PENGRAJIN BATIK TAHUN 1949
Sampai tahun 1970-an di Yogya masih mudah ditemukan para pengrajin batik, yang mengerajakan seni batik di rumah-rumah. Kaum perempuan, untuk mengisi waktu luang di rumah,seringkali menjadi pengrajin batik. Artinya, pengusaha batik yang kainnya telah selesai disainnya, atau gambarnya, membutuhkan orang untuk membatiknya. Maka, kaum perempuan seringkali mengambil kesempatan ini.
Sebelum tahun 1970-an, tentu saja, jauh lebih banyak kaum perempuan yang mengisi waktunya dengan membatik. Para pengusaha batik, tentu saja, dengan senang hati memberi ‘kerja sambilan’ bagi perempuan yang tinggal di rumah. Karena itu, di Yogya, atau di Jawa, di kampung-kampung, apalagi kampung dikawasan njeron beteng Kraton Yogyakarta, cukup banyak perempuan yang mengisi waktu luang, setelah selesai pekerjaan domestik, dengan membatik.
Di desa-desa, kaum perempuan yang menjadi pengrajin batik juga mudah ditemukan. Tugasnya memang hanya membatik pada kain yang telah diberi pola. Dibuat gambarnya. Urusan warna, sudah bukan lagi kaum perempuan, melainkan ada pekerjanya sendiri.
Sejarah batik di Yogya tidak bisa dilepaskan dari sejarah batik di Jawa. Karena Jawa bukan hanya Yogya. Munculnya sejarah batik di Yogya tidak bisa dipisahkan dari terbentuknya Kasultanan Ngayogyakarta akibat dari perjanjian Giyanti 1755, yang mana membagi Mataram menjadi dua, yakni Kasultanan dan Kasunanan. Dalam kata lain, sejarah batik di Yogya bisa ditesuri dari 1755 dan sejarah batik tahun sebelumnya. Ini artinya, motif batik di Yogya berkaitan dengan cita rasa Raja Ngayogyakarta pertama, yang tak lain adalah Pangeran Mangkubumi dan bergelar Sultan Hamengku Buwana I.
Foto karya Henry Cartier Berson, seorang fotografer dari Perancis, yang dikumpulkan dalam buku ‘Indonesia 1949’, salah satunya ‘mengabadikan’ perempuan pengrajin batik. Memang tidak disebutkan dimana lokasinya. Bahkan, Berson sendiri terasa agak sedikit ragu, sehingga menyebutkan sebagai ‘kemungkinan di Yogya’. Namun, paling tidak, kalau toh ‘merasa ragu’ lokasinya di Yogya, perempuan pengrajin batik di Jawa (Tengah).
Pemandangan perempuan membatik, di Yogya pada masa tahun 1949, memang mudah untuk dilihat di rumah-rumah penduduk, atau di rumah pengusaha batik pada jaman dulu. Sampai tahun 1970-an, pemadangan seperti itu masih bisa dilihat. Sering pula terlihat, kaum perempuan sedang membatik sambil rengeng-rengeng nembang (beresenandung menyanyikan lagu).
Sekarang, memang tidak banyak perempuan yang menyediakan waktu untuk menjadi pengrajin batik. Disamping usaha batik tidak lagi ramai seperti dulu, perempuan lebih memilih menjadi buruh industri, atau malah pembatu rumah tangga. Atau kalau yang pendidikannya maju, melaju menjadi wanita karier.
Foto Karya Berson, setidaknya bisa mengingatkan, bahwa di Yogya (Jawa) perempuan sudah terbiasa dengan karya seni, khususnya seni batik.
Ons Untoro
Artikel Lainnya :
- 29 Juli 2010, Primbon - Perhitungan Hal Pekerjaan(29/07)
- Menelusuri jejak-jejak situs kerajaan Mataram Islam(13/09)
- 16 Juni 2010, Yogja-mu - BANGUNAN SEBAGAI PENANDA BATAS WILAYAH DI YOGYAKARTA(16/06)
- Lungguh Gupuh lan Suguh(10/04)
- Skets Pangeran Diponegoro ketika Sakit, 1830-an(22/05)
-
Ada yang menarik dari pendapat yang disampaikan oleh Dr. Daud Aris Tanudirjo, Dosen Arkeologi FIB dalam acara seminar Hari Museum Indonesia yang diselenggarakan di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta beberapa hari lalu (22-23 Mei) mengenai tetap sepinya pengunjung museum. " href="https://tembi.net/museum/20100605.htm">5 Juni 2010, Jaringan Museum - PARADIGMA "MUSEUM SENTRIS" HARUS DITINGGALKAN(05/06)- Makam-makam Wali Sanga di Jawa(29/04)
- Pameran Hitam-Putih Hanya 25 Sahabat Dibyo Prabowo(20/02)
- SOTO SULUNG(07/06)
- Tonny Trimarsanto Dengan Matang Di Pohon Si Mangga Golek(01/02)