Yang Masih Tersisa

Mijil
Ing Mataram betengira inggil
Ngubengi kedhaton
Plengkung lima mung papat mengane
Jagang jero toyanira wening
Ringin pacak suji
Gayam turut lurung

Terjemahan:
Di Mataram betengnya tinggi
Mengelilingi kraton
‘Plengkung’ lima hanya empat yang terbuka
‘Jagang’ dalam dan airnya jernih
Pohon beringin di’pacak suji’
Pohon gayam sepanjang jalan (maksudnya jalan yang mengelilingi beteng)

Plengkung = pintu gerbang masuk beteng yang beratap melengkung
Jagang = semacam sungai atau kolam buatan yang mengelilingi beteng
Pacak suji = pacak artinya dihias, suji/sujen dibuat dari lidi atau kayu yang ujungnya dibuat runcing. Pacak suji dalam konteks ini digunakan untuk menamakan pagar keliling, dibuat dari kayu yang ujungnya runcing

Tembang Mijil satu ‘pada’ tersebut menggambarkan keberadaan beteng kerajaan Mataram Jogyakarta sepanjang 4 km, dibangun oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian menjadi Sultan Hamengkubuwono I pada tahun 1755.

Jika dicermati dari isinya, tembang tersebut diperkirakan dibuat jauh setelah beteng kraton Mataram Jogyakarta selesai dibangun. Hal tersebut dapat dilihat dari tulisan yang mengatakan bahwa ada 5 plengkung tetapi 4 yang terbuka. Itu artinya bahwa ada satu plengkung yang ditutup atau di tableg sehingga ‘buntet’

Menurut sejarah sebutan ‘plengkung buntet’ atau plengkung yang ditableg tersebut terjadi saat adanya isue bahwa tentara Inggris dan prajurit Spei akan menyerang kraton Jogyarta melalui pintu gerbang ‘plengkung’ sebelah timur. Oleh karena isue yang beredar, plengkung Madyasura, plengkung yang menghadap ke timur dengan tergesa-gesa di ‘tableg.’ Ditableg artinya tidak ditutup dengan pintu plengkung yang sudah ada, tetapi ditutup dengan batu bata dan adonan ‘lepa’ sehingga pintu yang ada ikut tertutup dan tidak berfungsi lagi.

Ternyata Isue tersebut hanyalah strategi dari pihak Inggris untuk mengalihkan perhatian. Pada kenyataan kraton diserang dari arah utara dengan menyebol beteng. Penyerangan besar-besaran dilakukan oleh tentara Inggris dengan dibantu tentara Spei atas kraton Jogyakarta tersebut terjadi pada tahun 1812 dan dicacat dalam sejarah sebagai Geger Spei.

Berdasarkan catatan sejarah yang ada, maka tembang Mijil tentang keberadaan beteng kraton Mataram Jogyakarta tersebut dibuat tidak bersamaan dengan berdirinya beteng kraton Mataram, melainkan setelah tahun 1812, ketika satu diantara lima plengkung yang ada di tableg dan disebut dengan plengkung buntet.

Selain plengkung Madyasura yang ditableg, ada empat plengkung yang tidak tertutup, kecuali jika hari sudah menginjak malam, masing-masing pintu dari keempat plengkung tersebut ditutup. Nama dari keempat plengkung tersebut yaitu: plengkung Tarunasura atau plengkung mijilan, letaknya di sebelah timur alun-alun utara, menghadap ke utara. Plengkung Jagasura, menghadap ke utara, letaknya di sebelah barat alun-alun utara. Plengkung Jagabaya menghadap ke barat, letaknya disebelah barat tamansari. Plengkung yang letaknya di beteng selatan, menghadap ke selatan dinamakan plengkung Nirbaya atau plengkung Gading.

Saat ini, melalui foto-foto yang diambil pada 27 Maret 2012, apa yang digambarkan dalam tembang Mijil, masih dapat dirunut jejaknya di kota Jogyakarta, yang diantaranya yaitu:

Yang Masih Tersisa

Seperdelapan dari beteng kraton Mataram Jogyakarta yang membentang dari plengkung Gading sampai ke pojok beteng timur-selatan

Yang Masih Tersisa

Bekas dari plengkung buntet yang dinamakan plengkung Madyasura, letaknya berhadapan dengan Purawisata, jalan Brigjen Katamso.

Yang Masih Tersisa

Plengkung Nirbaya atau plengkung Gading, letaknya di selatan alun-alun selatan

Yang Masih Tersisa

Sisa ‘Jagang’ yang letaknya di bawah pojok beteng timur-selatan

Yang Masih Tersisa

Pohon beringin yang di kelilingi pagar dari tembok yang dibentuk indah, tidak dengan ‘pacak suji.’

Yang Masih Tersisa

Bebera pohon gayam yang masih di lestarikan, terletak antara bekas plengkung Jagabaya sampai ke pojok beteng utara-barat, atau jalan K.H Wachid Hasyim Jogyakarta

tulisan dan foto: herjaka




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta