PUSAT PENYELAMATAN PENYU DI JOGJA

Kawasan Pantai Selatan DIY mempunyai potensi yang cukup besar sebagai salah satu tempat mendarat dan bertelurnya penyu. Hal demikian dapat dilihat dari kondisi di sepanjang pantainya yang memiliki hamparan pasir cukup luas, terdapat vegetasi/biota pantai yang khas seperti rumput galung, widuri, pandan, dan lain-lain serta topografi pantai yang kebanyakan landai. Hal demikian disukai penyu sebagai tempat bertelur. Ada pun penyu-penyu yang sering mendarat dan bertelur di sepanjang pantai Selatan DIY adalah penyu jenis Lekang/Sisik Semu (Lepidochelys imbricate), Belimbing (Dermochelys coriaceae), dan Hijau/Kembang (Chelonia mydas).

Penyu adalah jenis binatang laut yang populasinya kian hari kian langka atau susut. Hal demikian ini telah sejak lama membangkitkan kepedulian Rujito (50) selaku petani nelayan setempat untuk menyelamatkan populasi penyu. Bahkan jauh sebelum tahun 2000 yakni tahun diresmikannya KSDA Penyu di Samas, Rujto telah lebih dulu mencoba melakukan penyelamatan dan penangkaran Penyu untuk kemudian dilepaskan ke lautan lepas.

Rujito merasa bahwa penyelamatan Penyu itu sudah merupakan semacam panggilan hidupnya. Bahkan teman-temannya sesama nelayan pun akan melepaskan Penyu ke laut lepas jika dalam perburuan ikan mereka menangkap Penyu. Demikian tutur Rujito yang tinggal tidak jauh dari TPI Samas atau tepatnya di Dusun Samas, Ngepet, Srigading, Sanden, Bantul ini. Berdasarkan pengalamannya dalam penyelamatan atau konservasi Penyu inilah ia diserahi tanggung jawab untuk mengelola tempat penyelamatan Penyu di Samas di bawah Balai KSDA. Sedangkan nelayan-nelayan Pantai Samas yang peduli pada pelestarian Penyu ini juga tergabung dalam sebuah forum yang dinamakan Forum Konservasi Penyu Bantul yang diketuai oleh Rujito.

Dari tuturan pria paruh baya yang masih kelihatan bertubuh kukuh ini Tembi mencoba mengorek hal ihwal perpenyuan di Samas, Jumat, 12 November 2010. Bagi Rujito semuanya dimulai dari coba-coba. Otodidak. Semuanya didasarkan pada pengalaman kesehariannya sebagai nelayan. Ia mencoba menyelamatkan dan melestarikan keberadaan Penyu karena ia sendiri sadar bahwa satwa jenis ini mulai langka di laut. Ia merasa kasihan dan sayang pada jenis satwa ini. Untuk itulah hatinya kemudian tergerak untuk mencoba menyelamatkan jenis satwa ini.

Berdasarkan pengalamannya, Rujito bisa menetaskan telur Penyu dengan cara alami maupun semi alami. Penetasan dengan cara alami cukup dengan pengawasan. Sementara penetasan semi alami kecuali dengan pengawasan juga dengan pembuatan tempat penetasan yang cukup terjaga dari serbuan predator. Penetasan semi alami ini dilakukan Rujito dengan membuat sarang tetas sari buis beton yang diisi pasir pantai. Dengan buis beton, maka predator seperti jingking, anjing, dan lain-lain tidak dapat membongkar atau menggangsirnya.

Ada keuntungan lebih dengan cara penetasan semi alami ini, yakni tukik atau anak Penyu yang menetas bisa dirawat dalam kolam perawatan hingga bisa mandiri sebelum akhirnya dilepas ke laut. Kecuali itu, pengawasan untuk penetasan semi alami juga lebih mudah. Sementara jika telur ditetaskan secara alami akan banyak gangguan dari predator, termasuk ketika tukik menetas dan mulai menuju ke laut. Tukik yang menetas di alam liar akan menjadi incaran predator seperti ular, anjing, burung, bebek, dan seterusnya. Sementara untuk keamanan telurnya sendiri sebelum menetas pun tidak bisa dijamin.

Rujito mengaku bahwa biaya untuk pemeliharaan atau penangkaran Penyu itu tidak murah dan mudah. Penyu harus diberi makan berupa ikan. Idealnya adalah ikan yang hidup. Namun hal ini sulit dilakukan. Oleh karenanya ia memberi ikan hasil tangkapan nelayan yang jika sudah didaratkan sudah dalam keadaan mati. Bisa saja Penyu diberi pakan berupa ikan air tawar, namun ikan air tawar memberikan efek pada air tempat hidup Penyu atau tukik. Air untuk tempat hidup mereka akan mudah keruh dan berbau busuk. Sementara untuk penggantian air Rujito sering harus mengambilnya langsung dari tengah laut dengan naik kapal karena air sumur yang dibuat di pinggir pantai sering kadar airnya kurang memenuhi standar.

Gangguan atau kendala pada penangkaran penyu selain predator, ada juga yang berupa penyakit terutama jamur. Jamur ini biasanya menyerang tukik-tukik yang baru menetas sehingga tukik mati. Curah hujan yang terlalu tinggi juga mengganggu proses penetasan telur Penyu.

Menurut Rujito musim bertelur Penyu Belimbing biasanya terjadi pada bulan Januari-Februari. Sedangkan untuk Penyu Lekang dan Penyu Hijau umumnya terjadi pada bulan Mei-Agustus. Waktu yang diperlukan untuk penetasan telur Penyu Lekang dan Penyu Hijau adalah 50-52 hari. Sedangkan untuk penetasan telur Penyu Belimbing diperlukan waktu sekitar 80 hari.

Bobot Penyu Lekang dan Penyu Hijau dewasa bisa mencapai 50 kilogram. Sementara untuk Penyu Belimbing bisa mencapai 100 kilogram. Dari sekian jenis Penyu, Penyu Belimbinglah yang paling sulit ditangkarkan atau dipelihara. Untuk memberi pakan sehari-hari paling tidak dibutuhkan biaya Rp 15.000,- per harinya. Bagi Rujito senilai itu merupakan beban yang tidak ringan mengingat penghasilannya yang tidak menentu selaku nelayan dan petani pantai. Namun apa pun tetap dijalankan Rujito karena kecintaannya yang kuat pada satwa Penyu yang habitatnya terus menyusut di alam bebas.

a.sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta