Keistimewaan dan Papan Nama

Keistimewaan dan Papan Nama

Kapan kita menyusuri jalan-jalan di kota Yogya akan menemukan nama-nama jalan yang ditulis di papan nama disertai dengan huruf Jawa, sehingga bagi orang dari daerah lain, setidaknya bisa tahu, bahwa sedang ada di kota Yogya. Meski kita tahu, bahwa huruf Jawa hanacaraka tidak lagi digunakan, dan orang tidak lagi banyak yang bisa membaca, kalau tidak ada terjemahannya. Huruf Jawa itu, agaknya untuk menunjukkan bahwa, di Jawa, setidaknya di Yogya, dalam berkomunikasi, dulu, bentuk tulisan menggunakan huruf Jawa hanacaraka itu.

Hari-hari ini, papan nama yang menggunakan huruf Jawa ini, sedikit menimbulkan kageduhan karena papan namanya diganti baru tanpa menyertakan huruf Jawa. Papan nama yang menunjuk jalan Malioboro, yang sebelumnya berwarna hijau dan disertai tulisan huruf Jawa, diganti papan nama yang lebih cerah, tanpa mengurangi informasi yang dimaksud, yakni: ‘Jalan Malioboro’ bahkan disertai tahun dibangunnnya Kasultanan Yogyakarta, 1755,

Papan nama baru, sebelumnya tidak menjadi bahan kritikan, sehingga siapa saja yang melewati jalan Malioboro bisa melihat papan nama, yang sebut saja lebih trendi dan dibuat secara kreatif. Kritik muncul, ketika RUUK disyahkan menjadi UUK (Undang-Undang Keistimewaan), sehingga seolah papan nama baru tersebut ditafsirkan ‘menciderai’ Keistimewaan. Maka, sekelompok masyarakat pendukung Keistimewaan protes pada Walikota Yogya, termasuk melalui facebook, untuk meminta kembali memasang papan nama yang lama.

Akhirnya, atas respon dari pihak yang dikritik, papan nama baru diturunkan dan papan nama lama dipasang kembali.

Keistimewaan dan Papan Nama

Sebenarnya, kalau ada dua papan nama yang berbeda kreasi, akan lebih terasa istimewa. Karena, Keistimewaan mestinya memberi ruang untuk ekspresi yang lain, dan bukan selalu dalam simbol Jawa. Dua papan nama yang berbeda, yang satu untuk menunjukan identitas, yang lainnya memberi ruang ekspresi, sehingga orang bisa tahu, bahwa Keistimewaan Yogya memberi ruang ekspresi yang terbuka. Siapa saja diberi ruang untuk mengekspresikan karya seninya, sepanjang karyanya tidak diskrimintaif dan menghormati kultur lainnya.

Rasanya menjadi aneh, ketika kelompok masyarakat melarang kreasi seni, apalagi hanya berbentuk papan nama, dan meminta papan nama yang lebih memiliki identitas Yogya untuk dipasang menggantikan papan nama baru.

Di kota Yogya, kita memang mudah menemukan nama-nama jalan yang disertai tulisan Jawa hanacaraka, misalnya Jalan Jendral Sudirman, Jalan Ibu Ruswa, Jalan P. Senapati dan sebagainya, termasuk, tentu jalan Malioboro itu.

Menyusuri jalan-jalan di kota Yogya, agaknya sekaligus kita bisa ‘mengenali’ tulisan Jawa hanacaraka, meski tidak lagi bisa memahami kalau tidak ada terjemahannya. Namun, tulisan yang menyertakan huruf Jawa itu tidak masuk kampung-kampung di kota Yogya, untuk menandai nama jalan atau gang, setidaknya siapa saja yang melawati jalan-jalan di kota Yogya, bisa menemukan hanacaraka itu.

Tetapi, begitu kita keluar kota Yogya, masuk di kabupaten lain diwilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, belum tentu menemukan huruf hanacaraka pada nama-nama jalan, seolah hanacaraka ‘hanya berhenti’ sampai di kota Yogya, diwilayah yang lain, tidak harus menyertakan hanacaraka itu. Inilah Keistimewaan itu.

Keistimewaan dan Papan Nama

Namun, kita juga perlu bisa paham, karena hanya nama jalan yang disertai huruf hanacaraka. Nama-nama lain, seperti nama Kantor pemerintahan, Sekolah Negeri, toko-toko dan yang lain, tak ada hanacaraka disana.

Di Malioboro, nama jalannya disertai hanacaraka, dan sekitarnya, seluruh kawasan lainnya, nama-nama toko, hotel, dan lainnya tidak disertai hanacaraka. Jadi, papan nama Jalan Malioboro yang disertai hanacaraka kesepian sendiri dikepung nama-nama lain yang ‘tidak mengenali’ hanacaraka, apalagi papan nama satunya, yang menunjuk Jalan Malioboro sudah disuruh pergi.

Malioboro kawasan yang ramai, tetapi hanacaraka-nya kelihatan ‘kesepian sendiri’.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta