Yogyakarta Tidak Bebas Banjir

Perkembangan kependudukan yang semakin padat di Yogyakarta barangkali menjadi salah satu faktor pemicu banjir tersebut. Pemukiman yang semakin padat menyebabkan ruang terbuka semakin menyempit, sampah menjadi semakin banyak dan tidak terbuang dengan baik, serta bantaran sungai tidak lagi mampu menampung luapan air karena digunakan untuk pemukiman.

banjir di wilayah kotabaru, yogyakarta, Desember 2012, foto: a.sartono
yogyakarta tidak bebas banjir

Ketika didirikan pertama kali, Yogyakarta merupakan sebuah kerajaan. Kerajaan ini dikonsep dengan meletakkan pusat pemerintahan dan kediaman raja (istana) di tempat seperti yang sekarang kita kenal sebagai keraton. Sultan Hamengku Buwana I (1755-1792) meletakkan lokasi istana atau kuthagara-nya dengan perhitungan bahwa lokasi tersebut tidak akan terkena genangan air (banjir). Demikian pula untuk semua wilayah kerajaannya (negaragung).

Perhitungan ini didasarkan pada keberadaan beberapa sungai yang mengalir melewati pusat pemerintahan (kuthagara maupun negaragung). Sungai-sungai itu di antaranya adalah Sungai Gajah Wong (di sisi timur), Sungai Code (sisi tengah), dan Sungai Winongo (sisi barat). Selain itu, masih ada pula sungai-sungai lain dengan keletakan relatif lebih jauh, di antaranya adalah Sungai Opak, Sungai Progo, Sungai Kuning, Sungai Oya, Sungai Bedog.

Sungai-sungai yang mengalir melalui Kota Yogyakarta, atau bahkan di hampir seluruh wilayah Yogyakarta, semuanya curam. Dengan demikian, limpahan air hujan akan dapat tertampung pada sungai tersebut tanpa perlu khawatir bahwa air akan meluap.

Logika dan perhitungan Sultan Hamengku Buwana I ketika membangun kerajaan dan pusat atau keratonnya demikian cermat dan jauh memperhitungkan masa yang akan datang. Dalam kenyataannya Yogyakarta memang tidak pernah dilanda banjir. Apalagi banjir besar. Hal demikian agak berbeda dengan keraton-keraton lain atau wilayah-wilayah lain di luar Yogyakarta. Lebih-lebih pada masa lalu ketika konsep dan perkembangan wilayah belum semaju sekarang.

Akan tetapi benarkah Yogyakarta lepas dari ancaman banjir di dalam sepanjang sejarahnya? Tentu saja tidak. Setidaknya, pada masa lalu Bantul pernah dilanda banjir besar, khususnya di wilayah Kecamatan Pundong. Maklum, wilayah ini memang memiliki kontur tanah lebih rendah dari wilayah lainnya, sekalipun di beberapa bagian wilayah ini juga dihiasai dengan deretan pegunungan atau bukit. Selain itu, juga dialiri Sungai Opak dan Sungai Oya yang kemudian menjadi satu aliran.

banjir di jalan monjali, am. sangaji/batas kota, desember 2012, foto: a.sartono
sistem pengatusan yang kurang memadai serta perilaku
buang sampah sembarangan memicu banjir

Kini, kota yang dikonsep bebas banjir itu ternyata mengalami banjir di sana-sini. Beberapa ruas jalan di Yogyakarta dilanda banjir jika hujan turun. Wilayah-wilayah itu misalnya adalah wilayah Batikan Umbulharjo, Perempatan Gondomanan, Perempatan Menukan/Jogokaryan, Jalan Monumen Yogya Kembali-AM. Sangaji, khususnya di batas kota. Selain itu juga di wilayah Klitren dan perempatan di sisi selatan Kampus UKDW serta sisi timur kampus SMA I BOPKRI, Kotabaru, dan tentu saja, wilayah-wilayah di bantaran sungai seperti Terban, Jogoyudan, Jetis, Sayidan, dan sebagainya.

Perkembangan kependudukan yang semakin padat di Yogyakarta barangkali menjadi salah satu faktor pemicu banjir tersebut. Pemukiman yang semakin padat menyebabkan ruang terbuka semakin menyempit, sampah menjadi semakin banyak dan tidak terbuang dengan baik, serta bantaran sungai tidak lagi mampu menampung luapan air karena digunakan untuk pemukiman.

Pembangunan saluran pengatusan yang tidak terencana dan tergarap dengan baik jelas ikut memicu munculnya banjir. Alhasil, Yogyakarta yang semula terkonsep sebagai wilayah bebas banjir, pada akhirnya harus ikut ”menikmati” banjir, yang jelas menimbulkan kesengsaraan di mana-mana.

Pada masa yang akan datang, ketika Yogyakarta semakin padat penduduk, padat pemukiman, dan tentu saja sampah juga akan semakin bertambah volumenya, serta ruang-ruang terbuka semakin menyempit, maka Yogyakarta akan mendapatkan ancaman banjir yang lebih besar. Bahkan mungkin juga semakin sulit diatasi. Perencanaan pembangunan sarana dan prasarana di seluruh wilayah secara terpadu jelas semakin diperlukan. Dengan demikian daerah-daerah hilir tidak akan menerima ”beban berat” luncuran air dengan segala kandungan limbahnya.

Mumpung belum telanjur parah, perencanaan akan semuanya perlu dicermati dan dilaksanakan dengan kejujuran, ketegasan, dan kerelaan untuk terciptanya Yogyakarta berhati nyaman.

banjir di pertigaan Tembi, bantul, april 2011, foto: a.sartono
masyarakat dan pemerintah harus saling bahu-membahu mengatasi banjir

Ke Yogya yuk ..!

A.Sartono

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta