Tembi

Yogyakarta-yogyamu»MINGGIR, SENTRA PENGRAJIN BESEK DI SLEMAN

01 Jan 2008 04:53:00

Yogyamu

MINGGIR: SENTRA PENGRAJIN BESEK DI SLEMAN

Minggir merupakan salah satu nama kecamatan di Kabupaten Sleman. Kecamatan ini merupakan kecamatan di Kabupaten Sleman dengan keletakan di sisi barat dan berbatasan langsung dengan Sungai Progo yang memisahkannya dengan wilayah Kabupaten Kulon Progo. Minggir sejak dulu terkenal sebagai wilayah di Sleman bagian barat dengan hasil pertanian utama berupa padi. Orang sering juga menyebutkannya sebagai gudang beras Kabupaten Sleman.

Kecuali sebagai penghasil beras, kecamatan Minggir juga terkenal sebagai penghasil kerajinan anyaman bambu, utamanya besek dan tenggok (keranjang). Tidak ada catatan yang akurat kapan kerajinan semacam itu mulai ada di wilayah Minggir. Menurut salah seorang penduduk setempat yang bernama Darmo Sutrisno (72) yang beralamatkan di Sragan, Sendangmulyo, Minggir, Sleman, kerajinan besek di wilayahnya telah berlangsung sejak nenek moyang yang ia sendiri tidak tahu kapan persisnya. Hal yang sama juga diakui oleh Supardi (54) yang tinggal di Pranan, Sendangsari, Minggir, Sleman. Menurut pengakuannya, kerajinan besek itu telah berjalan dari generasi ke generasi. Semuanya berjalan begitu saja.

Tidak mengherankan jika hampir semua orang di kedua wilayah itu bisa menganyam (membuat) besek sejak mereka masih berusia kanak-kanak sebab hampir semua orang dewasa di tempat itu memang pengrajin besek atau tenggok. Bagi mereka kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang sudah mendarah daging. Sulit dilepaskan dari keseharian mereka. Kerajinan itu pulalah yang turut menghidupi mereka. Bahkan tidak jarang kerajinan semacam itu menjadi mata pencaharian pokok bagi mereka yang tidak punya pekerjaan entah sebagai petani atau karyawan, baik PNS maupun swasta.

Bahan baku anyaman besek dan tenggok adalah bambu apus. Bambu jenis inilah yang paling baik, paling ulet, sekaligus paling lemas jika digunakan sebagai anyaman. Sedangkan bambu jenis lainnya agak sulit digunakan sebagai bahan baku karena di samping keras, kaku, dan getas (mudah patah), bambu jenis lain juga memiliki karakter relatif mudah dimakan ngengat. Sayangnya, bambu apus dan bahkan bambu jenis lain di wilayah ini sekarang relatif sukar didapatkan. Setidaknya hal itu terjadi di Pranan dan Sragan. Untuk itulah mereka terpaksa membeli bambu dari luar wilayah mereka. Untuk satu batang bambu apus ukuran sedang mereka harus mengeluarkan uang sebesar Rp 10.000,- sedangkan untuk bambu ukuran relatif besar dan panjang bisa mencapai Rp 12.000,- sampai Rp 15.000,-.

Untuk satu batang bambu ukuran sedang mereka bisa menghasilkan 40 besek (20 tangkep atau 20 stel-wadah dan tutupnya). Sedangkan untuk bambu ukuran relatif tebal, besal, dan panjang bisa menghasilkan 60-80 besek (30-40 tangkep). Sedangkan untuk satu tangkep besek biasanya dihargai sekitar Rp 600,- Rp 700,-. Artinya, jika mereka mampu menghasilkan 20 tangkep dari 1 batang bambu, mereka bisa meraup uang sebesar 20 x Rp 700,- = Rp 14.000,-. Itu artinya untung yang mereka dapatkan adalah Rp 4.000,- (setelah dikurangi harga bambu senilai Rp 10.000,-). Jika bambu tersebut merupakan hasil tanaman mereka sendiri tentu keuntungannya bisa jauh lebih berlipat. Jika satu keluarga beranggotakan 4 orang dan masing-masingnya bisa menghasilkan 20 tangkep, maka dalam sehari mereka bisa menghasilkan 20 x 4 = 80 tangkep. Artinya, keuntungan dalam satu keluarga bisa mencapai 4 x Rp 4.000,- = Rp 16.000,-.

Salah satu kemudahan atau keuntungan para pengrajin ini adalah bahwa mereka tidak perlu lagi menjual produknya ke kota atau keluar dusun sebab setiap sore sudah ada pengepul yang datang ke kampung-kampung mereka untuk menampung produk mereka. Selain itu ada pula orang-orang yang secara rutin datang yang menawarkan bambu apus untuk bahan kerajinan mereka. Hal itu tentu saja mengurangi biaya transportasi para pengrajin.

Ada hal yang patut dicatat dari kebiasaan pengrajin ini, yakni sampai saat ini mereka tidak begitu suka menggunakan kotak atau tempat makan yang terbuat dari kertas (dos atau plastik). Di samping hal itu menjadi pesaing bagi produk mereka, mereka terlanjur menikmati dan mencintai wadah yang terbuat dari bambu ini. Bagi mereka wadah dari bambu dirasakan lebih awet, elastis, tahan air, tidak kedap udara, dan aroma yang dikeluarkan oleh bambu membuat aroma makanan yang diwadahinya terasa lebih sedap dan alamiah. Tidak mengherankan jika mereka mengadakan hajatan, hantaran yang dinamakan ulih-ulih atau kenduri selalu mereka wadahi dalam wadah yang terbuat dari bambu (besek/tenggok).

Jika Anda berkunjung ke wilayah-wilayah tersebut Anda akan dapat segera menangkap suasana desa yang tenang. Jauh dari hiruk pikuk. Orang-orangnya tampak saling akrab dan rukun. Mereka menganyam dan menganyam untuk mengisi waktu senggangnya. Sambil menganyam itu mereka bisa berbincang, bercanda, atau ngobrol mengenai apa saja.

Terhamparnya bilah-bilah bambu dalam ukuran tertentu yang sering kelihatan di kiri kanan jalan dusun atau pekarangan merupakan pemandangan yang sangat biasa di wilayah ini. Itu adalah bahan anyaman untuk besek atau tenggok.

Sampai kapankah wadah yang terbuat dari bahan baku bambu ini mampu bertahan menghadapi pesaingnya yang terbuat dari kertas, plastik, atau logam? Kita tidak bisa menjawabnya dengan kepastian.

Foto dan teks: a sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta