Seni Tari dan Pendidikan Karakter
(Dialog Budaya dan Gelar Seni Yogya Semesta Seri ke-52)
Dialog Budaya dan Gelar Seni yang biasa diselenggarakan oleh Komunitas Budaya “Yogya Semesta” istirahat selama tiga bulan sebelum Puasa. Hal ini berkaitan dengan diperbaikinya bangunan Pendapa Wiyatapraja, Kepatihan Danurejan, Yogyakarta yang selama ini menjadi ajang perhelatan dialog budaya dan gelar seni termaksud. Dialog budaya dan gelar seni seri ke-52 kembali digelar pada Selasa 28 Agustus 2012 malam. Dalam acara ini dihadirkan tiga narasumber yakni Prof. Dr. Sumandiyo Hadi (Guru Besar ISI Yogyakarta), Dr. Bambang Pujaswara, MHum. (Staf Pengajar ISI Yogyakarta), dan Drs. KRT. Condrowasesa, MHum. (Staf Pengajar UNY). Tema acara dialog budaya dan gelar seni kali ini adalah ”Seni Tari dan Pendidikan Karakter”.
Sebelum acara dialog dimulai disuguhkan pergelaran tari Bedhaya Luluh dengan koreografer Nyi Raden Riya Dwija Sasmintamurti. Menjelang dialog berakhir ditampilkan pula fragmen Wayang Panji dengan lakon ”Kudhanarawangsa” dengan koreografer Dr. Sumaryono, MA. Masing-masing terhimpun dalam Pamulangan Beksa ”Sasminta Mardawa” di Dalem Pujakusuman, Yogyakarta.
Bedhaya Luluh menampilkan 18 orang penari bedaya. Bedaya ini menggambarkan menyatunya kawula Gusti. Menyatunya berbagai unsur yang kemudian menjadi energi positif untuk meraih kesempurnaan. Sedangkan fragmen Wayang Panji dengan lakon Kudhanarawangsa menceritakan tentang Panji Inu Kertapati-Galuh Candrakirana. Intinya, Inu Kertapati mencari Galuh Candrakirana. Di tengah perjalanan Panji Inu Kertapati justru bertemu dengan putri raseksi yang berubah wujud menjadi Galuh Candrakirana. Untungnya Galuh Candrakirana asli yang berubah wujud menjadi Kudhanarawangsa bisa kembali bertemu dengan Panji ini Kertapati dan putri raseksi dapat dikalahkan.
Berkait dengan tema yang disuguhkan dalam diskusi disebutkan bahwa dalam dunia tari dibutuhkan sebuah kerja sama atau teamwork yang baik. Tanpa kerja sama yang baik sebuah pertunjukan tari tidak akan pernah bisa diwujudkan. Pada sisi ini rasa dan tindakan saling menghargai serta mengormati menjadi demikian penting. Sisi ini sebenarnya bisa menjadi sarana bagi pendidikan demokrasi. Demikian pula dialog-dialog dalam penciptaan karya tari juga mendidik orang untuk berdemokrasi. Dalam dunia tari juga diajarkan tentang ”ngerti”, ”ngrasa”, dan ”nglakoni” yang dikenal dengan ”nga telu” (tiga nga). Ngerti berkait erat dengan kognitif (pengetahuan), ngrasa berkait erat dengan afektif (sikap), dan nglakoni berkait erat dengan psikomotorik.
Dalam filsafat Joged Mataram dikenal empat aspek penting yang menjiwai dunia tari klasik gaya Yogyakarta. Keempat aspek penting tersebut adalah ”sawiji”, ”greget”, ”sengguh”, dan ”ora mingkuh”. Sawiji berarti konsentrasi total pada satu tekad untuk menari sebaik mungkin sesuai kemampuan yang dimiliki. Greget merupakan semangat jiwa yang disalurkan melalui intensitas gerak yang dilakukan dengan sempurna sehingga terwujud keserasian antara gerak dan penjiwaannya. Sengguh berarti rasa percaya diri tanpa melibatkan pihak lain. Hal ini berarti sebuah keyakinan dalam melakukan sesuatu hal. Ora mingkuh berarti pantang menyerah atau bertanggung jawab yang sekaligus merupakan cermin dari sikap hidup manusia yang teguh terhadap pendiriannya.
Hal demikian itu dapat juga dikembangkan pada bidang-bidang yang lain. Hal-hal demikian juga akan memperhalus lahir dan batin peserta didik (murid). Kehalusan lahiriah dan batiniah melalui pembelajaran yang berkesinambungan dengan baik akan membentuk budi pekerti yang baik pula. Kehalusan budi pekerti menjadi pijakan bagi pembentukan karakter peserta didik sejak dini.
Seseorang yang berkarakter adalah yang mempunyai kualitas moral positif. Moral positif yang demikian itu akan berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita dalam membangun kehidupan yang bermanfaat bagi dirinya sendiri dan orang lain serta lingkungan (memayu hayuning buwana). Tidak bisa dipungkiri juga bahwa seni (demikian pun tari) memiliki fungsi sebagai media penyampai pesan yang paling luwes yang di dalamnya mengandung fungsi-fungsi lain, yakni sebagai ritual, hiburan, presentasi estetis, dan media pendidikan.
a.sartono
Artikel Lainnya :
- TROTOAR CANTIK DI JALAN PARANGTRITIS(01/01)
- GEDHEK DAN KEPANG MASIH DIPRODUKSI DI JOGJA(13/04)
- Memasukkan Benang dalam Jarum-2 (Permainan Anak Tradisional-85)(31/07)
- 9 Desember 2010, Situs - KI AGENG SEKAR ALAS BERNISAN STUPA(09/12)
- CANTHING, ALAT UNTUK MEMBATIK BATIK (7)(20/01)
- Selalu Sedia Makanan Rumahan di Pulo Segaran(04/02)
- 13 Nopember 2010, Denmas Bekel(13/11)
- Kitab Si Taloe. Gambar Watjan Botjah 1909 - 1961(30/11)
- Hari Tidak Baik Jatuh di Awal Pekan(12/01)
- Pameran Fotografi Krisna Cis Satmoko Mencari Bentuk dan Arah(27/10)