Tembi

Berita-budaya»ENTAH DARI MANA, TIBA TIBA JEMEK MUDIK

06 Sep 2011 08:40:00

ENTAH DARI MANA, TIBA-TIBA JEMEK MUDIKSelama ini belum pernah mendengar Jemek Supardi mempunyai keinginan untuk mudik. Bahkan, menjelang lebaranan tiba Jemek mudah sekali ditemukan di Yogya, sebagaimana sehari-harinya dia tinggal di Yogya. Hanya ini kali, pada lebaran tahun 2011, tepatnya Minggu (28/8) beberapa hari sebelum lebaran, tiba-tiba Jemek (bingung) mudik. Mengenakan pakaian khas Yogya, Jemek tersandar pada sebuah karya instalasi nasi bungkus yang diletakkan di titik nol kilometer Yogyakarta. Di lokasi ini, Jemek mengekspresikan ‘keinginannya’ untuk mudik.

Pastilah kita tahu, kalau Jemek ‘berulah’ ditengah keramaian dengan wajahnya dirias warna putih, artinya Jemek sedang berpantomim. Kali ini, kisah yang dismpaikan kepada publik menyangkut mudik. Dan lakon yang dia sampaikan memang mengenai hal itu, ialah ‘Jemek (bingung)mudik’.

Lokasi pertunjukkan mengambil di titik nol kilometer. Pada lokasi ini dikenal sebagai perempatan kantor pos, dan disekitarnya ada trotoar. Di lokasi ini pula ada bangunan Istana Negara ‘Gedung Agung’. Selain itu, dilokasi ini merupakan gerbang masuk Kraton Yogyakarta, yang ‘diawali’ alun-alun utara.

Pastilah Jemek sedang tidak hendak mudik ke Kraton, atau ke Istana Negara. Jemek adalah warga masyarakat yang melakukan mudik. Menjelang lebaran tiba, atau beberapa hari sebelum lebaran warga mudik sudahENTAH DARI MANA, TIBA-TIBA JEMEK MUDIKmemenuhi kereta api, bus atau kapal laut, atau juga pesawat terbang. Warga mudik seperti tidak mau kehilangan momentum lebaran sehingga merasa perlu untuk kembali ke kampung asalnya.

Dengan barang bawaan yang tidak ringan, Jemek mudik ke Yogya, dan tentu saja dia tidak lupa menggunakan becak untuk sampai kampungnya. Jemek seperti menyadari, bahwa ke Yogya, hampir-hampir tidak (bisa) melupakan becak dan titik nol kilometer, yang lebih dikenal dengan sebutan perempatan Kantor Pos.

Laiknya orang mudik. Jemek terasa ‘memangggul beban’ dipundaknya. Barang-barang yang dia bawa adalah beban itu. Namun agaknya, Jemek hendak berbisik, bukan barang-barang bawaan yang menjadi beban, melainkan kehidpuan itu sendiri yang (telah) menjadi beban dipundaknya.

Agaknya Jemek merasa galau melihat arus mudik yang selalu padat. Apalagi para pemudik yang menggunakan kendaraan dan memadati jalan raya. Meski Jemek tidak pernah mudik kemanapun. Namun untuk kali ini, melalui media pantomime Jemek ingin mudik. Padahal yang sebenarnya dilakukan Jemek, dia bukan sedang hendak mudik, melainkan dia bingung akan mudik kemana.

Ada banyak warga yang sebenarnya, sampai hari ini masih tetap tinggal di kampung kelahirannya, setidaknya seperti Jemek. Karena itu tidak perlu mudik. Dalam keseharian di kampungnya memang hanya rutinitas yang dilakukan. Tak ada sesuatu yang baru dilakukan oleh warga kebanyakan.

Jemek, sebagai pantomimer memang berulangkali melakukan ‘pertunjukkan’ di ruang-ruang terbuka, yangENTAH DARI MANA, TIBA-TIBA JEMEK MUDIKterkadang tidak lazim untuk pentas. Agaknya, bagi Jemek, ruang pertunjukkan bukan hanya panggung tertutup dengan dekorasi yang dibuat(-buat). Keadaan sekeliling oleh Jemek dimaknai sebagai setting sekaligus dekorasi. Jemek misalnya, pernah melakukan pentas di kuburan, di sungai, ditempat pembuangan sampah. Pendeknya, tempat-tempat yang sebelumnya tidak terbayangkan sebagai ruang pertunjukkan.

Dan titik nol kilometer, belakangan ini, telah menjadi ruang yang sering dipakai untuk berbagai macam kepentingan. Kesehariannya, tiitik nol kilometer dipakai oleh pengguna jalan dengan berbagai macam jenis kendaraan, termasuk sepeda dan andong. Bersamaan dengan ramainya lalu lintas, tidak jarang, di titik nol kilometer, kita seringkali melihat unjuk rasa yang dilakukan oleh bermacam elemen masyarakat.

Pada atmosfir titik nol kilometer ini ada plaza monumen 1 Maret yang sering digunakan untuk acara kesenian dan kebudayaan. Dan trotoar sekitar titik nol kilometer dipakai untuk santai-santai beragam kelompok sosial masyarakat, apalagi pada Sabtu malam, bermacam komunitas yang ada di Yogya ‘nongkrong’ dikawasan titik nol kilometer ini.

Dan Jemek, yang mengeksperikan (ke)bingung(annya) mudik dilakukan di kawasan titik nol. Maka, tepat kiranya mengambil tempat disini, karena mudik adalah kembali ke kampung asalnya, artinya kembali ke awal. Kembali ke nol. Jemek pentas mudik di titik nol.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta