Tembi

Yogyakarta-tempo-doeloe»Gunungan Putri 1888

17 Oct 2007 09:04:00

Djogdja Tempo Doeloe

Gunungan Putri 1888

Orang jawa, setidaknya orang Yogyakarta, pastilah mengenal apa yang disebut sebagai gunungan, meskipun secara detil mungkin tidak memahaminya. Upacara gunungan ini muncul dalam upacara garebeg, yang sering dilafalkan menjadi grebeg. Dalam tradisi jawa dikenal tiga jenis gerebeg, yaitu gerebeg mulud, gerebeg besar dan gerebeg syawal.

Tradisi garabeg, atau bisa disebut dengan gunungan, telah ada sejak lama, setidaknya sejak Mataram berdiri, atau sejak Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri. Foto yang bisa dilihat ini adalah foto gunungan perempuan tahun 1888, artinya gunungan sebagai tanda dari hadirnya Raja dalam upacara garabeg sudah ada sejak lama, setidaknya sejak sebelum tahun 1888. Gunungan memang terdiri dari dua jenis, gunungan laki-laki dan gunungan perempuan.

Garebeg mempunyai arti dihadiri atau dikerumuni orang banyak secara bersama-sama. Kata garabeg berarti pula mengantarkan atau mengiringi bersama-sama. (lihat buku "Upacara Tradisional Sekaten DIY, terbitan DepDikbud, 1991)

Dalam judul buku disebut di atas, mengenai Gunungan Perempuan, menuliskannya:

"Bentuk gunungan perempuan mirip dengan bokor atau piala dalam ukuran besar. Pada bagian dasar lebih kecil dari bagian atas, mirip dengan bentuk piala yang diletakkan terlentang, sedang dari bagian atas yang paling lebar itu ke puncak, membentuk keruncut yang tidak runcing, nampak seperti tutup piala tersebut. Bagian yang kelihatan seperti tangkai pegangan tutup piala inilah yang disebut mustaka gunungan perempuan itu.

Mustaka gunungan perempuan itu berbentuk seperti gunungan wayang kulit, diberi bertangkai panjang, dan diikatkan dengan tiang yang mencakup pada asdhumpal.

Disekitar mustaka berbentuk gunungan wayang tersebut diikatkan 60 buah ilat-ialatan, yang masing-masing bertangkai.

Disekitar mustaka yang telah diikat menjadi satu dengan ilat-ilatan itu, diaturlah upil-upil dengan aneka macam warnanya, makin merendah. Di sebelah bawah lingkaran upil-upil itu diaturlah tlapukan, juga bermacam-macam warnanya, penuh melingkar, kira-kira dalam tujuh lapis lingkaran. Dan lingkaran yang paling luar atau paling bawah, diaturlah rengginan, beberapa lapis sampai bidang yang bentuknya mirip dengan tutup piala itu semuanya penuh dengan hiasan. Di sana-sini pada lingkarang tersebut, ditancapkanlah bethetan dan oleh-oleh.

Bagian tubuh gunungan perempuan tersebut ditutup dengan kulit batang pisang, yang disusun berjajar berdiri, dengan bagian yang cekung terletak di bagian dalamnya. Pada tubuh gunungan inilah, di sana-sini di gantungkan hiasan, ialah 4 buah eblek dan 11 buah tedheng, yang digantungkan dengan tali-tali.

Agar gunungan putri (perempuan) ini dapat kuat melekat pada dhumpal, maka tiang kuat ditancapkan kuat-kuat pada dhumpal yang merupakan kaki gunungan. Pada bagian dasar tiang itu, ditaruhlan sebakul wajik.

Seperti halnya gunungan laki-laki, maka gunungan perempuan inipu diletakkan ke dalam jodhangan, yang dapat dipasangi dua batang kayu pemukul. Setelah berbagai sajen dan berbagai makanan serta buah-buahan diletakkan di atas jodhangan itu, lalu kain bangun-tulak di kerukupkan menutupinya."

Upacara garabeg berikut tanda gunugan, bisa dimengerti sebagai simbol komunikasi kultural antara Raja dan rakyatnya. Bahwa raja bisa sangat dekat dengan rakyatnya, seperti halnya gunungan yang bisa di jamah oleh siapapun yang datang dalam upacara garebeg.




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta