'Dialog' Melalui Fotografi
Hari-hari ini kita hampir-hampir tidak bisa (di)lepas(kan) dari fotografi. Setia saat, melalui beragam media, kita akan berjumpa dengan hasil jepretan kamera digital. Namun, tiga fotografer –sebut saja begitu—menempatkan hasil fotografinya sebagai ‘art’ dan hasil visualnya menyerupai karya seni lukis yang penuh ‘art’ bahkan cenderung abstrak. Tiga fotografer, masing2 Agus Heru, M.A. Rosiq dan Windujati, melakukan pameran bersama atas karya fotografi mereka, yang diberi tajuk ‘Hyperfocal Distance’ di Bentara Budaya Yogyakarta, 3-12 Februari 2012 lalu.
Karya ketiga fotografer ini, sepenuhnya berusaha tampil sebagai ‘art’. Mereka mengeksploasi obyek, bahkan sekaligus ‘menciptakan’ obyek, seperti karya-karya M.A Roziq, yang menggunakan bahan-bahan korek api. Obyek, bagi ketiga fotografer bukan dilihat sebagai ‘kenyataan’ sebagaimana kamera bisa ‘mengabadikan’. Namun, agaknya, bagi ketiganya,obyek adalah ‘awal’ dari ide, untuk kemudian dieksplorasi menjadi sebuah karya fotografi.
Karya-karya Agus Heru yang mengambil biji sebagai obyeknya, dia eksplorasi sedemikian rupa sehingga ‘tampilannya’ kelihatan indah. Namun keindahannya berbeda dengan keindahan alam, atau keindahan kecantikan artis. Keindahan pada karya Agus Heru sepenuhnya dikonstruksi, sehingga laiknya keindahan obyek wisata yang diciptakan. Dalam kata lain, Agus Heru sedang berimajinasi mengenai keindahan, apapun gagasan yang (di)muncul(kan) dari biji, yang pasti, keindahan menjadi hal yang utama.
Lain lagi dengan M.A Roziq, yang mengkonstruksi obyek menggunakan bahan-bahan batang korek api. Ada sejumlah batang koreka api yang dijajar dengan rapi dan kemudian diintipdari balik kamera: kilik. Maka jadilah karya yang diberi judul ‘Batas Emosi’, atau sejumlah batang korek api, yang sudah terbakar sebagian dan masih terlihat sisa batangnya, serta warna hitam dari sisa batang yang terbakar. Diberi latar belakang, dan kemudian, lagi-lagi, diintip dari kamera: klik!. Maka, jadilah karya yang diberi judul ‘Dialog’.
Windujati, hadir laiknya seorang perupa modern, yang tampil dengan bentuk-bentuk abstrak, Karya-karya fotografinya, sepenuhnya ditempatkan sebagai karya seni, laiknya karya seni rupa, yang visualnya abstrak. Dari karyanya, Windujati seperti sedang melukis, bukan sedang menggunakan alat fotografi. Dia seperti memberikan ‘jalur’ lain seni lukis melalui fotografi.
Ketiga fotografer ini, setidaknya melalui karya-karya mereka, kelihatan sekali ‘happy’ dari hasil karyanya. Atau juga, mereka menjalani profesi sebagai fotografer penuh dengan kebahagiaan, sehingga hasil karyanya seperti ‘menyiratkan’ rasa bahagia. Mereka sedang tidak ‘berbicara’ atau ‘berdialog’ dengan kenyataan melalui kamera, dan menghadirkan ‘kenyataan’ yang lain dari hasil jepretan atas kenyataan. Mereka, sedang berkarya seni melalui karya fotografi.
Karena itu, kita tidak bisa membandingkan karya fotografi ‘art’ seperti ini dengan foto jurnalistik, yang merekam ‘kenyataan’ sekaligus memproduksi ‘kenyataan’ lain dalam imajinasi orang yang melihatnya. Dalam kata lain, karya fotografi, seperti halnya karya seni rupa lainnya, tidak pernah sepi dari gagasan. Tidak nisbi dari ide. Karena itu, hasil kerja fotografi akan lebih menarik apabila mempunyai muatan persoalan dan orang yang melihat karya fotografi bisa ‘terlibat’ pada persoalan itu.
Fotografi memang bukan sekedar menghasilkan dokumentasi, namun sifat dokumentatif dari fotografi tidak bisa dihindarkan. Karya fotografi memang bukan sekedar ‘membekukan’ realitas, tetapi sekaligus ‘menghidupkan’ kenyataan. Foto-foto karya Henry C. Bresson, fotografer dari Perancis dalam buku karyanya yang berjudul ‘Indonesia 1949’ selain memikiki nilai historis, sekaligus ‘menghidupkan’ realitas pada masa lalu, yang telah menjadi sejarah. Ia tidak hadir secara ‘art’ laiknya karya senir rupa, tetapi hasil fotografi hitam putihnya memiliki nuansa art tersendiri.
Kita, sekarang memang sedang menghadapi ‘era’ karya fotografi yang bergerak kearah yang berbeda. Dan kita tak bisa menolaknya. Suka tidak suka. Apa boleh buat.
Ons Untoro
Artikel Lainnya :
- Sengkuni, Sang Patih Licik (5)(14/12)
- DRAWING The Day After Today(15/05)
- PAMERAN KELILING TIGA MUSEUM DI Tembi(23/11)
- Slamet Rahardjo Menyuguhkan Balak Kosong alias Balaksong(14/12)
- IKLAN-IKLAN LUCU, WAGU, NYLENEH DI JOGJA(10/03)
- Kaum Sela Membaca Puisi(01/11)
- BANTULAN, SENTRA KERAJINAN BERBAHAN PAKU PASIR DAN SEMEN(20/01)
- Seni Tari dan Pendidikan Karakter (Dialog Budaya dan Gelar Seni Yogya Semesta Seri ke-52)(31/08)
- PIJAT ALA JAWA DI JOGJA TEMPO DOELOE(02/07)
- MENU JAPANESE DI JOGJA(31/10)