Ngawul Yuukk! Trend Busana Bekas Di Kalangan Kaum Muda
Ini merupakan sikap resisten terhadap kebudayaan dominan dan budaya komersial. Ya, melalui gaya berpakaian semacam itu, mereka juga secara implisit mengekspresikan ideologi.
Tuuuh, apa katanya, nggak ngawul nggak gaul
Sekaten selain merupakan peristiwa kultural yang sudah berlangsung sejak zaman Mataram Islam, juga merupakan pesta rakyat. Pada acara yang berlangsung sebulan penuh tersebut, ada aneka kegiatan yang dapat membuat pengunjung dan penjual barang dan jasa senang. Ada pentas musik, ada komedi putar, ada penjual bakso, endog abang, dan sebagainya. Pun di dalam arena Sekaten tercermin trend yang sedang berlangsung di kalangan (sebagian) masyarakat Yogyakarta.
Terlihat jelas, di dalam arena budaya tersebut banyak lapak pakaian bekas. Jumlahnya sangat menonjol dibandingkan lapak jualan produk lainnya. Hukum ekonomi bilang: ada banyak penjual berarti ada banyak pembeli, yang berarti barang jualannya sedang trend.
Begitulah adanya. Belakangan ini sebagian anak muda Yogyakarta memang sedang gandrung mengenakan busana seken alias bekas. Baju bekas membentuk gaya subkultur anak muda, yang dianggap lebih memiliki efek personalitas dan identitas dalam masalah selera.
Efek semacam itu tidak didapat ketika membelinya di mal atau di brand outlet dengan potongan harga sekalipun, selain pembuatannya secara massal juga dengan gaya yang mengikuti keinginan pasar. Ini merupakan sikap resisten terhadap kebudayaan dominan dan budaya komersial. Ya, melalui gaya berpakaian semacam itu, mereka juga secara implisit mengekspresikan ideologi.
Dalam peristilah setempat, baju bekas mendapat sebutan ngawul. Kalau tidak salah, awul berasal dari kata “kawul” yaitu sisa serutan kayu berbentuk serbuk atau serpihan kayu tipis kecil-kecil. Dengan begitu ngawul berarti memanfaatkan kawul.
Untuk memilih baju yang dicari, ya harus mengaduk-aduk
Trend baju bekas di Yogyakarta bukan hal baru sebenarnya. Sejak zaman dulu sudah ada. Pada era 1970-an bahkan ada tempat-tempat yang menjadi arena jual-beli baju bekas, antara lain di dekat Shopping Center. Ketika itu tentulah tidak bisa dikatakan tren, karena keberadaan pasar itu terbentuk karena kondisi ekonomi sebagian besar masyarakat masih “melarat”.
Di awal tahun 2000-an di Yogyakarta terdapat beberapa toko yang mencoba peruntungan dengan bisnis baju bekas. Fenomena ini merupakan kelanjutan dari krisis moneter pada akhir dekade 1990-an yang membuat semua sektor bisnis di Indonesia mengalami kemerosotan. Dalam situasi itu, maraklah jual-beli pakaian impor bekas yang berkembang terutama di Kalimantan, Batam, Sumatra dan Sulawesi. Namun, toko-toko pakaian bekas di Yogyakarta itu hanya bertahan sebentar. Ini artinya sikap malu-malu dan kesan miring membeli baju bekas menjadi respon sebagian besar masyarakat di Yogya pada waktu itu.
Sekarang ini ngawul menjadi trend yang pop bahkan dianggap penting bagi sebagian kaum muda. Gaya bukan lagi ekspresi kelas, melainkan sistem yang menandai dan mengomunikasikan identitas kultural dan perbedaan kultural. Hal tersebut dilakukan oleh komunitas mod dengan gaya berpakaiannya yang ingin mengomunikasikan parodi atas gaya hidup hedonis.
Stok baju bekas nan melimpah
Ke Yogya yuk ..!
Alia
Artikel ini merupakan Hak Cipta yang dilindungi Undang Undang - Silahkan Mencopy Content dengan menyertakan Credit atau link website https://tembi.net/
Baca Juga Artikel Lainnya :
- Berebut Gunungan Grebeg Sekaten di Paku Alaman(06/02)
- Sisi Belakang Pajimatan Imogiri Nan Menyejukkan Hati(30/01)
- Duuuh!!! Sulitnya Mendapatkan Tempat Parkir(16/01)
- Yogyakarta Tidak Bebas Banjir(07/01)
- Persilangan Jalan dan Penjual Makanan(19/12)
- Tugu-tugu Tiruan Tugu Yogya(12/12)
- Dalam Sekejap Bukit-bukit Kering itu Menghijau(05/12)
- Ada Padang Pasir di Pantai Laut Selatan(28/11)
- Arak-arakan Bedhol Kaprajan Kotagede(21/11)
- Sumur Miring di ISI Yogya, Karya Seni yang Menunggu Ambruk(14/11)




