Slamet Rahardjo Menyuguhkan Balak Kosong alias Balaksong

Sindiran-sindiran terhadap carut-marutnya politik, dan aparat pemerintah di Indonesia disuguhkan dengan gamblang oleh sutradara Slamet Rahardjo. Sebuah kisah perdebatan tentang kesalahan dan kebenaran.

Pentas “Balaksong” oleh Teater Populer, Bentara Budaya Jakarta, 6 Desember 2012,foto : Natalia S
Sang kepala penjara tengah berdialog dengan napi satu-satunya yang tersisa

Cerita sandiwara dibuka dengan nyanyian yang isi liriknya berkisah tentang rekayasa menusia yang sibuk mempertahankan kepentingannya. Kemudian pada set panggung terlihat suasana di dalam penjara, ada satu tahanan dan kepala penjara yang sedang berbincang.

“Aku mengaku salah, telah menghasut rakyat untuk tidak bayar pajak karena hasilnya untuk pesta pora para pejabat di luar negri, aku mengaku salah telah menghina presiden. Dan dengan perasaan malu dan terhina aku menyesali perbuatanku telah menghina dan menuduh para pejabat korupsi,” kata si narapidana dengan lantang.

Si kepala penjara kemudian tertawa keras dan menanyakan mengapa setelah puluhan tahun mungkir dan memilih dipenjara si narapidana yang ditangkap karena tuduhan ekstremis dan pemberontak - karena ingin melempar granat ke arah jenderal - ini tiba-tiba mengakui kesalahan dan bersedia menandatangani surat persetujuan bersalah. “Aku adalah orang terakhir dari seorang revolusioner. Sekarang rakyat sudah bahagia dan aku adalah orang terakhir yang berada di penjara ini,” kata si narapidana.

Akhirnya si narapidana ekstrimis itu dibebaskan. Tinggallah si kepala penjara kebingungan karena penjaranya sepi, dan tidak ada lagi orang yang bisa ditangkap karena tuduhan pemberontakan. Padahal tidak lama lagi sang jenderal akan melakukan inspeksi mendadak (sidak) untuk mengetahui apakah masih ada pemberontak yang diperjarakan.

“Ya Tuhan, kalau penjara kosong begini, mau kerja apa kita nanti,” katanya. Kemudian muncul anak buahnya, seorang intel kota yang sehari-harinya bertugas sebagai agen provokasi untuk memancing para ekstremis dan pemberontak keluar dari sarangnya. Si intel mengeluh karena setiap ia memancing provokasi, ia malah dikeroyok oleh massa. “Ketika saya meneriakkan makian kotor tentang raja muda, saya malah di pukuli dan dianggap ekstremis gila, komandan,” keluhanya kepada sang kepala penjara.

Si intel pun dari hari ke hari mengeluh karena tidak pernah memakai seragam aparat kebesarannya karena diharuskan memakai pakaian sipil demi menjaga rahasia identitas. “Saya sedih karena lama-lama saya bisa lupa kalau saya seorang petugas karena terus-terusan mengenakan pakaian sipil seprti ini,” katanya.

Pentas “Balaksong” oleh Teater Populer, Bentara Budaya Jakarta, 6 Desember 2012, foto : Natalia S
Dua istri sang intel memamerkan celana dalam suaminya yang
ditempeli lambang identitas lembaga suaminya

Lalu muncullah 3 istri si intel dengan logat masing-masing, Sunda, Ambon dan Jawa. Para istri ini juga ikut sedih karena identitas sebagai petugas negara hanya bisa ditempelkan pada kolor suaminya. “Hanya di rumah suamiku bisa mengenakan seragam lengkap kebesarannya, apakah begini nasib petugas intel yang frustasi,” kata salah seorang istri.

Namun, pikiran sang kepala penjara masih saja terbebani oleh rencana kedatangan sang jenderal. Demi menyelamatkan kariernya, dia lantas menyuruh sang intel untuk menyamar sebagai pemberontak yang dipenjarakan. Karena kesetiaannya pada sang komandan, si intel manut saja.

Begitulah sekelumit kisah dalam sandiwara rakyat berjudul ‘Balaksong’ besutan dramawan senior Slamet Rahardjo, yang diadaptasi dari karya Slamowir Mrozek berjudul ‘Polisi’. Drama itu dimainkan oleh Teater Populer di Bentara Budaya Jakarta, pada Kamis dan Jumat, 6 & 7 Desember 2012.

Dalam sandiwara itu, Slamet Rahardjo berhasil mengaduk batin dan benak penonton perihal laku otoriter, loyalitas total, pun pengkhianatan, dan penjilatan. Tentulah unsur-unsur itu diverbalkan dengan menggunakan konteks kekinian kekuasaan di Indonesia, yang kerap mengundang tawa sinis penonton.

Apa yang hendak disampaikan oleh Slamet Rahardjo adalah sebuah kisah perdebatan tentang kesalahan dan kebenaran yang dipicu oleh perbedaan cara memandang. Kesalahan dan kebenaran memiliki nilai yang sama, seperti tampilan balak kosong dalam kartu domino yang menyejajarkan dua kotak kosong dengan besar dan ukuran yang sama.

Bentara budaya pun seperti mengembalikan ruang teater zaman dulu kala, yang serba sederhana dalam tata panggung maupun kostum. Penonton yang pun mengaku cukup puas dan bisa menangkap apa yang coba disampaikan Slamet Rahardjo malam itu.

Pentas “Balaksong” oleh Teater Populer, Bentara Budaya Jakarta, 6 Desember 2012, foto : Natalia S
Saat sang jenderal melakukan sidak di penjara

'Balaksong' yang diproduksi oleh Zamilia ini menghadirkan sejumlah pemain antara lain Andi Bersama, Rizky Mulyawan, Budi Djarot dan Subarkah Hadisarjana. Mereka adalah generasi penerus dari rumah Teater Populer, yang pernah menjadi tempat penggemblengan talenta nama-nama macam Teguh Karya, Slamet Rahardjo, Christine Hakim, Franky Rorimpandey, George Kamarullah, Henky Solaiman, Benny Benhardi, Niniek L. Karim, Sylvia Widiantono, Dewi Matindas, dan Alex Komang.

Natalia S.

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta