Hidup Berat? Jalani Saja!!

Jakarta akan macet total di tahun 2015, begitulah kabar yang pernah dilansir oleh media massa belum lama ini. Tapi entah mengapa saya tidak pernah berpikir atau membayangkan seperti apa keadaannya di tahun 2015 nanti. Kenapa saya merasa tidak perlu membayangkan? Ya! Buat apa membayangkan kalau sekarang saja keadaan macet total sudah sering kita alami terutama di saat turun hujan.

Daripada membayangkan bagaimana keadaan yang belum terjadi, pasti hidup akan terasa lebih berat. Nah, daripada terasa lebih berat, mungkin lebih enak kalau saya mengingat masa lalu dimana saya masih sekolah dan belum merasakan kemacetan parah apalagi mikirin beban ekonomi. Dulu, pasti semuanya lebih ringan.

Lamunan saya di dalam taksi di suatu malam itu tiba-tiba buyar ketika saya berpikir, kalau saya membayangkan dengan pengalaman pribadi, rasanya nggak objektif. Lalu saya menengok ke sebelah kanan saya, pak Suparno yang saya lihat tampak begitu tenang, mengendarai taksi di tengah kemacetan. Ketenangan pak Suparno membuat saya penasaran. Sudah lama nyupir taksi pak?, saya mulai membuka obrolan.

Sudah mas, dari saya masih bujangan jawab pak Suparno dengan logat Banyumasan ramah. Saya jadi penasaran sebenarnya sejak kapan itu maksudnya sejak tahun berapa. Tapi mengulang pertanyaan saya rasanya nggak enak juga.

Anak sudah berapa pak?

Anak saya 5 cucu 9 dan cicit akan 1 mas jawab pak Suparno mantab.

Hah?! Bapak sudah mau punya cicit? Umur bapak berapa sekarang? saya jadi lupa basa-basi.

59 mas jawabnya singkat. Saya termenung sejenak memikirkan usia senja yang masih harus setiap hari beredar di jalanan. Dalam hati saya berpikir lalu mencuat dalam bentuk pertanyaan, apa nggak bosen pak, setiap hari di jalan, apa nggak tambah berat pak, jalanan tambah macet, taksi makin banyak berarti saingan makin banyak dong pak, tanyaku antusias. Pak Suparno mendehem, yang namanya rejeki khan kata orang tua udah ada yang ngatur tho mas, saya cuma percaya itu aja. Kalau kita mikir saingan, hidup rasanya berat. Dulu saya mulai nyupir taksi dari tahun 75, jalan masih lancar, taksi belum banyak tapi orang belum banyak yang suka naik taksi. Sekarang jalan tambah macet, taksi makin banyak tapi nyatanya saya nggak pernah merasa kesulitan dapetin penumpang. Sama saja kok mas. Di perusahaan yang sekarang ini malah saya sudah bisa punya taksi sendiri. Di taksi yang ini tabungan saya sudah 26 juta mas. Saya bisa menjalani pekerjaan ini karena memang ini yang saya mampu, saya jalani dengan pesan orang tua tadi itu, rejeki sudah ada yang ngatur.

Sekali lagi saya termenung dengan jawaban panjang lebar pak Suparno. Jawabannya terasa tidak menggurui tapi berbagi, lebih tepatnya mengingatkan saya untuk menjalani hidup tanpa keluhan. Seperti kata pak Suparno, Kalau kita terbiasa menjalani beban yang sama setiap hari , toh lama-lama jadi biasa juga tho. Saya mengangguk setuju, tanpa ada yang bisa disanggah. Bagi saya cerita singkat seorang supir taksi terasa ampuh ketimbang nonton acara mimbar agama di televisi yang bagi saya terlalu banyak larangan yang justru membuat saya ragu untuk bersikap karena nggak hafal apa aja larangan agama saya. Terima kasih pak Suparno.

Foto-foto:
http://seputartaksi.blogspot.com
http://www.mediaindonesia.com