Tembi

Berita-budaya»66 TAHUN YOGYA IBU KOTA REPUBLIK

10 Jan 2012 07:12:00

66 TAHUN YOGYA IBU KOTA REPUBLIKAgaknya, sudah tidak lagi dingingat, bahwa Yogyakarta pernah menjadi Ibu Kota Republik Indonesia. Namun kita tahu, sejarah yang tertulis bisa kembali dibaca dan orang akan mengenalinya. Untuk kembali membuka ingatan, mengenai sejarah Yogya Ibu Kota Republik Indonesia’, Rabu (4/1) lalu diselenggarakan satu peringatan yang diberi tajuk ’66 Tahun Yogya Ibu Kota Republik’. Ini artinya, 4 Januari 1946, Yogyakarta (pernah) menjadi Ibu Kota Republik. Satu talkshow diselenggaran di Parangkusuma Ballroon, Hotel Ros-In, Yogyakarta. Bertindak sebagai narasumber GBPH Jokokusuma, Prof.Dr. Pratikno, Dekan Fisipol UGM dan Kiai Jazir ASP. Sedianya, Sri Sultan HB X bertindak sebagai narasumber, karena berhalangan hadir dan harus pergi ke Jakarta, digantiknya GBPH Joyokusuma.

Sejak Sri Sultan HB IX, sebenarnya Yogyakarta telah menjalankan demokrasi. Sebagai pemimpin, beliau membuang ruang partisipasi publik. Karena itu, Prof. Dr. Praktikno melihat, bahwa Yogyakarta sebenarnya sudah memiliki tradisi demokrasi. Karena bagi Pratikno, demokorasi bukan hanya pemungutan suara.

“Demokrasi tidak identik dengan voting. Tetapi kedekatan antara pemimpin dan rakyat. Keterbukaan dan saling menghargai, dan menyadari bahwa pemimpin bekerja untuk kepentingan umum” ujar Pratikno.

Dari konteks itu, sebenarny66 TAHUN YOGYA IBU KOTA REPUBLIKa kita bisa melihat, ‘Tahta Untuk Rakyat’ seperti apa yang diwujudkkan oleh Sultan HB IX adalah bentuk dari demokrasi. Yag oleh Pratikno disebut sebagai ‘kedekatan antara pemimpin dengan rakyatnya’. Pemimpin Yogya, dalam hal ini Kraton Yogyakarta, yang dimulai dari Sultan HB IX, uang ‘menyerahkan negaranya’ hanya menjadi ‘bagian’ dari Republik Indonesia, merupakan sikap demokrasi yang luar biasa dari seorang raja.

Sementara GBPH Joyokusuma melihat, DIY merukapan daerah, yang satu-satunya memiliki status Keistimewaan, karena itu memang perlu dibedakan dengan daerah khusus seperti yang disandang oleh Aech, Papua dan DKI Jakarta. Namanya saja istimewa, mesti berbeda dengan yang khusus, demikian Joyokusuma.

“Martabak istiemwa saja memiliki perbedaan dengan martabak lainnya” kelakar GBPH Joyokusuma yang disambut tawa hadirin.

Prof. Dr. Djoko Suryo, sejarawan dari UGM, yang hadir dalam talkshow ini, melihat, bahwa Yogyakarta yang (66 TAHUN YOGYA IBU KOTA REPUBLIKpernah) sebagai Ibu Kota Republik Indonesia, sesungguhnya telah memiliki dasar demokratisasi dalam pemerintahan, misalnya dibentuknya pemerintahan tingkat I, tingkat II dan tingkat III. Pola ini akhirnya dipakai sebagai model pemeritahan RI sampai sekarang.

Diskusi ini semakin hangat, karena peringatan ’66 Tahun Yogya sebagai Ibu Kota Republik’ sekaligus untuk meneguhkan status Keistimewaan Yogytakarta, sehingga tidak luput dari issue penetapan. Karena itu, ketika anggota DPR pusat dari Fraksi PAN, Totok Daryanto, yang hadir dalam diskusi dan ikut memberi pandangan, namun dilihat oleh seorang peserta tidak terlalu tegas, maka seorang peserta balik bertanya pada Toto Daryanto:

“Saya mau bertanya pada pak Totok, pro penetanan atau pemilihan” tanya salah seorang peserta pada Totok Daryanto.

Sambil tersenyum dan membalikan bedan ke belakang. Karena Totok duduk di depan dan yang bertanya ada di barisan belakang Totok Daryanto tanpa emosi dan sambil tersenyun menjawab:

“Ya, saya mewakili Yogya, tentunya pro penetapan”.

Agaknya, penyelenggara memang mempunyai maksud seperti itu, memperingati ’66 Tahun Yogya Ibu Kota Republik’ untuk menegaskan status Keistimewaan dan Penetapan.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta