Tembi

Berita-budaya»UPACARA ADAT TETAP HIDUP DI YOGYAKARTA

27 Jul 2011 09:24:00

UPACARA ADAT TETAP HIDUP DI YOGYAKARTADua penari Tayub terus melenggak-lenggok menghibur penonton diiringi dengan alunan suara gamelan di Alun-Alun Utara depan Pagelaran Kraton Yogyakarta pada Minggu sore (17/7) lalu. Sesekali beberapa penonton di sampingnya tersenyum simpul tatkala dua penari pria ikut ngibing mendampingi penari Tayub itu. Tontonan tari Tayub tersebut memang dihadirkan untuk menghibur penonton sekaligus merupakan kesenian tradisional yang ditampilkan dalam rangkaian tradisi Upacara Adat Rasulan Ruwat Bumi dari Desa Jeruk Wudel, Kabupaten Gunung Kidul. Upacara Adat tersebut dilakukan setiap tahun oleh komunitas di desanya sebagai ungkapan syukur kepada Tuhan atas segala limpahan rejeki yang diberikan kepada masyarakatnya. Selain itu juga sebagaiUPACARA ADAT TETAP HIDUP DI YOGYAKARTAmedia untuk melakukan doa yang ditujukan kepada cikal bakal pendiri desa dan para leluhur mereka yang telah berjasa kepada desanya, dan memohon doa kepada sang Pencipta agar desanya tetap diberi keselamatan.

Desa Jeruk Wudel hanya merupakan salah satu desa di banyak desa di wilayah Yogyakarta yang hingga kini masih melakukan tradisi upacara adat, yang bertujuan sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan. Ungkapan syukur itu diwujudkan dalam berbagai tradisi yang berbeda. Setidaknya hingga kini, di DIY ada 44 upacara adat yangUPACARA ADAT TETAP HIDUP DI YOGYAKARTAmasih dilakukan oleh desa-desa budaya yang terinventarisasi oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DIY.

Pada festival kali ini, selain Desa Jeruk Wudel, masih ada 4 desa dan kampung yang menampilkan adegan Upacara Adat yang ditampilkan pada acara Festival Bentara Upacara Adat yang untuk kedua kalinya diselenggarakan oleh Dinas Kebudayaan Provinsi DIY. Keempat desa dan kampung lainnya yang ikut dalam kegiatan tersebut adalah upacara adat Majemukan “Merti Desa Grebeg Selarong”, Kabupaten Bantul; upacara adatUPACARA ADAT TETAP HIDUP DI YOGYAKARTASaparan dan Kirab Pusaka Ki Ageng Wonolelo, Kabupaten Sleman; upacara adat Napak Tilas Perjuangan “Nyi Ageng Serang” Kabupaten Kulon Progo; dan upacara adat Sadranan “Komunias Saeka Kapti” Kota Yogyakarta.

Kepala Dinas Kebudayaan Provinsi DIY, Drs. Djoko Dwiyanto, M.Hum., dalam sambutannya mengatakan bahwa diadakannya kegiatan festival ini bertujuan untuk menangkal arus budaya global yang kurang baik sekaligus sebagai ajang kreativitas dan potensi pelaku upacara adat. Sehingga upacara adat mempunyai peran yang sangatUPACARA ADAT TETAP HIDUP DI YOGYAKARTAstrategis dalam pengembangan budaya. Untuk itu, keberadaan upacara adat ini harus terus dilestarikan dan dikembangkan karena bisa mendukung DI Yogyakarta sebagai wilayah berbasis budaya dan untuk mengembangkan pariwisata di Yogyakarta.

Setiap kontingen umumnya membawa sekitar 50—100 pendukung dalam kegiatan Festival Upacara Adat kali ini. Setiap kontingen diberi waktu tampil sekitar 25—30 menit. Penilaian meliputi cara pengemasan dan penampilan. Tiga penyaji terbaik akanUPACARA ADAT TETAP HIDUP DI YOGYAKARTAmendapatkan tropi dan uang pembinaan masing-masing Rp 2 juta. Selain itu, untuk mempersiapkan festival, masing-masing kontingen sebelumnya juga sudah mendapat dana stimulan sebesar Rp 10 juta. Setelah melalui penilaian yuri, yang meraih juara I—III adalah Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, dan Kabupaten Kulon Progo.

Festival Upacara Adat kali ini sangat meriah. Yang jelas penonton dibuat puas, karena selain bisa melihat upacara-upacara adat, penonton juga dimanjakan dengan rebutan berbagai ubarampe gunungan dan tumpeng yang diberikan oleh masing-masing kontingen, baik berupa nasi tumpeng, lauk pauk, buah, sayur mayur, dan juga ratusan apem.

Suwandi




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta