Yogyakarta Tidak Bebas Banjir
Perkembangan kependudukan yang semakin padat di Yogyakarta barangkali menjadi salah satu faktor pemicu banjir tersebut. Pemukiman yang semakin padat menyebabkan ruang terbuka semakin menyempit, sampah menjadi semakin banyak dan tidak terbuang dengan baik, serta bantaran sungai tidak lagi mampu menampung luapan air karena digunakan untuk pemukiman.
yogyakarta tidak bebas banjir
Ketika didirikan pertama kali, Yogyakarta merupakan sebuah kerajaan. Kerajaan ini dikonsep dengan meletakkan pusat pemerintahan dan kediaman raja (istana) di tempat seperti yang sekarang kita kenal sebagai keraton. Sultan Hamengku Buwana I (1755-1792) meletakkan lokasi istana atau kuthagara-nya dengan perhitungan bahwa lokasi tersebut tidak akan terkena genangan air (banjir). Demikian pula untuk semua wilayah kerajaannya (negaragung).
Perhitungan ini didasarkan pada keberadaan beberapa sungai yang mengalir melewati pusat pemerintahan (kuthagara maupun negaragung). Sungai-sungai itu di antaranya adalah Sungai Gajah Wong (di sisi timur), Sungai Code (sisi tengah), dan Sungai Winongo (sisi barat). Selain itu, masih ada pula sungai-sungai lain dengan keletakan relatif lebih jauh, di antaranya adalah Sungai Opak, Sungai Progo, Sungai Kuning, Sungai Oya, Sungai Bedog.
Sungai-sungai yang mengalir melalui Kota Yogyakarta, atau bahkan di hampir seluruh wilayah Yogyakarta, semuanya curam. Dengan demikian, limpahan air hujan akan dapat tertampung pada sungai tersebut tanpa perlu khawatir bahwa air akan meluap.
Logika dan perhitungan Sultan Hamengku Buwana I ketika membangun kerajaan dan pusat atau keratonnya demikian cermat dan jauh memperhitungkan masa yang akan datang. Dalam kenyataannya Yogyakarta memang tidak pernah dilanda banjir. Apalagi banjir besar. Hal demikian agak berbeda dengan keraton-keraton lain atau wilayah-wilayah lain di luar Yogyakarta. Lebih-lebih pada masa lalu ketika konsep dan perkembangan wilayah belum semaju sekarang.
Akan tetapi benarkah Yogyakarta lepas dari ancaman banjir di dalam sepanjang sejarahnya? Tentu saja tidak. Setidaknya, pada masa lalu Bantul pernah dilanda banjir besar, khususnya di wilayah Kecamatan Pundong. Maklum, wilayah ini memang memiliki kontur tanah lebih rendah dari wilayah lainnya, sekalipun di beberapa bagian wilayah ini juga dihiasai dengan deretan pegunungan atau bukit. Selain itu, juga dialiri Sungai Opak dan Sungai Oya yang kemudian menjadi satu aliran.
sistem pengatusan yang kurang memadai serta perilaku
buang sampah sembarangan memicu banjir
Kini, kota yang dikonsep bebas banjir itu ternyata mengalami banjir di sana-sini. Beberapa ruas jalan di Yogyakarta dilanda banjir jika hujan turun. Wilayah-wilayah itu misalnya adalah wilayah Batikan Umbulharjo, Perempatan Gondomanan, Perempatan Menukan/Jogokaryan, Jalan Monumen Yogya Kembali-AM. Sangaji, khususnya di batas kota. Selain itu juga di wilayah Klitren dan perempatan di sisi selatan Kampus UKDW serta sisi timur kampus SMA I BOPKRI, Kotabaru, dan tentu saja, wilayah-wilayah di bantaran sungai seperti Terban, Jogoyudan, Jetis, Sayidan, dan sebagainya.
Perkembangan kependudukan yang semakin padat di Yogyakarta barangkali menjadi salah satu faktor pemicu banjir tersebut. Pemukiman yang semakin padat menyebabkan ruang terbuka semakin menyempit, sampah menjadi semakin banyak dan tidak terbuang dengan baik, serta bantaran sungai tidak lagi mampu menampung luapan air karena digunakan untuk pemukiman.
Pembangunan saluran pengatusan yang tidak terencana dan tergarap dengan baik jelas ikut memicu munculnya banjir. Alhasil, Yogyakarta yang semula terkonsep sebagai wilayah bebas banjir, pada akhirnya harus ikut ”menikmati” banjir, yang jelas menimbulkan kesengsaraan di mana-mana.
Pada masa yang akan datang, ketika Yogyakarta semakin padat penduduk, padat pemukiman, dan tentu saja sampah juga akan semakin bertambah volumenya, serta ruang-ruang terbuka semakin menyempit, maka Yogyakarta akan mendapatkan ancaman banjir yang lebih besar. Bahkan mungkin juga semakin sulit diatasi. Perencanaan pembangunan sarana dan prasarana di seluruh wilayah secara terpadu jelas semakin diperlukan. Dengan demikian daerah-daerah hilir tidak akan menerima ”beban berat” luncuran air dengan segala kandungan limbahnya.
Mumpung belum telanjur parah, perencanaan akan semuanya perlu dicermati dan dilaksanakan dengan kejujuran, ketegasan, dan kerelaan untuk terciptanya Yogyakarta berhati nyaman.
masyarakat dan pemerintah harus saling bahu-membahu mengatasi banjir
Ke Yogya yuk ..!
A.Sartono
Artikel Lainnya :
- 1 April 2010, Situs - SYEH MAJA AGUNG DAN TERJADINYA KAMPUNG KINTELAN, YOGYAKARTA(01/04)
- 23 Desember 2010, Primbon - Watak Dasar Bayi(23/12)
- Kali Ini, Kunjungn SD Kristen Kalam Kudus Solo Di Tembi Rumah Budaya(07/03)
- Catatan Hari Baik dan Tidak Baik(08/03)
- Piyu Padi Album Solo dan Film Baru(19/12)
-
Pameran lukisan tunggal Dwi Wicaksono Suryasumirat atau Ube telah berlangsung sejak 5-26 Febuari 2010 mendatang di Tembi RUMAH BUDAYA, Gandaria Jakarta Selatan. Ada yang unik dari pameran tunggal lukisan Ube kali ini. Memilih judul pameran “Nol”, Ube mengekspresikan diri lewat karya-karyanya yang bebas dan apa adanya. " href="https://tembi.net/selft/2010/20100216.htm">Pameran Lukisan Tunggal "Ube" Jujur Dalam Berkarya(16/02)- 7 Januari 2011, Figur Wayang - Pada Suatu Saat …(07/01)
- 27 Maret 2010, Kabar Anyar - 'HITAM PUITIH' SENI RUPA KITA(27/03)
- 1 Desember 2010, Kabar Anyar - WORKSHOP LIVING IN HARMONY AND PROSPERITY WITH MERAPI: MENGELOLA BENCANA SECARA ARIF, KOMPREHENSIF, DAN TOTAL(01/12)
- Memilih Hari Untuk Minggu Depan(12/07)