DOLANAN JIRAK PENTHIL-1
(PERMAINAN ANAK TRADISIONAL-64)

DOLANAN JIRAK PENTHILMendengar namanya mungkin kelihatan agak porno. Apalagi bagi masyarakat Jawa, boleh dikatakan tabu jika mendengar kata “penthil”. Namun kenyataan itu memang muncul dalam permainan anak tradisional. Kata bahasa Jawa “penthil” dalam bahasa Indonesia berarti puting susu. Kata itu termasuk kata yang sangat jarang diucapkan oleh anak-anak, kecuali menunjuk puting hewan. Karena permainan ini menggunakan pecahan Tembikar “kreweng” yang di atasnya diberi sebuah kerikil kecil, maka anak-anak masyarakat Jawa menyebutnya dengan dolanan Jirak Penthil. Kata jirak sendiri dalam kamus bahasa Jawa “Baoesastra Djawa” karangan WJS. Poerwadarminta (1939) bisa berarti nama pohon dan buahnya ataupun juga bisa berarti sebuah permainan (lihat uraian permainan sebelumnya).

Permainan Jirak Penthil berbeda dengan permainan Jirak. Apabila dolanan Jirak alat yang dibutuhkan bisa berupa buah jirak atau kreweng yang dibuat bundar serta memanfaatkan tanah yang dibuat lubang, namun pada dolanan Jirak Penthil, alat yang digunakan untuk bermain berupa pecahan kreweng (tanpa dibuat bundar), kerikil, dan gacuk (berupa pecahan tegel atau sejenisnya). Cara bermainnya pun berbeda.

Namun, ternyata dolanan Jirak Penthil lebih dominan dimainkan oleh anak-anak masyarakat Jawa yang berada di wilayah Karesidenan Surakarta (termasuk Kabupaten Sragen, tempat kelahiran penulis). Bahkan semasa kecil, di era tahun 1980-an penulis sering bermain permainan ini bersama teman-teman sebaya. Pada buku penelitian Sukirman dan Ahmad Yunus, di DI. Yogyakarta tidak ditemukan jenis dolanan ini. Atau bisa jadi ada jenis dolanan ini di daerah DIY atau wilayah lainnya di masyarakat Jawa (termasuk Jawa Timur), hanya dengan nama lain dan kebetulan berada di lokasi lain yang tidak termasuk area penelitian. Maka setidaknya dapat dikatakan bahwa dolanan ini telah dikenal setidaknya sejak 30-an tahun yang lalu atau bahkan sebelumnya.

Dolanan Jirak Penthil, seperti dolanan lainnya termasuk dolanan bersifat kompetitif dan mengandung hiburan. Dolanan ini dimainkan oleh dua kelompok yang saling berhadapan. Apabila ada pemain yang kalah, tentu harus menggendong pihak menang. Untuk itu, dolanan ini harus mengutamakan sportivitas dan kejujuran dalam bermain.

Juga seperti dolanan lain, dolanan ini tidak terikat oleh status sosial tertentu. Semua anak di kampung atau di desa yang berumur sekitar 8—12 tahun boleh bermain dolanan ini. Memang dolanan ini lebih didominasi oleh anak laki-laki daripada perempuan, walaupun kadang-kadang anak perempuan ada juga yang ikut-ikutan bermain. Karena sebenarnya dolanan ini lebih mengutamakan kekuatan fisik dan kecermatan. Untuk itu, sudah sepantasnya jika cocok dimainkan anak laki-laki. Mereka biasanya bermain di waktu terang hari, bisa pagi, siang, maupun sore. Malam hari hanya dimainkan saat terang bulan purnama. Mereka bermain mengambil waktu senggang, bisa pas liburan sekolah, habis sekolah, atau sehabis membantu orang tua.

Dolanan ini umumnya dimainkan secara berkelompok, artinya harus ada dua kubu, kelompok mentas dan kelompok jaga atau dadi. Setiap kelompok minimal terdiri dari 2 pemain. Permainan ideal, jika satu kelompok beranggotakan sekitar 4—7 anak. Jika terlalu banyak bisa dipecah menjadi 2 permainan. Jika setiap kelompok hanya terdiri 1 anak, tidak akan ramai dan meriah. Untuk itu, dolanan ini dimainkan oleh pemain yang jumlahnya harus genap, artinya setiap anak harus ada pasangannya.

Alat yang dipakai untuk bermain ini cukup sederhana, yaitu pecahan Tembikar, genteng atau disebut juga kreweng. Material lain berupa kerikil sebesar biji buah sawo (yang bulat). Selain itu untuk gacuk, alat untuk melempar bisa menggunakan pecahan tegel, keramik atau bahan lain, yang penting wujudnya lebih besar dan lebih awet, karena sering dilempar-lemparkan. Bisa pula sebagai gacuk menggunakan bola tenis. Tetapi alat yang terakhir ini hanya sebagai alternatif, karena zaman dulu sulit mencari bola tenis di kampung atau di desa. Semua bahan material itu banyak dijumpai di sekitar rumah. Jadi prinsip dolanan tradisional adalah alatnya sederhana, mudah diperoleh, dan tanpa harus mengeluarkan biaya.

Suwandi

Sumber: Baoesastra Djawa, WJS. Poerwadarminta, 1939, Groningen, Batavia: JB. Wolters’ Uitgevers Maatscappij NV., dan pengalaman pribadi




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta