Kaum Sela Membaca Puisi

Sastra Bulan Purnama edisi 14 mengambil tema ‘Kaum Sela Membaca Puisi’, karena pembaca puisi berasal dari komunitas Facebooker. ‘Sela’, seperti dikatakan Cuk Riomadha, salah seorang penyair yang ikut membaca dan yang mengusulkan tema, bisa berarti waktu luang, atau juga bisa berarti batu. Tetapi dalam konteks tema ini, ‘sela’ memiliki arti waktu luang.

Ida Fitri sedang membacakan puisi karyanya di Pendapa Tembi Rumah Budaya dalam acara Sastra Bulan Purnama 14, Foto: Sartono
Ida Fitri tengah membawakan karyanya yang berjudul
‘Lumut Batu Di Jalatunda’

Senin petang, 29 Oktober 2012, hujan mengguyur beberapa lokasi di Bantul, termasuk Amphy Theater di kompleks Tembi Rumah Budaya. Acara Sastra Bulan Purnama edisi 14 yang sudah dipersiapkan di Amphy Theater terpaksa berpindah tempat di Pendapa Tembi Rumah Budaya.

Terang bulan yang biasanya menghiasai acara Sastra Bulan Purnama, untuk edisi 14 ini, kali ini tersembunyi, meski saat acara berlangsung dengan menampilkan 16 penyair, bulan mulai kelihatan dan sampai acara selesai pukul 22.00, bulan budar menyertai.

Pembacaan puisi diawali oleh dua pembaca opening, yang menulis puisi matematika. Keduanya siswa SMA Yohanes de Britto, yang oleh guru matematikanya, HJ. Sriyanto, memang diajari membuat puisi dengan basis pelajaran matematika. Albertus Denny membacakan puisi matematika dengan judul ‘Fungsi Tak Sampai’ dan Yonatan Denny Saputra membacakan puisi berjudul ‘Dari Konsentris. Dengan Komutatif, Hingga Kongruen”.

Sastra Bulan Purnama edisi 14 ini mengambil tema ‘Kaum Sela Membaca Puisi’, karena pembaca puisi berasal dari komunitas Facebooker. ‘Sela’, seperti dikatakan Cuk Riomadha, salah seorang penyair yang ikut membaca dan yang mengusulkan tema, bisa berarti waktu luang, atau juga bisa berarti batu. Tetapi dalam konteks tema ini, ‘Sela’ memiliki arti waktu luang.

Cuk Riomandha mengenakan t’shirt warna merah dan celana pendek warna merah, membacakan 4 puisi pendek yang diterbitkan untuk Sastra Bulan Purnama dengan judul ‘Kaum Sela Membaca Puisi’. Puisi yang dibacakan Cuk Riomandha berjudul ‘Haiku Kunjorowesi-Dharmawangsa’, ‘Mengingat Sang Kudus’, ‘Setangkai Daun Bodhi’ dan ‘Hai…Senja yang Basah’.

Rudi Yesus, seorang penyair dan penggerak petani organik di Klaten, tampil dalam acara Sastra Bulan Purnama 14 di Pendapa Tembi Rumah Budaya, Foto: Sartono
Ekspresi Rudi Yesus, sang penggerak petani organik,
saat membacakan puisi yang berjudul ‘Ruang Waktu’

Para penyair yang tampil dalam Sastra Bulan Purnama ini, yang kemudian disebut sebagai “penyair sela”, biasa menulis puisi dan mendistribusikannya melalui jejaring media sosial seperti Fecebook. Namun ada juga dari mereka yang sudah menerbitkan buku puisi, setidaknya seperti Krisbudiman, yang karyanya diterbitkan oleh Penerbit Kanisius dengan judul ‘Relief Kekasih’.

Krisbudiman mengirim 3 puisi untuk dibacakan di acara Sastra Bukan Purnama, masing-masing berjudul ‘Ode Buat Taoge Goreng’, ‘Aku Ingin” dan ‘Sajak Rujak Pengantin’. Saat membacakan karyanya, Krisbudiman meminta teman Facebooker lainnya, Panjul namanya, untuk membacakan puisi-puisi karyanya.

Ida Fitri, penyair sela lainnya, tampil membacakan 3 puisi. Sambil tersenyum, seolah malu-malu, ia membacakan 3 puisi pendek, yang berjudul ‘Bayangan Dalam Embun’, ‘Puisi Pasir’ dan ‘Lumut Batu Di Jalatunda’.

Seorang penyair lainnya, Agus Leyloor sehari-harinya dikenal sebagai pengajar di jurusan Teater ISI Yogyakarta membacakan puisi karyanya yang berjudul ‘Kabinet Bersatu Tak Bisa Dikalahkan’ dan ‘Syair Berdarah’. Satu puisinya yang lain berjudul ‘Dia, Aku dan Fesbuk’ dibacakan teman Facebooknya.

“Satu puisi saya yang berjudul ‘Dia, Aku dan Fesbuk’ saya minta dibacakan oleh teman fecebook saya,” kata Agus Lelyloor sambil memanggil teman Facebook-nya.

Endah Sr, yang telah menerbitkan satu novel dengan judul ‘Puzzle’ pada acara Sastra Bulan Purnama edisi 14 membacakan petikan novelnya yang akan segera terbit berjudul ‘Jemima’.

“Saya rasa, karya sastra bukan hanya puisi, tetapi termasuk novel, maka dalam acara Sastra Bulan Purnama ini, saya akan membacakan petikan novel saya yang akan segera terbit dengan judul ‘Jemima’,” kata Endah seperti sekaligus meminta ijin bukan membaca puisi.

Endah Sr, anggota komunitas BolBrutu, Gerombolan Pemburu Batu,, komunitas faceboker membaca karya sastra dalam acara Sastra Bulan Purnama 14 di Pendapa Tembi Rumah Budaya, Foto: Sartono
Diiringi musik gesek, Endah Sr membacakan petikan novel karyanya yang berjudul ‘Jemima’

Seorang penyair sekaligus aktor senior, Genthong Hariyono, ikut membaca puisi karya seorang Facebooker dari Amesterdam, Dini S.Setyowati namanya, puisinya berjudul ‘Balada Tanah Merah’.

“Saya memang tidak terdaftar sebagai pembaca, tetapi saya dikirimi puisi oleh seorang teman Facebooker dari Amesterdam, dan puisinya, bagi saya sangat bagus, maka saya minta pada Ons Untoro, panitia Sastra Bulan Purnama, untuk bisa ikut membaca,” kata Genthong.

Para penyair sela, selain memang memanfaatkan media jejaring sosial untuk publikasi puisinya, ada yang memang sudah lama, sejak tahun 1990-an bahkan sejak tahun 1970-an, sudah menulis puisi seperti Rudi Yesus dan Pritt Timothy.

Kedua penyair ini membacakan puisi karyanya dengan sangat ekspresif. Hentakan kaki dan lambaian tangannya, menunjukkan keduanya memiliki kesadaran akan panggung. Rudi Yesus membacakan dua puisinya yang berjudul ‘Ruang Waktu’ dan ‘Nangsa’. Pritt Timothy juga membacakan dua puisi karyanya yang berjudul “Gayatri Rajapatini’ dan ‘NorthFolk Cemaraku’.

Seperti Sastra Bulan Purnama sebelumnya, komunitas sastra di Yogya, dari anak muda sampai sastrawan senior, termasuk Tegoeh Ranusastra Asmara, salah seorang pendiri Persada Studi Klub di masa Umbu Landu Paranggi, selalu hadir dalam acara ini.

Ons Untoro

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta