Tembi

Yogyakarta-yogyamu»WANAGAMA, LAHAN KRITIS YANG MENJADI IJO ROYO ROYO

27 May 2009 12:11:00

Yogyamu

WANAGAMA, LAHAN KRITIS YANG MENJADI IJO ROYO-ROYO (I)

Gunung Kidul dikenal sebagai daerah paling kering di Propinsi DIY. Wilayah ini pada tahun-tahun 1970-an ke belakang boleh dikatakan selalu mengalami persoalan yang parah perihal ketersediaan air. Dampak lainnya, wilayah ini juga dikenal sebagai wilayah yang hampir selalu kekurangan sumber pangan pada musim kemarau. Hal semacam ini menjadi keprihatinan banyak pihak. Hutan-hutan di Gunung Kidul lambat laun mengalami penggundulan karena kebutuhan hidup masyarakat setempat yang pada masa lalu mau tidak mau lebih banyak menggantungkan pada sumber daya alam yang ada di sekitarnya. Hutan merupakan sumber daya alam yang menjadi sandaran masyarakat Gunung Kidul di kala itu. Alhasil tanaman hutan banyak ditebang untuk dijual atau digunakan sendiri. Hutan pun secara pelan namun pasti kian gundul. Penghijauan atau penananam kembali yang dilakukan tahun 1927, 1948, dan 1954-1958 boleh dikatakan tidak berhasil.

Tahun 1964 Fakultas Kehutanan UGM merasakan betapa perlunya hutan sebagai tempat untuk studi praktik atau katakanlah sebagai laboratorium lapangannya. Kebutuhan ini disambut oleh Dinas Kehutanan dan Perkebunan Propinsi DIY. Fakultas Kehutanan UGM kemudian diberi lahan 10 hektar di wilayah Gunung Kidul, tepatnya di Dusun Banaran, Kalurahan Gading, Kecamatan Playen. Mulailah Fakultas Kehutanan membuka kantor atau semacam pos di areal tanah tandus berkapur di Gading itu. Waktu itu pos atau kantor yang dibangun oleh Fakultas Kehutanan itu masih berupa bangunan dari bambu (gedhek). Usaha penghijauan atau penanaman kembali kawasan atau lahan kritis di Gading ini dipelopori oleh (Alm) Ibu Profesor Oemi Haniin Suseno, dosen Fakultas Kehutanan UGM yang mendedikasikan ilmu, dana, dan tenaganya untuk urusan kehutanan UGM yang nanti dikenal sebagai Wanagama itu. Di samping Ibu Oemi, beliau juga dibantu oleh Wagiran dan Tri Setyo, warga setempat yang gigih dan tekun menemani dan membantu tugas Ibu Oemi.

Dengan bekerja sama dengan warga setempat dimulailah penanaman tanaman di areal tanah yang benar-benar gundul itu. Tidak mudah memang. Lebih-lebih tanah yang digarap itu kecuali tandus juga berupa perbukitan sehingga tanah permukaan memiliki medan kemiringan yang tajam. Dengan demikian lapisan tanah terutama di permukaan mudah sekali hanyut atau tererosi oleh air hujan.

Untungnya warga setempat sudah terbiasa dan cukup telaten untuk menggarap tanah yang demikian itu. Mereka bersama dengan para mahasiswa dan dosen-dosen Fakultas Kehutanan UGM membuat sengkedan atau terasering. Jangan membayangkan terasering di sini sama dengan terasering pertanian padi di Bali yang indah itu. Terasering di sini dilakukan dengan menata bebatuan pada bidang-bidang tanah tertentu yang ukurannya bisa kecil, sedang, atau besar. Bebatuan inilah yang bertugas menahan tergerusnya tanah dari guyuran air hujan.

Pada masa-masa itu warga sekitar juga diperbolehkan mengambil kayu atau dahan dan ranting dari hutan yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan UGM itu dengan syarat barter. Jika mereka mengambil kayu atau dahan dan rumput untuk pakan ternak dari hutan yang dikelola Fakultas Kehutanan UGM, mereka diminta untuk memberikan pupuk kandang atau kotoran dari hewan ternaknya. Terjadilah simbiosis mutualisme. Warga sekitar pun diminta untuk menyerahkan biji-bijian untuk ditukar benih tanaman atau bahkan uang dari Fakultas Kehutanan UGM.

Hutan yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan UGM ini kemudian diberi nama Wanagama. Wana berarti hutan dan gama artinya adalah Gadjah Mada. Jadi, Wanagama adalah hutan yang dikelola oleh Universitas Gadjah Mada, khususnya oleh Fakultas Kehutanan.

tim Tembi : a sartono, suwandi, a kamsek, budi




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta