DUSUN BERJO SENTRA GENTENG YOGYAKARTA
Jika kita melintas di Jalan Raya Godean hingga sisi barat Pasar Godean, akan kita temukan banyak pengrajin genteng. Genteng-genteng produksi mereka bahkan dipajang di sepanjang jalan tersebut. Demikian pula penjemuran genteng juga dilakukan si sisi-sisi Godean ini. Hal demikian menjadi pemandangan yang khas di daerah yang dinamakan Dusun Berjo.
Tidak ada catatan yang akurat perihal kapan kerajinan genteng mulai tumbuh di Godean, khususnya di Dusun Berjo, Kalurahan Sidoluhur, Kecamatan Godean Sleman, Yogyakarta. Menurut beberapa sumber kegiatan kerajinan genteng ini mulai ada sejak tahun 1930-an. Akan tetapi ada pula yang menyatakan bahwa kegiatan kerajinan genteng ini mulai tumbuh sejak tahun 1950-an. Kala itu kerajinan genteng di wilayah Godean itu masih sangat sederhana. Produk genteng yang dihasilkannya pun juga masih sangat sederhana. Produk genteng yang dihasilkan saat itu kebanyakan jenis genteng “krupuk”. Sesuai dengan julukannya, genteng krupuk adalah genteng yang berbentuk relative kecil dan tipis sehingga relatif mudah pecah. Daya tahan genteng jenis juga tidak terlalu awet. Selain itu, di masa-masa itu belum begitu banyak warga setempat yang menjadi pengrajin genteng.
Kini, kerajinan genteng di wilayah Dusun Berjo demikian marak. Boleh dikatakan seluruh warga dusun ini terlibat dalam produksi genteng dan atau ”plempem” ’pipa air dari gerabah’. Jika semula bahan baku tanah diambil dari lokasi setempat (seputar Gunung Berjo, Gunung Pare) dan Kwagon, kini hal itu tidak mencukupi lagi. Mereka terpaksa mendatangkan tanah dari wilayah Kulon Progo dan Borobudur, Magelang.
Tembi sempat berbincang dengan Ibu Slamet Rahayu (47) yang bersama-sama suaminya, Samiono telah merintis usaha kerajinan genteng sejak tahun 1980-an. Tahun itu mereka telah mengenal teknologi genteng pres. Pengerjaan kerajinan genteng mulai dari mencampur tanah hingga pencetakan genteng telah dilakukan dengan mesin. Unsur tanah yang digunakan untuk produksi genteng pun bukan sembarang tanah. Setidaknya ada tiga jenis tanah yang digunakan untuk produksi genteng ini.
Sumber setempat menyebutkan setidaknya ada tiga jenis tanah liat yang digunakan, yakni tanah liat yang berwarna agak keputihan, agak kecokelatan, dan agak kehitaman. Semuanya dicampur, dicacah, digiling dan dicetak dengan mesin (dulu pencampuran tanah dilakukan dengan cara diinjak-injak). Hasil cetakan tersebut akan menjadi potongan-potongan tanah berbentuk kotak yang oleh orang setempat disebut sebagai ”batan”.
Sepotong batan ini bila dipres (dicetak) secara otomatis akan menghasilkan sepotong genteng pres. Genteng yang telah dicetak ini harus diangin-anginkan dulu dalam sebuah tempat yang disebut para-para. Para-para umumnya berbentuk los panjang (luas) dan disusun bertingkat-tingkat. Setelah diangin-anginkan barang 2-3 hari barulah genteng ini dijemur di bawah terik matahari. Usai itu barulah dilakukan pembakaran. Setelah pembakaran barulah genteng dikeluarkan dari pembakaran dan diseleksi.
Ibu Slamet Rahayu menyatakan bahwa untuk satu truk tanah seharga Rp 250.000,- biasanya akan menjadi genteng sebanyak 800-1.000 potong genteng. Untuk 1.000 genteng umumnya dijual dengan harga Rp 750.000,-. Harga ini berlaku untuk genteng jenis kodok. Sedangkan genteng jenis paris seharga Rp 650.000,- per seribu genteng. Harga ini di luar ongkos transportasi. Sementara upah pengrajin untuk 1.000 genteng adalah Rp 70.000,-.
Kerajinan genteng ternyata juga tidak lepas dari tantangan atau kendala. Kendala yang paling utama adalah musim hujan. Jika musim hujan tiba pengrajin jelas tidak akan bisa menjemur gentengnya. Selain itu harga kayu bakar kering juga akan menjadi lebih mahal. Hujan juga akan memperlama atau memperlambat proses produksi. Kendala lainnya adalah jika mendapatkan tanah yang kurang bagus kualitasnya. Hal ini akan mempengaruhi kualitas genteng yang diproduksi.
Kerajinan genteng Dusun Berjo ini memang telah berjalan dari generasi ke generasi. Akankah generasi berikutnya masih akan bertekun membuat genteng sementara di luar sana orang juga memproduksi atap dari asbes, plat baja, seng, semen, dan sebagainya ? Kita tidak tahu. Mungkin saja di tengah berbagai persaingan dan kemajuan teknologi mereka akan tetap bertahan.
a.sartono
Artikel Lainnya :
- Dolanan Balapan Neker Nganggo Sendok-2 (Permainan Anak Tradisional-79)(24/04)
- Tedy Nurmanto Membuat Gitar dari Tanah Liat(01/12)
- 'IJAB QOBUL' UNTUK KEISTIMEWAAN(19/04)
- WORKSHOP PENGEMBANGAN PARIWISATA BUDAYA(21/12)
- Kritik Esai Kesusteraan Jawa Modern(18/07)
- 4 Maret 2011, Kabar Anyar - RUPANYA MASIH ADA SOL SEPATU(04/03)
- KLIPING APAKAH ITU(18/05)
- Ada Padang Pasir di Pantai Laut Selatan(28/11)
- 10 April 2010, Kabar Anyar - PAMERAN LUKISAN BERLIMA(10/04)
- Diskusi Kepemimpinan Di Tembi(02/08)