Hidup Berat? Jalani Saja!! Daripada membayangkan bagaimana keadaan yang belum terjadi, pasti hidup akan terasa lebih berat. Nah, daripada terasa lebih berat, mungkin lebih enak kalau saya mengingat masa lalu dimana saya masih sekolah dan belum merasakan kemacetan parah apalagi mikirin beban ekonomi. Dulu, pasti semuanya lebih ringan. Lamunan saya di dalam taksi di suatu malam itu tiba-tiba buyar ketika saya berpikir, kalau saya membayangkan dengan pengalaman pribadi, rasanya nggak objektif. Lalu saya menengok ke sebelah kanan saya, pak Suparno yang saya lihat tampak begitu tenang, mengendarai taksi di tengah kemacetan. Ketenangan pak Suparno membuat saya penasaran. Sudah lama nyupir taksi pak?, saya mulai membuka obrolan. Sudah mas, dari saya masih bujangan jawab pak Suparno dengan logat Banyumasan ramah. Saya jadi penasaran sebenarnya sejak kapan itu maksudnya sejak tahun berapa. Tapi mengulang pertanyaan saya rasanya nggak enak juga. Anak sudah berapa pak? Anak saya 5 cucu 9 dan cicit akan 1 mas jawab pak Suparno mantab. Hah?! Bapak sudah mau punya cicit? Umur bapak berapa sekarang? saya jadi lupa basa-basi. Sekali lagi saya termenung dengan jawaban panjang lebar pak Suparno. Jawabannya terasa tidak menggurui tapi berbagi, lebih tepatnya mengingatkan saya untuk menjalani hidup tanpa keluhan. Seperti kata pak Suparno, Kalau kita terbiasa menjalani beban yang sama setiap hari , toh lama-lama jadi biasa juga tho. Saya mengangguk setuju, tanpa ada yang bisa disanggah. Bagi saya cerita singkat seorang supir taksi terasa ampuh ketimbang nonton acara mimbar agama di televisi yang bagi saya terlalu banyak larangan yang justru membuat saya ragu untuk bersikap karena nggak hafal apa aja larangan agama saya. Terima kasih pak Suparno. Foto-foto: |