Rumah-Rumah Di Tepi Beteng Kraton Yogya
Bagi orang Yogya, atau setidaknya yang tinggal di kompleks Kraton Yogyakarta, niscaya pasti tahu, bahwa bangunan benteng yang mengelilingi Kraton Yogyakarta, yang dulunya berfungsi untuk keamanan, tapi sekarang, bahkan sudah puluhan tahun, di tepi beteng kraton tumbuh rumah-rumah penduduk, dalam ukuran kecil, kira-kira satu rumah hanya 50-60 m2, atau mungkin malah kurang dari ukuran itu.
Kita tahu. Ada ratusan rumah yang sudah dibangun dan sifatnya permanen, bukan lagi semi permanen. Rumah-rumah yang ditinggali sudah banyak yang sudah alih pemilik, artinya pemilik pertama sudah menjualnya dan kemudian dijual lagi oleh orang yang lain lagi. Tak ada sertifikat dalam jual beli itu, karena memang rumah-rumah di tepi beteng kraton bukan milik penghuni, tetapi tanahnya milik Kraton.
Dulu, memang Sri Sultan HB IX memperbolehkan tanah di tepi beteng Kraton untuk didirikan bangunan semi permanen untuk kepereluan berdagang, sehingga bangunannya berupa kios. Makanya, dikenal sebagai rumah kios. Rumah semi permanen, dalam bahasa Jawa dikenal sebagai kotangan: Bagian bawah rumah berdinding batu, di atasnya berupa kayu atau dinding bambu, yang disebut sebagai gedhek.
Warga yang tinggal di tepi beteng kraton sudah bergenerasi, artinya yang menempati bukan pemilik pertama, tetapi sudah digantikan anaknya, atau bahkan cucunya. Bisa ditemukan, yang memiliki rumah-rumah di tepi beteng kraton, bukan hanya orang yang, leluhurnya, berasal dan tinggal di kompleks dalam beteng kraton, tetapi dihuni oleh warga yang berasal dari lain tempat, bahkan bukan dari Yogya.
Soal yang belakangan (kembali) muncul setelah status Keistimewaan Yogya ditetapkan ialah mengenai revitalisasi beteng Kraton Yogyakarta. Artinya, warga yang menempati di tepi beteng kraton akan ditertibkan kalau tidak boleh disebut diminta untuk pindah. Tentu, bukan hal yang mudah untuk memindah warga yang sudah puluhan tahun tinggal disekitar tepi beteng, meski mereka tahu, sejak awal pihak kraton sudah memberi tahu, kelak sewaktu-waktu jika kraton mengendaki tanah yang ada disepenjang beteng, warga harus mengembalikan pada pihak kraton.
Mengembalikan wajah beteng, sebut saja begitu, agaknya upaya untuk menunjukan salah satu identitas dari apa yang disebut Kesitimewaan. Dengan masa lalu Yogya, setidaknya melalui beteng Kraton, barangkali wajah Keistimewaan bisa terlihat, dan sekaligus membawa persoalan sosial bagi warga yang rumahnya (di)pindah.
Rasanya, penting menempatkan Keistimewaan dalam konteks modernitas, sehingga Keistimewaan mempunyai makna yang kontekstual. Keistimewaan Yogya tidak harus diartikan (selalu) menghadirkan simbol-simbol budaya Yogya masalalu, tetapi bagaimana Yogya dalam kehidupan modern yang penuh dengan teknologi tidak tenggelam dalam arus konsumerisme. Kita tahu, di Yogya ada sejumlah mall dan mini market yang memasuki desa-desa. Kita juga tahu, di desa pasar yang mendasarkan dirinya pada penanggalan Jawa, sehingga pada hari pasaran yang berbeda-beda, pasar desa akan ramai penjual dan pembeli. Sebut saja, hal itu sebagai kultur pasaran, yang ikut menyangga Keistimewaan.
Dalam kata lain, ada banyak hal yang menyangga Keistimewaan, bangunan heritage hanyalah salah satu dari penyangga itu. Yang barangkali perlu dipikirkan, agar bagaimana untuk menunjukan penyangga Keistimewaan tidak dengan ‘menyingkirkan’ penyangga lainnya. Kita tahu, beteng Kraton disebelah timur plengkung Gading, sampai sekarang tidak ada bangunan rumah yang berdiri. Artinya, dari kawasan itu, kita bisa menunjukkan, bahwa ‘wajah beteng kraton’ sebelun padat penghuni bisa dilihat seperti itu, dan rasanya orang, khususnya turis, domestik maupun asing, akan mempunyai imajinasi mengenai jalur tepian beteng kraton.
Keistimewaan sudah ditetapkan, ada baiknya kalau status itu, secara operasional tidak melukai hati warga Yogya. Justru malah penting dilakukan, status Keistimewaan mempermudah warga Yogya dalam berhubungan dengan birokrasi. Birokrasi dari masing-masing lembaga yang melayani publik, membuat warga masyarakat senang dan dipermudah. Lain soal kalau Keistimewaan sekedar status dan pelayanan publik tidak perlu ada perubhan.
Ons Untoro
Artikel Lainnya :
- Candy Satrio dan Tya Subiakto(10/09)
- 30 Oktober 2010, Kabar Anyar - PUBLIC GOODS DARI PEMERINTAH(30/10)
- DOLANAN JIRAK PENTHIL(19/07)
- DOLANAN JIRAK ULA-2(09/08)
- PEDAGANG KASET BEKAS DI BERINGHARJO(01/01)
- 24 Februari 2010, Kabar Anyar - 'DOOR-2-DOOR, THERAPY', PAMERAN SENI RUPA DI RUMAH SAKIT(24/02)
- NASI TIWUL, SENSASI CITARASA DAERAH KERING YANG NAIK PAMOR(02/11)
- Bakal Terus Gumebyar(22/02)
- 26 Maret 2010, Pasinaon basa Jawa - UJIAN NASIONAL 2010(26/03)
- 2 April 2011, Kolom - ANAK MUDA DAN GAYA HIDUP MASA KINI(02/04)