Tembi

Berita-budaya»MEMBUKA HATI, MEMBACA PUISI DI Tembi

14 Nov 2011 07:50:00

MEMBUKA HATI, MEMBACA PUISI DI TembiKita tahu, puisi sudah lama ditulis, dan sampai sekarang tidak henti-hentinya terus ditulis. Siapa saja bisa menulis puisi, tanpa bermaksud untuk menjadi penyair. Setidaknya, menulis puisi bukan lagi sebagai aktivitas khusus dan dilakukan oleh orang khusus, yang memang bercita-cita menjadi penyair. Maka, pada waktu itu, di Yogya, ada komunitas yang seolah-olah ‘mendidik’ orang untuk menjadi penyair.

Kita juga tahu, media konvesional, seperti halnya media cetak, sekarang tidak terlalu menggembirakan menyediakan ruang untuk sastra. Malah, ada gejala media cetak seperti hendak ‘mengarahkan’ satu genre puisi, dengan memuat pola puisi sesuai ‘kehendak’ media bersangkutan. Padahal, setiap penulis puisi –untuk tidak menyebut penyair—memliki pilihan gaya yang berbeda, dan tidak harus dikatakan ‘jelek’ hanya lantaran berbeda dengan ‘kehendak’ media cetak, atau lMEMBUKA HATI, MEMBACA PUISI DI Tembiebih khusus redakturnya, yang sepertinya memiliki ambisi ‘melahirkan’ genre puisi.

Kita juga tahu, di Yogya ada sejumlah ruang yang diisi dengan kegiatan sastra, utamanya pembacaan puisi. Memang, tahun 1970-an kegiatan sastra di Yogya pernah mengalami puncak, dan baca puisi atau poertry singing sempat memberi warna terhadap dinamika kebudayaan di Yogya.

Tembi Rumah Budaya, yang berada dipinggiran, tepatnya di Bantul, memberi ruang pada acara sastra, khususanya baca puisi dan diberi label ‘Sastra Bulan Purnama’. Karena memang diselenggarakan setiap bulan purnama.

Ini kali kedua ‘Sastra Bulan Purnama’ diselenggarakan dan diberi tajuk ‘Membuka Hati, Membaca Puisi’. Yang tampil kali ini semua adalah perempuan, namunMEMBUKA HATI, MEMBACA PUISI DI Tembibukan hendak bermaksud membedakan antara penyair perempuan dan penyair laki-laki. Keduanya, dalam kapasitas sebagai penyair tidak ada bedanya. Tugasnya mencipta syair. Simpel saja, pada edisi pertama ‘Sastra Bulan Purnama’ 12 Oktober lalu, menampilkan penyair laki-laki dari generasi yang berbeda, yaitu generasi penyair tahun 1970-an yang aktif di PSK sampai gererasi 1990-an.

Pada ‘Sastra Bulan Purnama’ Kamis (10/11) lalu di Tembi Rumah Budaya, penyair perempuan yang (di)hadir(kan) adalah generasi 1980-an seperti Dorothea Rosa Herliany, Ida Ayu Galuhpethak, S.Eko Purwati sampai generasi tahun 1990-an, atau generasi belakangan baru muncul, yang sebetulnya lebih banyak aktivitasnya di politik dan aktivitas sosial lainnya seperti Maria Pakpahan, misalnya. Mereka yang tampil, selain menulis puisi, juga lebih dikenal sebagai novelis, seperti halnya Abidah El Khalieqy Dari 15 Penyair, tiga diantaranya tidak bisa datang. MerMEMBUKA HATI, MEMBACA PUISI DI Tembieka adalah Dorothea Rosa Herlyani, Sri Qadariatin dan Maria Pakpahan.

Kita memang berharap, ‘Sastra Bulan Purnama’ bisa hadir secara rutin sebagai ruang interaksi dan ekspresi. Sastra dan kemanusiaan sebagai landasan dari kegiatan ini. Kita perlu berharap, momentum ini memiliki otonomi sebagai kegiatan sastra, dan bukan sebagai kegiatan sampiran dari kegiatan yang mempunyai kepentingan jangka pendek.

Para penyair perempuan membacakan puisinya yang dikumpulkan dalam “Membuka Hati, Membaca puisi’. Masing-masing mengirimkan 3 puisi dan ada yang dibacakan semuanya, seperti Naomi Srikandi misalnya, tapi ada juga yang tidak membacakan semunya, malah membaca puisi lainnya yang tidak terkumpul dalam buku, seperti Okti Muktini Ali. Atau juga ada yang membaca bukan puisi, tetapi nukilan novelnya yang berkisah mengenai Aceh, seperti dilakukan Abidah El Khalieqy. Penampilan Abidah mengagumkan, ia hafal di luar kepala atas nukilan novelnya. Ia sungguh menjiwai akan karyanya, sehingga ketika dibacakan teksnya menjadi terasa hidup.

PenyaMEMBUKA HATI, MEMBACA PUISI DI Tembiir lainnya yang tampil, meski puisinya tidak terkumpil dalam buku, seperti Sashmytha Wulandari. Ada juga penyair yang membaca puisi diiringi seksofon. Selain itu, seorang difabel yang hadir dalam ‘sastra bulan purnama’ secara spontan meminta untuk tampil dengan membawa gitar dan menyanyikan puisi yang sudah digubah menjadi lagu.

Dua penyair lain, yang berbeda jenis kelaminnya, Budhi Wiryawan dan Ikun Sri Kuncoro, ikut tampil dengan menyanyikan puisi-puisinya. Keduanya, telah menggubah puisi menjadi lagu dan dilantunkan untuk memberi warna pada pembacaan puisi.

Tidak ketinggalan, Prof.Dr. Faruk HT ikut membacakan puisinya, salah satunya berjudul ‘Rindu’. Faruk yang lebih banyak mengulas karya sastra, termasuk puisi, rupanya ‘tergoda’ untuk membuat puisi dan dibacakan dalam acara ‘sastra bulan purnama’. Selain Faruk, tampil membaca yang lain, diantaranya Syam Candra, Teguh Ranusatra Asmara, Mustofa W.Hasyim, Wadie Maharief, Budi Ismanto dan sejumlah penyair lainnya.

Pada malam sastra bulan purnama Kamis (10/11) lalu, karena beberapa hari sebelumnya hujan tidak berhenti, acara tidak diselenggarakan di ruang terbuka, yakni di Amphy Theater di Tembi Rumah Budaya, seperti Oktober lalu, tetapi diselenggarakan di Pendapa. Dengan demikian bulan bulat pada bulan purnama yang menghiasai acara seperi bulan Oktober lalu, pada edisi kedua bulan Nopember, bulan bulat tidai tampak. Namun demikian, tidak mengurangi hadirin untuk menikmati pembacaan puisi.

Ons Untoro

Foto-foto Sartono Kusumaningrat




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta