GEDHEK DAN KEPANG MASIH DIPRODUKSI DI JOGJA

Gedhek (dinding bambu) dan kepang (anyaman seperti gedhek tetapi lebih tipis, rapi, dan lemas) untuk saat ini mulai cukup sulit didapatkan. Maklum, orang zaman sekarang nyaris tidak pernah mendirikan rumah dengan dinding bamboo (gedhek). Semua bahan bangunan boleh dikatakan telah demikian modern. Hampir semua rumah dibangun berdinding tembok, bertiang beton, berlantai keramik atau bahkan marmer. Gedhek dan kepang hampir tidak diperlukan lagi. Kehadiran dua buah bahan bangunan ini untuk saat sekarang mungkin diperlukan kalau-kalau bahan bangunan lain tidak ada, mahal, atau sulit didapatkan.

Untuk mendapatkan gedhek dan kepang di Jogja memang tidak begitu mudah. Namun demikian, masih ada orang-orang yang menjual gedhek dan kepang. Salah satu tempat penjualan gedhek dan kepang adalah Pasar Godean. Tempat penjualan gedhek dan kepang di Pasar Godean berada di trotoar depan SD Negeri 1 Godean. Tepatnya di sisi selatan perempatan Pasar Godean. Aktivitas penjualan gedhek dan kepang ini pun hanya berlangsung selama sepasar (sekitar seminggu) sekali, yakni pada hari pasaran Pon.

Penjual gedhek dan kepang di tempat itu memang hanya membeber dagangannya sesuai hari pasaran masing-masing pasar tradisional. Kebetulan hari pasaran Pasar Godean jatuh pada hari Pon. Sementara untuk hari pasaran Wage dan Legi mereka berjualan di Pasar Ngino karena hari pasaran pasar tersebut memang jatuh pada hari Wage dan Legi. Sementara untuk pasaran Pahing mereka berjualan di Pasar Sleman karena hari pasaran Pasar Sleman memang jatuh pada pasaran Pahing. Demikianlah, penjual gedhek dan kepang terpaksa pindah-pindah lokasi sesuai ”musim” pasaran pasar-pasar tradisional yang ada.

Selasa, 5 April 2011 Tembi berkesempatan berbincang dengan Margo Utomo (83) yang membeber dagangan kepangnya di sisi selatan Pasar Godean. Margo Utomo adalah warga Dusun Pare, Kalurahan Sidorejo, Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman. Sejak tahun 1945 ia telah terbiasa menganyam dinding gedhek dan kepang. Menurutnya, untuk menyelesaikan satu lembar kepang ukuran 5 m x 1,5 m ia membutuhkan waktu lima hari. Untuk ukuran 4 m x 1,5 m ia memutuhkan waktu 4 hari. Demikian pun untuk ukuran 3 meter ia membutuhkan waktu 3 hari. Untuk gedhek ukuran terbesar ia membutuhkan setidaknya 2 batang bambu apus.

Menurutnya Dusun Pare merupakan sentra pengrajin gedhek dan kepang. Bahkan juga berbagai jenis anyaman bambu lainnya, semacam besek atau tumbu (sejenis keranjang). Produk dari Dusun Pare ini kemudian banyak dipasarkan di pasar-pasar tradisional. Kadang-kadang juga dijual dengan cara dijajakan dari desa ke desa dengan cara disunggi ’ditaruh di atas kepala’ atau dinaikkan sepeda. Pada masa lalu produk gedhek dan kepang ini sangat laris mengingat hampir semua orang desa di Jogja masa lalu membangun rumahnya dengan bahan baku berupa bambu dan kayu. Lantai rumah pun masih berupa tanah biasa sehingga bila untuk pertemuan diperlukan pelapis lantai tanah tersebut. Pelapis atau penutup lantai tanah tersebut umumnya berupa kepang yang di atasnya ditumpangi lembaran tikar dari anyaman mendong. Maklum, pada masa lalu perabot berupa meja kursi juga merupakan hal yang belum biasa bagi orang Jogja (Jawa) pedesaan.

Sekalipun pada saat ini produk gedhek dan kepang nyaris tidak dibutuhkan lagi namun Margo Utomo tetap setia membuat dan menjual produk anyaman bambunya itu. Baginya rejeki sudah ada yang mengatur. Hal yang penting dilakukan adalah terus bekerja, beraktivitas. Berhenti beraktivitas ibarat berhenti bernapas. Soal ada atau tidaknya pembeli Margo Utomo lebih memasrahkan hal itu pada perjalanan nasibnya. Sekalipun zaman telah berubah ia tidak peduli. Sekalipun dalam berjualan itu dagangannya sering tidak laku sama sekali ia juga tidak peduli.

Toh dagangannya yang berupa gedhek dan kepang ini pernah berjaya di era 1960-1970-an. Bahkan pada saat terjadi gempa di Jogja (Bantul) 27 Mei 2006 dagangan gedhek dan kepangnya laris luar biasa. Maklum, saat itu banyak orang membutuhkan hunian sementara. Banyak orang membutuhkan bangunan yang dapat dibangun dengan cepat, praktis, luwes, murah. Selain itu gedhek dan kepang juga memberikan efek tidak gerah di waktu panas dan tidak dingin di waktu malam. Itulah kelebihan dinding gedhek/kepang.

Sekalipun terus berproduksi bahan baku berupa bambu apus juga mulai sulit didapatkan mengingat banyak kebun bambu telah dirombak dan dijadikan pemukiman, lahan perkebunan, dan sebagainya. Kini, Margo Utomo juga sulit mendapatkan bahan baku berupa bambu apus yang berkualitas prima. Pasalnya ia hanya menerima setoran, tidak memilih sendiri di lokasi kebun bambu seperti di masa lalu.

Pekerjaan menganyam gedhek dan kepang bukan pekerjaan mudah. Resiko kebeler (tersayat) bilah-bilah/lembaran rautan bambu sangat besar. Memotong dan membelah bambu pun sangat beresiko mengingat serat dan kulit bambu demikian tajam seperti pisau silet. Resiko ini masih ditambah dengan pasaran yang semakin sulit, bahan baku yang terus susut. Akan tetapi mau apa lagi. Orang-orang seperti Margo Utomo telah sejak semula menggantungkan hidupnya pada hal itu.

Margo Utomo menjual satu lembar kepang ukuran terbesarnya dengan harga Rp 50.000,-. Untuk ukuran tengahan Rp 35.000,-. Sedangkan ukuran paling kecil Rp 25.000,-. Anda butuh dinding bambu dan kepang ? Datang saja ke pasar-pasar tradisional tersebut di atas sesuai hari pasarannya. Gedhek dan kepang masih diproduksi di Jogja.

a.sartono

GEDHEK DAN KEPANG MASIH DIPRODUKSI DI JOGJA

GEDHEK DAN KEPANG MASIH DIPRODUKSI DI JOGJA GEDHEK DAN KEPANG MASIH DIPRODUKSI DI JOGJA GEDHEK DAN KEPANG MASIH DIPRODUKSI DI JOGJA




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta