Pak Warsana dan Topeng Panjinya
Setiap Selasa sekitar pukul 10 hingga pukul 3, di Museum Tembi Rumah Budaya biasanya terlihat seorang lelaki sedang memainkan pahatnya pada sebuah bakalan topeng. Di depannya berjejer berbagai topeng kayu hasil karyanya, berwarna-warni dan beraneka bentuk. Yang khas adalah semuanya topeng Panji, yakni wajah tokoh-tokoh yang lazim dikenal dalam cerita Panji.
Pembuatnya adalah pak Warsana (52 tahun). Pria kelahiran Bantul ini memang spesialis perajin topeng Panji. Di mejanya terpajang tokoh-tokoh alusan seperti Panji, Candra Kirana, Gunung Sari, dan Ragil Kuning. Begitu pula ada Klana Raja, serta punakawan Bancak dan Doyok. Topeng-topeng karyanya lazim dipakai penari, ukurannya sesuai dengan wajah orang dewasa. Meski bisa pula dipakai sebagai souvenir atau dekorasi.
Topeng-topeng ini dibuat dari kayu jaranan. Kayu jenis ini dipilihnya lantaran empuk sehingga mudah untuk dipahat. Seratnya lembut tapi kuat. Warna putihnya tanpa gradasi sehingga merata.
Biasanya pak Warsana memesan kayu ini untuk jangka waktu lama. Ia memesan kayu basah dalam jumlah lumayan banyak, yakni satu bak mobil colt. Selama satu bulan, ia hanya memotong dan menipiskan balok-balok kayu ini sehingga permukaannya rata, siap sebagai bakalan topeng. Biasanya dihasilkan sekitar 200 buah bakalan topeng.
Bakalan topeng dengan diameter 30 cm dan panjang sekitar 22 cm bisa menjadi 2 topeng berukuran normal. Sebuah topeng yang belum disungging (dicat) diselesaikannya dalam waktu 2 minggu, kalau ditambah sungging makan waktu 3 minggu. Namun topeng itu dikerjakannya bersama dengan topeng-topeng lain. Artinya, ia tidak mengerjakan satu topeng sampai selesai lantas berganti dengan topeng lainnya. Mengerjakan beberapa topeng dalam sehari secara bergantian juga merupakan kiatnya untuk menghilangkan kejenuhan.
Kalau dihitung-hitung jam terbang pak Warsana lebih dari 30 tahun. Kalau dihitung dari awal belajarnya nyaris 40 tahun. Ia mulai belajar menatah topeng pada tahun 1974 saat duduk di kelas 1 SMP. Selepas SD, saat ayahnya meninggal, ia diasuh kakeknya di Dusun Diro. Kakeknya, Warnowaskito adalah perajin topeng kayu. Anak kedua dari tujuh bersaudara ini pun ikut membantu. Mulai dari yang ringan, seperti menggergaji, menghaluskan dan menipiskan kayu. Dalam proses awal ini, sempat terjadi kecelakaan fatal, yakni rahang Cakil yang dipahatnya patah. Tapi kakeknya tidak marah. “Bagi Simbah, yang penting mau belajar dan mau membantu. Kayu rusak atau topeng pecah tidak apa-apa. Jadi saya tidak takut untuk terus belajar dan mencoba,” jelasnya.
Di bawah bimbingan kakeknya, pak Warsana mulai menatah topeng sendiri. Setiap hari, pagi dan sore. Awalnya topeng berukuran tanggung untuk anak kecil. Lantas topeng berukuran normal untuk orang dewasa. Semangatnya makin menjadi ketika sebuah topeng hasil karyanya dibeli orang dengan harga yang menurutnya sangat besar. Topengnya yang belum disungging ini terjual seharga Rp 300. Kalau sekarang mungkin sekitar Rp 300.000. Pada masa itu, tahun 1974-75, harga sepiring bubur krecek masih sekitar Rp 2,5-Rp 5. Uang itu sebagian untuk kakek, ibu dan adik-adiknya.
Lulus SMP ia sempat tidak bersekolah selama dua tahun. Kegiatannya hanya membuat topeng. Lantas pada 1979 ia melanjutkan sekolah di sekolah kejuruan, yakni Sekolah Menengah Industri Kerajinan selama empat tahun. Lulus pada tahun 1983, ia tidak langsung meneruskan kuliah. Baru pada 1985, ia melanjutkan kuliah program D2 di jurusan senirupa IKIP Yogyakarta.
Lulus kuliah ia sempat ditawari mengajar di Lombok tapi setelah berkonsultasi dengan kakeknya, pak Warsana memilih menolak, dan meneruskan membuat topeng. Pertimbangannya, selain meneruskan profesi kakeknya, keahlian menatah topeng juga dapat menjadi mata pencaharian.
Pada tahun 1993, kakeknya meninggal dalam usia 90 tahunan. Pak Warsana melanjutkan kerajinan topeng ini bersama anak buliknya, cucu pak Warnowaskito yang lain. Selang kemudian, sepupunya membuka tempat usaha di tempat lain di Dusun Diro. Usaha mereka terus berjalan dengan baik. Sampai krisis moneter pada tahun 1998 memerosotkan bisnisnya. Bahkan pada tahun 2000 tidak ada pembeli yang datang ke studionya. Namun bak putaran roda, tahun 2004 membuatnya bersorak, banyak pembeli yang membeli, bahkan memborong, topeng-topengnya. Stok topeng-topengnya berpindah tangan dengan harga satu juta rupiah per buahnya.
Harga topeng pak Warsana kini rata-rata berkisar Rp 500 ribu per buah. Yang paling mahal adalah topeng bercat emas utuh (prada penuh) yang dibandrol Rp 2 juta. Meski sekarang, menurutnya, peminat topeng kayu menurun namun ia tetap bersikukuh di jalannya. Ketika sedang sepi pembeli, penghasilan istrinya sebagai pedagang sayur dan kebutuhan pokok cukup membantu.
Sepi atau ramai, abdi dalem kraton sejak 1981 ini masih terus menatah topeng, “Penghasilan saya serba ghoib. Tidak punya uang tapi punya barang,” ujarnya sambil tertawa. “Yang penting terus berusaha. Semua sudah diatur oleh Gusti Allah.”
Apakah kedua anaknya akan melanjutkan profesinya? Pak Warsana menggelengkan kepala. Anak sulungnya kini duduk di kelas 3 SMA, dan anak ragilnya duduk di kelas 2 SMK Pembangunan jurusan geografi pertambangan. “Tapi mereka sudah belajar dasar membuat topeng,” katanya.
Jaman terus berubah. Topeng-topeng Panji pak Warsana masih terus menyunggingkan senyum tipisnya.
barata
Artikel Lainnya :
- KEUNIKAN MODEL-MODEL BATU NISAN DI YOGYAKARTA(01/01)
- 26 Mei 2010, Kabar Anyar - CATATAN SINGKAT HARI JADI Tembi YANG KE-10, 20 MEI 2010(26/05)
- Anglo, Si Kompor Tanah Liat(30/10)
- PASAR SINGKONG DI YOGYAKARTA(01/01)
- BULAN SAWAL, AJANG SILATURAHMI(05/09)
- Silir Pujiwati Cita-cita Polwan Sampai Jadi Sinden(17/11)
- 5 Februari 2011, Jaringan Museum - MENGENAL MUSEUM-MUSEUM DI SUMATRA, NTT, DAN NTB(05/02)
- Bioskop-bioskop yang Tinggal Kenangan(14/03)
Jembatan Baru di Titik Nol Jogja(02/05) - 20 Mei 2010, Primbon - Kakang Kawah dan Adhi Ari-ari(20/05)