ENDHOG ABANG: JAJANAN KHAS DI ACARA SEKATENAN

Tidak ada bukti sejarah yang konkret tentang kapan munculnya jenis makanan Endhog Abang yang selalu mewarnai perayaan atau rangkaian Upacara Grebeg/Sekaten di Jogja. Ada sementara yang menduga bahwa jenis makanan ini memang telah sejak awal muncul tidak jauh dengan kemunculan Upacara Sekaten itu sendiri. Jadi, pada zaman para wali hal itu sudah ada.

Lepas dari setting sejarah yang masih kabur, Endhog Abang memang cukup menarik perhatian. Jenis makanan ini pun hanya muncul di saat ada acara Sekatenan saja. Lepas dari itu tidak ada lagi. Jadi, Endhog Abang identik dengan Upacara Sekaten itu sendiri.

Pada masa lalu ketika aneka macam makanan belum sekomplit sekarang, Endhog Abang menjadi salah satu jenis makanan yang banyak diburu orang ketika acara Sekaten berlangsung. Endhog Abang yang muncul bersamaan dengan Upacara Miyos Gangsa sebagai satu rangakaian Upacara Sekaten menjadi semacam penanda bahwa sekitar seminggu langgi akan ada penyelenggaraan Kirab Gunungan atau Grebeg Sekaten. Endhog Abang atau harfiahnya adalah telur merah kecuali menjadi penanda akan hal-hal yang demikian, juga menjadi simbol akan harapan, semangat, kemakmuran, dan kegembiraan.

Endhog Abang juga sering dimaknai sebagai embrio, janin, bayi, kelahiran, atau semacam tanda awal kehidupan. Hal demikian sering dikaitkan dengan kelahiran Nabi Muhammad SAW atau hal ihlwal yang bersangkutan dengan perjalanan hidupnya.

Endhog Abang biasanya dijual dengan cara ditusukkan dalam sebatang bambu yang telah diraut. Bambu di bagian ujung (atas telur) biasanya dihias dengan bentuk bebungaan. Sedangkan bambu di bagian bawah telur biasanya dihiar dengan lilitan kertas dengan sisi-sisi yang digunting (dicabik). Endhog Abang yang telah berwujud demikian umumnya ditancapkan dalam sepotong gedebong pisang yang ditelakkan di atas tambir/tampah ’nyiru’. Kemunculan Endhog Abang sebagai makanan khas yang dijajakan di arena Sekatenan biasanya akan dibarengi dengan munculnya jenis makanan atau barang lain yang dijajakan di arena Sekaten tersebut, yakni Suruh Ayu atau Ganten Ayu dan Sega Gurih plus lauk-pauknya.

Di masa lalu pada kalangan anak-anak dan remaja, Endhog Abang menjadi semacam penanda khusus bahwa mereka telah sampai ke Alun-alun Utara Jogja. Telah sampai dan melihat-lihat keramaian acara di arena Sekatenan. Baik itu pasar malamnya, pemukulan gamelannya, atau perarakan gunungannya. Pada masa lalu hal demikian menjadi semacam simbol bahwa anak yang bersangkutan telah sampai, telah pernah mengunjungi kota. Mengunjungi negoro ’negara’. Oleh karenanya jika ada anak-anak membeli Endhog Abang umumnya tidak akan dimakan di tempat, namun akan membawanya pulang untuk ”ditunjukkan” pada teman-temannya. Hal itu dilakukan sebagai usaha untuk menunjukkan bahwa dirinya telah ke kota dan menjadi bagian dari perhelatan akbar, Sekatenan.

Pada agenda Sekatenan 2011 yang diselenggarakan Keraton Kasultanan Yogyakarta, Tembi sempat berbincang dengan salah satu penjual Endhog Abang yang bernama Ibu Sarto Utomo (71). Ibu Sarto Utomo ini telah menjalani profesi sebagai penjual Endhog Abang selama sekitar 30 tahun. Ia biasa mangkal di belakang pintu gerbang utama Masjid Agung Kauman (Masjid Agung Keraton Yogyakarta). Ibu Sarti Utomo sendiri merupakan warga asli dari Dusun Bendo, Kalurahan Trimurti, Kecamatan Srandakan, Kabupaten Bantul. Jarak rumah dengan lokasi tempat dia berjualan sekitar 23 kilometer. Ia melakoni profesi ini hanya setahun sekali bertepatan dengan penyelenggaraan Sekaten. Di luar itu ia menjalani profesi sebagai pemecah batu kerikil di kampungnya sana.

Bagi Ibu Sarto Utomo berjualan Endhog Abang dan ubarampe lainnya (Suruh Ayu dan Kembang Kanthil) seolah merupakan panggilan hidupnya. Ia merasa gela ’kecewa’ jika pas ada acara Sekatenan dirinya tidak bisa beraktivitas sebagai penjual Endhog Abang. Ada yang kurang. Demikian katanya.

Dalam sehari Ibu Sarto Utomo mampu menjual Endhog Abang sebanyak 5-7 kilogram. Masing-masing Endhog Abang dijualnya dengan harga Rp 2.000,00 per butir. Jika dalam satu kilogram telur isinya ada 7-8 butir, maka itu sama artinya ia bisa menjual 40-56 butir telur per harinya. Jika diambil rata-rata perharinya ia bisa menjual 35 butir telur, itu artinya ia bisa meraup uang sebanyak Rp 70.000,00 per harinya. Itu hanya dari sisi penjualan Endhog Abang saja. Belum Suruh Ayu dan Kembang Kanthil yang ia jual dengan harga Rp 500,00-Rp 1.000,00.

Menjual sesuatu yang khas di acara Sekatenan bagi Ibu Sarto Utomo bukan hanya melulu memburu keuntungan material. Ia merasa bahwa dengan berjualan ubarampe khas Sekatenan itu hatinya merasa tenteram. Ia sendiri tidak tahu mengapa bisa demikian. Mungkin karena dapat berkah dari raja. Dari dulu begitu, katanya. Hanya saja dulu pengunjungnya begitu ramai namun tahun-tahun terakhir ini pengunjung Sekatenan rasanya semakin sedikit. Demikian keluhnya.

a.sartono

ENDHOG ABANG: JAJANAN KHAS DI ACARA SEKATENAN ENDHOG ABANG: JAJANAN KHAS DI ACARA SEKATENAN ENDHOG ABANG: JAJANAN KHAS DI ACARA SEKATENAN




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta