Tembi

Yogyakarta-yogyamu»ANTI RAYAP, SERVIS AC DAN KONSULTASI SKRIPSI

01 Jan 2008 07:51:00

Yogyamu

ANTI RAYAP, SERVIS AC DAN KONSULTASI SKRIPSI

Iklan memang bisa menggunakan bermacam media. Namun untuk iklan jenis luar ruang biasanya menggunakan spanduk dan baliho. Paling banyak, yang biasa dilihat, menggunakan spanduk. Di Yogyakarta ada tempat-tempat yang telah disediakan untuk memasang spanduk. Di tempat-tempat itulah bermacam promosi bisa dibaca melalui spanduk yang terpasang. Promosi spanduk seperti itu dianggap biasa dan normal. Artinya prosedurnya ditempuh dan ada jangka waktu tertentu serta tidak merugikan dinas pajak wilayah setempat. Wilayah setempat untuk Yogyakarta ialah, Kabupaten Sleman, Kabupaten Bantul, Kabupaten Kulonprogo, Kabupaten Gunung Kidul dan Kotamadya Yogyakarta. Karena letak posisi tempat pemasangan spanduk menyebar di wilayah masing-masing pemda setempat.

Namun promosi luar ruang yang bisa ditemuui di Yogyakarta tidak hanya spanduk dan baliho dan dipasang tidak ditempat yang secara resmi telah disediakan seperti apa yang telah dilakukan pada pemasangan spanduk. Iklan atau promosi ini di pasang di pohon-pohon atau bahkan di tiang listrik. Media iklan ini bentuknya kecil. Bunyi iklan tersebut ada bermacam dan biasanya hanya pendek. Misalnya, "Servis AC dan disertakan nomor telponnya" atau "Anti Rayap juga disertakan nomor telponya" atau juga "Konsultasi Sekripsi" dan lain-lain

Kalau kebetulan melewati daerah tengah kota seperti wilayah Kotabaru, misalnya di Jl. Suroto, yang masih banyak pohon perindangnya, utamanya disebelah timur toko buku Gramedia, akan segera menemukan jenis "Iklan tempel"seperti itu. Atau kalau agak ke pinggir, untuk menyebut salah satunya, di sepanjang jalan Bantul, pohon yang berdiri dipinggir jalan ada terdapat "iklan tempel" seperti itu. Bahkan, diperempatan masuk kota Bantul, yang disekitarnya ada tempat pemasangan spanduk, pada tiang pemasangan spanduk dan pada pohon disampingnya, terdapat "iklan tempel" yang bunyinya: "Kacamata baru……"

Dari jenis tipe iklannya dan dari tempat pemasangan yang dipilih, bisa dilihat posisi eksistensi usahanya. Para pemasang "Iklan tempel" tersebut adalah jenis usaha kecil dan mungkin sangat individual serta sejenis home industri yang tidak memiliki dana promosi sebagaimana dilakukan oleh pengusaha menengah misalnya, yang menggunakan spanduk sebagai media promosinya. "Iklan-iklan tempel" tersebut, terlepas dari dianggap liar, namun menunjuk subtansi yang sama dengan spanduk, yaitu memberikan informasi soal produk dan pelayaanan.

Jangka waktu "iklan tempel" tentu berbeda dengan spanduk. Kalau spanduk dibatasi oleh biaya promosi sehingga perlu dikalkulasikan dengan jangka waktu pemasangan. "Iklan tempel" bisa tak terbatas waktunya, bahkan ada "iklan tempel" yang sudah miring pakunya tidak lagi merekat tetap dibiarkan tidak diambil atau diganti. Tentu punya resiko pula, seperti halnya spanduk, yaitu hilang. Dari perbedaan jangka waktu ini "iklan tempel" seperti lebih lama masuk dalam ingatan publik.

Dari "Iklan tempel" yang mudah ditemui di Yogyakarta, setidaknya bisa untuk mengerti, bahwa ada model-model iklan luar ruang yang berbeda dari kebanyakan iklan yang biasa dilakukan dan memerlukan biaya cukup besar. "Iklan-iklan tempel" ini mengingatkan kita pada kultur klithikan yang tahun 1970-an pernah mewabah di Yogyakarta dan kembali hidup pada awal munculnya krisis ekonomi. Katakanlah, "Iklan tempel" itu tidak berbeda jauh dengan warung koboi atau sering disebut warung kresek ada pula yang menamaianya angkringan. Klithikan, seperti yang mudah ditemui disepanjang Jl. P Mangkubumi ketika sore-malam telah tiba atau di wilayah Asem Gede di Jl. Diponegoro pada pagi hari atau juga di Alun-alun selatan dan di trotoir di perempatan jl. Tamansari, dan warung angkringan tidak berbeda dari "iklan tempel". Hal seperti itu merupakan respon ekonomik dari kelompok kecil terhadap kelompok menengah atau yang dianggap besar.

Ketiga jenis pola itu, Klithikan, Angkringan dan iklan tempel mempunyai kesamaan kultur, yaitu seadanya, santai, akrab dan terbuka terhadap berbagai kemungkinan. Kemungkinan pada iklan tempel bisa hilang entah oleh tangan siapa, kemungkinan pada klithikan ditertibkan dan kemungkinan pada warung angkringan tempatnya bisa dipakai oleh orang lain. Artinya, kesamaannya pada tingkat kerapuihan: sewaktu-waktu bisa hilang. Namun juga terbuka kemungkinan dari bermacam level konsumen. Siapa saja bisa menjadi klien dari tiga pola tersebut tidak harus dari ekonomi mepet atau pas-pasan. Bayangkan pada iklan tempel yang berbunyi "Servis AC"jelas telah menunjuk pada klien, minimal klas menengah dan yang memiliki AC. Tidak mungkin konsumennya dari warga berkenomi mepet dan pas-pasan.

Respon ekonomis sekaligus kultural di Yogyakarta ini memang ditemukan dalam berbagai macam bentuknya. Pedagang kaki lima yang bisa dikatakan telah menguat di Yogyakarta bisa ditaruh dalam kerangka seperti itu. Bahwa pedagang kaki lima, misalnya yang ada di kawasan Malioboro adalah pada mulanya, merupakan respon rakyat kecil terhadap kebutuhan warga masyarakat yang mulai terbiasa dengan apa yang dulu disebut toko dan sekarang dikenal dengan nama mall. Tahun 1970-an pedagang kaki lima di Malioboro masih jarang, kalau terlalu ekstrim dibilang tidak ada, tetapi sekarang, setiap kaki di langkahkan di sepanjang trotoir kawasan Malioboro selalu saja menyentuh pedagang kaki lima.

Pada iklan tempel, angkringan dan klithikan apa yang disebut sebagai wilayah gelap. Bukan lantaran karena tempatnya di gelap-gelap misalnya, tetapi apa yang mereka lakukan, tidak harus selalu bersentuhan dengan apa yang disebut sebagai formal, oleh sebab itu, pedagang kaki lim dan sejenisnya disebut sebagai sektor in formal, hanya untuk membedakan dengan yang formal.

Tetapi iklan tempel apakah masuk dalam sektor informal? Iklannya tidak, usahanya iya.

Tetapi bukan berarti iklan tempel harus dilarang, sebab jika hal itu dilakukan, resikonya akan melarang model sektor informal yang lain. Cukup Inul saja yang di larang "nempel" di Yogyakarta.

Teks: Ons Untoro
Foto: Didit Priya Daladi




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta