JOKO DAN NOVI TAMPIL DI 'DRAMATIC READING'

JOKO DAN NOVI TAMPIL DI 'DRAMATIC READING'Selama 3 hari Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF) diselenggarakan di Yogyakarta, tepatnya di Lembaga Indonesia Perancis (LIP), Sagan. Mulai 19 Oktober, pertunjukkan yang dinamakan IDRF itu dimulai. Setiap malam, ada dua naskah ditampilkan dengan pembaca yang berbeda.

Pada malam terakhir, Jum’at (21/10) lalu ditampilkan dua naskah. Satu naskah terjemahan, dan satunya naskah Indonesia. Lakon pertama yang ditampilkan berjudul ‘Kekasihku Meraih Hujan Dari Jendela Kamar’ dimainkan oleh komunitas Omahkebon, asuhan aktor Whani Darmawan. Lakon kedua karya terjemahan berjudul ‘Liburan” (Australia) karya Raimondo Cortese.

Joko Kamto dan Novi Budianto, diawali penampilan Eko Winardi sebagai narator membacakan naskah ‘Liburan’, ketiganya dari Dapoer Seni Djogja. Seting yang ditampilkan sangat sederhana. Hanya ada sebuah kursi panjang dan sebuah meja bundar denganJOKO DAN NOVI TAMPIL DI 'DRAMATIC READING'taplak. Di atas meja ada dua gelas minuman.

Joko Kamto dan Novi Budianto duduk di kursi panjang. Keduanya, dengan penuh ekspresi membaca teks untuk saling berdialog. Aktingnya sederhana, berbeda dengan kebiasaan keduanya pentas teater. Dalam IDRF ini, Joko dan Novi, hanya sedikit beringsut, menggeser sedikit tempat duduknya, menggerakan tangan, mengekspresikan wajah dan juga menggerakan kakinya. Sebut saja, minimalisasi akting dari keduanya, tidak mengurangi penghayatan, bahkan seringkali bacaan teksnya, lantaran akting keduanya, membuat penonton tertawa.

Mengawali penampilannya, Joko Kamto tidak langsung duduk di kursi. Novi Budianto sudah duduk di kursi, dengan mengenakan celana panjang warna putih dan kemeja berhiaskaan kembang. Novi nampak rapi, apalagi mengenakan sepatu. Mungkin Novi menyadari, yang dilakukan adalah ‘reading’ jadi tidak perlu make up. Joko berdiri mendekati meja dan mengambil segelas minuman, yang langsung diteguknya. Joko Kamto mengenakan jaket dan tapJOKO DAN NOVI TAMPIL DI 'DRAMATIC READING'i, laiknya keseharian Joko Kamto bepergian.

Keduanya membaca dengan santai, sungguh sadar kalau keduanya sedang melakukan pentas. Jadi, dalam ‘reading’ sebenarnya keduanya sedang melakukan akting. Bukan membaca, laiknya membaca, tetapi membaca untuk pertunjukkan. Meski keduanya sudah terbiasa menghafal naskah, tetapi berbeda dengan membaca untuk pertunjukkan. Maka Joko dan Novi, tidak meninggalkan akting dalam ‘reading’ naskah yang berjudul liburan.

‘Liburan’ mengkisahkan dua orang yang bernama Paul dan Arno, duduk dan bertemu, sebuah pertemuan biasa. Keduanya seperti baru saja berkenalan, dan saling bertukar cerita. Tentang masa kecil mereka, tentang ibu, perempuan-perempuan yang pernah dekat dengan mereka, dan kenapa mereka sering gagal membangun hubungan. Bahkan mereka berbicara tentang Tuhan, dan puisi. Hal yang mereka suka, dan hal yang mereka tidak suka, keduanya memiliki persamaan dan perbedaan yang banyak pula. Tidak ada gejolak dan dramatis dalam pembicaraan mereka, hingga di tengah pembicaraan keduanya menyadari sesuatu yang membuat mereka terkesima.

Ini untuk kali kedua IDRF diselenggarakan. Setiap tahun, di bulan Oktober program ini diselenggarakan di tiga kota, Jakarta, Yogyakarta dan Bandung. Masing-masing kota penampilnya dari komunitas lokal setempat, sehingga tidak perlu mendatangkan penampil dari kota lain. Hanya untuk penampil dari Solo, seperti katJOKO DAN NOVI TAMPIL DI 'DRAMATIC READING'a Gunawan Maryanto, piñata program IDRF masih digabung dengan Yogyakarta. Untuk tahun depan, demikian Gunawan Maryanto, barangkali Solo akan tampil mandiri tidak dikaitkan dengan Yogya.

Naskah-naskah yang ditampilkan IDRF adalah jenis naskah realis. Naskah jenis ini, mulai jarang ditemukan pada periode sekarang. Pada 40 tahun lalu, masih mudah menemukan naskah-naskah realis. Menyangut IDRF ini, Gunawan Maryanto dan juga Joned Suryatmoko menuliskannya seperti bisa disimak berikut”

“Di Indonesia, naskah lakon bergaya realis mulai menipis ditahun 1970-an. Jakob Sumardjo lewat bukunya Perkembangan Teater Modern dan Sastra Drama Indonesia (Citra aditya Bakti, 1992) mencatat ditahun-tahun inilah warna teater tradisional masuk dan mewarnai panggung teater mutakhir/kotemporer. Rendra dengan Perjuangan Suku Naga, Arifin C. Noer dengan Tengul dan juga Akhudiat dengan Jaka Tarub dan sebagainya. Jakob Sumardjo menunjuk bahwa hal yang menggejala pada masa itu adalah bentuk penyelesaian para pelaku teater Indonesia dengan teater Barat yang sudah lumat dikunyah selama dasawarsa 1960-an. Di mana pada akhirnya drama Barat tidak bisa sepenuhnya dapat menampung aspirasi budaya sendiri. Maka kerinduan untuk memunculkan bentuk-bentuk teater sendiri ini muncul agak deras dana dasawarsa 70-an”.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta