Kita Memanggilnya dengan Momen

Kita Memanggilnya dengan Momen

Dengan memakai momen sebuah pertunjukan musik, forum Musik Tembi, Fombi mengundang minat para pemusik muda khususnya untuk datang dan menyaksikan 9 momen yang dialami dirasakan dan kemudian di ungkapkan oleh sosok Gardika Gigih Pradipta lewat komposisi musik yang terdiri dari instrumen piano, cello, biola dan pianika. Pertunjukkan musik tersebut digelar pada hari Rabu 21 Maret 2012, Jam 20.00, di Museum Tembi Rumah Budaya.

Dalam mempergelarkan karya-karya komposisinya, Gigih tidak sendirian. Ia dibantu oleh Dadang Wahyu dan Lia Ristiyana (piano), Ahmad Ramadhan dan Muh. Januar Affandi (biola), Jeremia Kimosabe, Eki Satria (cello). Sepuluh repertoar secara berturut-turut tanpa istirahat telah dipentaskan dihadapan sekitar 100 penonton yang melihat langsung di dalam Museum dan melihat melalui layar monitor di Pendapa. Kesepuluh repertoar yang di pentaskan adalah:

Kita Memanggilnya dengan Momen

Repertoar 1, diberi judul ‘Pertemuan Kembali’ solo piano: Gardika Gigih. Repertoar 2, ‘Semarak Pagi Hari’ dengan menampilkan piano: Gardika Gigih, biola: Ahmad Ramadhan dan Muh januar Afandi. Repertoar 3, ‘I See the Military Marching Band’ menampilkan piano: Dadang Wahyu, Biola: Ahmad Ramadhan, Cello: Jeremia Kimosabe dan Eki Satria. Repertoar 4, ‘Pertemuan dalam Kereta Senja’ biola: Ahmad Ramadhan, Cello: Jeremia Kimosabe, piano: Lia Ristiyana. Repertoar 5, ‘Pianika Seketika’ solo pianika: Gardika Gigih. Repertoar 6, ‘Manusia, Rumput dan Angin’ piano: Lia Ristiyana, cello: Eki Satria. Repertoar 7, ‘Pertemuan dan Hujan’ biola: Muh Januar Affandi, piano: Lia Ristiyana. Repertoar 8, ‘Untiled Momen’ biola: Muh Januar Affandi, cello: Jeremia Kimosabe dan Eki Satria, piano: Dadang Wahyu. Repertoar 9, ‘Malam Pesta Kembang Api’ piano: Gardika Gigih, biola: Ahmad Ramadhan dan Muh Januar Affandi. Repertoar 10. ‘Praying’ biola: Ahmad Ramadhan, Muh Yanuar Affandi, cello: Eki Satria dan Jeremia Kimosabe dan piano: Gardika Gigih.

Kesembilan repertoar yang menampilkan komposisi karya Gardika Gigih merupakan hasil merespon sebuah momen yang dijumpai dalam perjalanan hidupnya, untuk kemudian diekspresikan menjadi sebuah karya komposisi musik.

Kita Memanggilnya dengan Momen

Dalam setiap komposisinya Gardika Gigih mencoba untuk menterjemahkan suara-suara dominan yang ditimbulkan dari setiap momen yang ada, ke dalam bahasa bunyi yang ditimbulkan oleh instrumen musik yang dipakainya. Seperti misalnya pada repertoar yang diberi judul ‘Semarak Pagi Hari’, Gardika Gigih mengimajinasikan suara dominan pada momen pagi hari yaitu suara kicau burung dengan suara biola. Sedangkan pada epertoar ‘I see the Military Marching Band’ Gardika Gigih menggunakan suara cello untuk mengimajinasikan suara langkah sepatu dan derap tambur barisan militer. Demikan pula suara yang dominan pada repertoar ‘Pertemuan dalam Kereta Senja’ dan repertoar: ‘Manusia Rumput dan Angin yaitu suara kereta dan suara angin ditampilkan dengan suara piano dan cello. Dan pada repertoar ‘Pertemuan dan Hujan’ dan pada repertoar ‘Pesta Kembang Api’ suara yang dominan adalah suara hujan dan suara kembang Api diekspresikan dengan suara piano dan biola.

Dengan membaca judul-judul dari masing repertoar dibawakan malam itu Komposisi karya Gardika Gigih cukup mudah dimengerti dan dipahami maksudnya, terutama bagi orang awam. Secara umum proses kreatif Gardika Gigih masih lurus-lurus saja dengan imajinasi penonton pada umumnya mengenai suara kicau burung, suara kereta, suara tambur dan suara-suara yang lain. Jika boleh dibandingkan dengan karya seni lukis, komposisi karya Gardika Gigih beraliran ‘realis’ sesuai dengan kenyataan, apa adanya, sehingga jelas didengar dan dirasakan.

Kita Memanggilnya dengan Momen

Proses kreatif yang dikerjakan Gardika Gigih pun apa adanya, tidak mengada-ada. Hala tersebut dapat dilihat dari momen yang dipilih untuk kemudian diangkat dan diproses menjadi sebuah karya komposisi musik. Momen-momen tersebut adalh momen yang dialaminya sendiri, tidak yang dialami orang lain.

Perjalanan Gardika Gigih yang lahir di Sragen, 5 Agustus 1990, masih membentang panjang. Banyak lagi momen-momen yang akan ditemui dalam perjalanan hidupnya. Tentu saja semakin banyak momen yang dijumpai akan semakin leluasa dalam memilihnya untuk dijadikan sebuah karya komposisi musik. Semakin banyak momen yang dirasakan juga akan memberi kesempatan untuk memperdalam proses pematangan diri sebagai seorang komponis. Waktu yang dianugerahkan adalah kesempatan untuk terus berkarya, agar nantinya dapat menggunakan momen untuk memanggil lebih luas lagi serta lebih banyak lagi orang yang datang dan berdecak kagum, atas momen yang dihasilkan seorang Gardika Gigih.

Kita Memanggilnya dengan Momen

foto: Sartono, tulisan: herjaka




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta