Diskusi Buku Puisi 'Kepayang' Abdul Wachid BS

Kepayang adalah situasi bentuk yang berlebihan, karena cinta atau melubernya perasaan. Mungkin penyairnya sengaja memilih judul ‘Kepayang’ untuk menunjukkan perasaan cintanya yang melimpah kepada Tuhan.

Forum Sastra Indonesia menyelenggarakan diskusi sastra di Universitas Achmad Dahlan, Yogyakarta, Foto: Tegoeh Ranusastro
Diskusi sastra membahas antologi puisi ‘Kepayang’

Diskusi karya sastra, khususnya puisi, terus bergulir di Yogyakarta. Dalam diskusi sastra, selalu diawali dengan pembacaan puisi, setidaknya seperti dilakukan Forum Sastra Indonesia, Rabu 12 Desember 2012 di Universitas Achmad Dahlan (UAD), Jl. Pramuka, Yogyakarta, dengan membahas antologi puisi yang berjudul ‘Kepayang’ karya Abdul Wachid B.S, menghadirkan narasumber Tia Setiadi, seorang pengamat sastra.

Beberapa puisi dalam buku ‘Kepayang’ dibacakan oleh beberapa mahasiswa UAD. Pembacaan puisi ini setidaknya bisa mengisi pembukaan acara diskusi, karena penyairnya yang tinggal di Purwokerto belum tiba di ruang diskusi. Bahkan, ketika berlangsung pembahasan, Abdul Wachid sedang dalam perjalanan menuju UAD.

Tia Setiadi melihat puisi Abdul Wachdi B.S, yang terkumpul dalam buku ‘Kepayang’, lebih berkisah tentang cinta dalam bermacam manifestasinya. Menurut Tia, tema cinta sangat mendominasi puisi Abdul Wachid.

“Bahkan, saya rasa, buku puisi ‘Kepayang’ ini merupakan puisi-puisi cinta,” kata Tia Setiadi.

Diskusi sastra ini, selain dihadiri anak-anak muda, yang sebagian besar mahasiswa UAD, juga dihadiri para penyair dan cerpenis Yogyakarta, seperti Bambang Darto, selain penyair juga dikenal sebagai aktor teater; Budhi Ismanto; Slamet Riyadi Sabrawi, penyair dan dokter hewan; dan seorang cerpenis, Joni Ariadinata.

Joni Ariadinata, dengan menyitir Sapardi Djoko Damono mengatakan, bahwa penyair-penyair pemula berusaha menghindari kata-kata busuk dalam puisi, yang oleh penyair senior kata-kata busuk itu tidak lagi digunakan. Kata-kata busuk itu, demikian kata Joni, seperti cinta, marah dan kata-kata sejenis yang maknya sudah jelas dan tidak bisa ditafsirkan lagi.

“Tapi saya melihat, pada beberapa puisi Abdul Wachid B.S masih menggunakan kata-kata busuk itu,” ujar Joni Ariadinata.

Membaca puisi untuk mengakhiri diskusi sastra di UAD, Foto: Tegoeh Ranusastro
Abdul Wachid B.S membacakan salah satu puisi karyanya

Kita kutipkan puisi yang berjudul ‘Titik’, supaya bisa memiliki gambaran atau bayangan dari apa yang dikatakan Joni:

‘Apakah cinta senantiasa titik?
air di lautan air di daratan ditarik
matahari khatulistiwa menuju awan-awan
berarak mega-mega melebur dalam kesetiaan’

Antologi puisi “Kepayang” ini terdiri dari 41 puisi yang ditulis tahun 2011 dan 2012. Puisi yang ditulis tahun 2011 ada 12 puisi sisanya puisi ditulis tahun 2012. Buku puisi ini diberi pengantar oleh Lee Yeon, doktor ilmu sastra dan pengajar tetap di Hankuk University of Foreign Studies (HUFS), Seoul, Korea Selatan. Epilog buku ini ditulis oleh Maman S.Mahayana, pengajar di FIB-UI.

Abdul Wachid B.S lahir di Dusun Bluluk, Lamongan, Jawa Timur, tetapi proses kreatifnya tumbuh di Yogyakarta. Achid, demikian dia dipanggil, alumni jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM, dan sekarang menjadi dosen tetap di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Purwokerto.

Bagi Lee Yeon, makna’Kepayang’ mengisyaratkan situasi yang berada diantara kesadaran dan ketidaksadaran, ketika seseorang dilanda perasaan penuh, meluap-luap, hingga tumpah dalam bentuk laku atau tindakan yang sering membuat orang lain melihatnya sebagai perbuatan yang tak lazim, luar biasa, dan unik atau bahkan aneh.

“Kepayang adalah situasi bentuk yang berlebihan, karena cinta atau melubernya perasaan. Mungkin penyairnya sengaja memilih judul ‘Kepayang’ untuk menunjukkan perasaan cintanya yang melimpah kepada Tuhan,” kata Lee Yeon.

Sedang Maman S. Mahayana melihat, puisi-puisi Abdul Wachid B.S berada dalam situasi tarik-menarik diantara dua posisi puisi. Tidak terang benderang, tetapi juga tidak gelap gulita. Kadang-kadang ada sejumlah puisi yang tampak temaram, samar-samar, tetapi ada pula yang terkesan bagai bayang-bayang belaka, seperti siluet, atau kilasan-kilasan kilat cahaya yang menyerupai lampu sorot mercusuar.

“Menikmati puisi-puisi Abdul Wachid B.S, ada keasyikan yang tak royal diobral, ada kedekatan yang terasa agak asing, bahkan ada pula empati atau simpatik yang sekadar sebagai curahan hati,” kata Maman S.Mahayana.

Ons Untoro

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta