. Situasi slenco telah membuat orang yang kelihatannya saling bersilaturahmi namun wajahnya berlapis-lapis. Orang menutupi dirinya dengan sekian banyak topeng yang masing-masingnya berbeda. Kelihatannya mereka bersalaman, berdialog, namun masing-masingnya menyembunyikan dirinya di balik topeng-topeng palsunya. Celakanya ketika semua topeng dibuka, wajah aslinya juga tidak ada. Ini adalah slenco.
Papua tanah kaya itu juga menderita karena slenco. Bisa dibayangkan bahwa sejak tahun 1970-an hingga nanti tahun 2040 kekayaan emas di Papua akan terus digaruk dan dinikmati oleh negara asing sementara warga Papua sendiri tetap saja miskin dan tertinggal. Hal demikian digambarkan oleh Moeljono dalam karyanya yang berjudul ”Gold in My Face”, 2012. Karya ini menggambarkan wajah anak Papua yang dilumuri cat warna emas yang mudah luntur dan hilang. Tentu saja cat emas itu bukan emas asli. Senyatanya pula mereka tidak pernah menikmati kekayaan dari buminya sendiri yang mengandung sekian ton emas itu. Wajah emasnya seolah asli emas, padahal palsu. Inilah keslencoan yang terjadi di tanah Indonesia paling timur itu.
Segala macam korupsi yang edan-edanan dan tanpa rasa malu yang juga gila-gilaan, bahkan korupsi malah menjadi “life style” menunjukkan keslencoan yang seslenco-slenconya. Hal demikian ditunjukkan oleh karya Sinik yang berjudul ”Life Style”. Telah menjadi tahanan oleh karena korupsi pun orang masih saja bergaya dengan kemewahan, pedicure, manicure, creambath. Bahkan ruang tahanannya ber-Ac dan ada meja rias segala. Para pengacara pembela koruptor pun demikian cas-cis-cus bersilat lidah seolah ia menampilkan kebenaran. Sementara terdakwa korupsi mengikuti sidang dengan baju mewah dan tas yang juga mewah.
Slenco juga melanda orang biasa. Dalam dunia kapitalisme yang konsumeristis orang merasa terus dipacu untuk menambah kekayaan dan prestasinya. Tidak boleh lagi ada kata ”cukup” apalagi kurang dalam dirinya. Orang menjadi merasa bersalah jika dan tidak puas jika tidak mengkonsumsi sesuatu secara lebih dan lebih. Orang merasa bersalah jika tidak berprestasi. Akibatnya mereka menjadi depresi jika tidak bisa meraih semua itu. Depresi dan tegang ini membuat mereka jadi sering slenco. Orang yang berpunya juga sering slenco dalam bertindak. Oleh karena merasa berpunya babi pun diberi pelana serta mengira betapa nikmat bila boleh tidur di atas punggung babi. Hal ini digamabrkan oleh Adi Gunawan dalam karya patungnya yang berjudul ”Parodi Kehidupan”, 2012.
Begitu mewabah keslencoan di negeri ini. Slenco adalah masalah yang sangat serius dan harus diatasi. Berhasil tidaknya kita membangun kesepakatan hidup sosial tergantung pada berhasil tidaknya kita dalam mengatasi slenco itu. Tidak cukup hanya mengandalkan ketajaman rasio. Keberanian masuk kembali ke dalam keheningan dan kebeningan hati menjadi kunci untuk mengatasi slenco itu. Kemurnian hati, tanggung jawab, kejujuran, adil, tegas menolak hal yang bukan haknya akan menjadi perangkat kokoh dalam mengatasi keslencoan.
a.sartono
Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/
Baca Juga Artikel Lainnya :
- Pak Warsana dan Topeng Panjinya(13/10)
- Ilustrasi Cerpen Kompas, Jenis Karya Seni Lain yang Mandiri dan Melengkapi(12/10)
- Pameran Seni Keramik Prof. Chitaru Kawasaki Karya Pertalian Jepang - Indonesia(12/10)
- Lagu Puisi Dari Pedro(11/10)
- Karya Sastra Menembus Batas(10/10)
- 30 Tahun Bentara Budaya(09/10)
- Rumah-Rumah Di Tepi Beteng Kraton Yogya(08/10)
- Seni Macapat di Tembi Rumah Budaya(06/10)
- Kisah Bisma dalam Lakon Dharma Gangga Datta(05/10)
- Festival Upacara Adat DI. Yogyakarta(04/10)