Lomba Penulisan Puisi, "Di Pangkuan Yogya"

Lomba Penulisan Puisi, "Di Pangkuan Yogya"‘Di Pangkuan Yogya’ salah satu judul puisi yang meraih juara II dalam lomba penulisan puisi Jogja 2012.. Juara I, diraih puisi dengan judul “Yogyakarta: Kelahiran Kedua” dan juara III puisi yang berjudul “Labirin Yogyakarta II”. Masih ada dua judul puisi lagi sebagai juara harapan I dan II, masing-masing berjudul ‘Golong Gilig Kita-Tlethong Pong-Pong’ dan ‘Sebuah Catatan’.

Rasanya, setelah lomba penulisan puisi tahun 1980-an, di Yogya belum (lagi) ada lomba puisi. Namun bukan berarti puisi tidak lagi ditulis di Yogya, atau tak ada lagi penyair Yogya yang menulis puisi. Dari tahun 1970-an, bahkan tahun-tahun sebelumnya, setidaknya sejak era Rendra, Kirjomulyo, Yogya tidak pernah sepi dari puisi. Selalu saja ada puisi yang ditulis, dan muncul generasi penyair yang lebih muda.

Upaya ‘Ernawaty Literary Foundation’ yang didukung mitra lembaga di Yogya, seperti Taman Budaya Yogyakarta, Studio Pertunjukan Sastra, Mari Membaca Puisi Indonesia, dalam menyelenggarakan ‘Lomba Penulisan Puisi Jogja 2012’, adalah untuk menggairahkan dinamika penulisan puisi di Yogya.

Lomba Penulisan Puisi, "Di Pangkuan Yogya"Memang, jumlah puisi yang masuk tidak terlalu banyak, hanya 306 puisi. Jumlah ini kalau dibuat menjadi antologi belum temasuk tebal. Dari jumlah itu, 68 diantaranya gugur secara administrasi, karena itu tidak dinilai.

Mengapa jumlah 306 puisi yang masuk dianggap belum terlalu banyak?

Karena, peserta lomba tidak dibatasi usia. Artinya, usia tua, dan minimal usia 17 tahun dan berdomisili di Yogya, artinya bisa mengundang banyak penyair yang bisa ikut. Sebab penyair, atau penulis syair lainnya yang tinggal di Yogya dan usia diatas 17 tahun bisa mengikuti lomba ini: dari sini, kemungkinan puisi masuk akan melimpah. Tapi rupanya, hanya 306 puisi dari 158 penyair. Karena 68 dari karya puisi yang masuk tidak memenuhi syarat administrasi, sehingga puisi yang dinilai dewan yuri hanya 238 puisi.

Lomba sudah selesai. Pemenang puisi sudah diumumkan di Taman Budaya Yogyakarta, Selasa (28/2) lalu. Selain pemberian penghargaan, diisi musikalisasi puisi dari JAB UAD (Jaringan Anak Bahasa Universitas Ahmad Dahlan), dan pembacaan puisi oleh Sri Harjanto Sahid. Bukan soal siapa yang meraih juara atau siapa yang tidak. Sebab dalam lomba memang lazim ada yang menang dan ada yang kalah. Namun, seperti kata Rendra, ilmu surat bukan ilmu silat. Kalau dalam silat pemenang pertama selalu ada, karena pemenang kedua sudah dijatuhkan oleh pemenangLomba Penulisan Puisi, "Di Pangkuan Yogya"pertama. Tetapi dalam ilmu surat, sesungguhnya tidak ada pemenang, karena ilmu surat tidak bisa dilombakan.

Dalam kata lain, Lomba Penulisan Puisi Jogja 2012 adalah suatu momentum untuk menggairahkan penulisan puisi di Yogya. Kita perlu menghargai upaya ini, dan yang lebih penting, kita perlu menghormati pilihan dewan yuri yang meraih nilai tertinggi diantara 238 puisi yang dinilai.

Bahwa sesungguhnya, di Yogya ada potensi kepenyairan yang luar biasa, dan potensi itu perlu untuk diberi ruang. Salah satunya dalam bentuk lomba puisi. Setidaknya, seperti apa yang dikatakan oleh Nana Ernawati, saat memberi sambutan pada pemberian penghargaan Lomba Penulisan Puisi 2012.

“Saya melihat, banyak penyair bermunculan di Yogya, tetapi terasa ada kesenjangan antara penyair muda dengan penyair pendahulunya. Mengatasi hal itu, rasanya perlu ada ruang yang bisa menjembatani kesenjangan itu, dan ruang itu, yang kami pilih adalah lomba penulisan puisi, meski saya tahu, ada ruang lain yang bisa digunakan” kata Nana Ernawati.

Lomba Penulisan Puisi, "Di Pangkuan Yogya"Pilihan lomba penulisan puisi, memang penting untuk melakukan kompetisi antar penyair. Hanya saja, jika ruangnya terbuka lebar, tak ada kategori-kategori, orang menjadi terasa kikuk untuk memasuki ‘ruang lebar’ itu. Ada perasaan tidak enak di ‘ruang lebar’ antara penyair muda dan penyair yang lebih tua saling melakukan kompetisi, seolah tak ada (lagi) ruang bagi penyair tua, yang dalam bahasa puisi Iman Budi Santosa dituliskan “hitam putih enggan berseteru” (Sajak, Di Pangkuan Yogya).

Barangkali akan menjadi lain, jika lomba penulisan puisi dikhususkan bagi penyair muda yang berusia antara 17-30 tahun. Dari kategori usia ini sekaligus bisa untuk melihat konsistensi penyair dalam menulis puisi sepanjang 20-an tahun. Penyair yang lebih tua, dilihat keteguhannya dalam berpuisi dan juga kontinyuitas serta produktivitasnya, dari sini kita bisa memberi penghargaan pada penyair yang memiliki keteguhan pada puisi. Selain produktif, masih memberikan waktu untuk bertemu dan berinteraksi dengan penyair yang lebih muda.

Langkah awal dari Ernawaty Literary Foundation perlu kita dukung, dan semoga tidak berhenti pada sekali lomba.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta