- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Jaringan Museum
- Karikatur
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Video Tembi
- Kontak Kami
Yogyakarta-yogyamu»DOLANAN ANAK DI DUSUN PANDES
28 Jan 2009 09:30:00Yogyamu
DOLANAN ANAK DI DUSUN PANDES
Jika pada masa tahun 1970-80an Dusun Pandes dikenal sebagai sentra industri rumah tangga mainan anak tradisional, masihkah julukan itu berlaku sekarang? Jawabannya bisa ya dan tidak.Bisa dijawab ya, karena daerah ini masih dikenal sebagai satu-satunya tempat yang menghasilkan ragam mainan anak tradisional yang kini sulit ditemui. Ragam yang dimaksud bukanlah mainan semacam dakon, gasing dan peluit yang cukup mudah diperoleh, yang dibuat di luar Pandes. Tapi ragam mainan amat sederhana berbahan kertas, seperti wayang, payung dan kitiran, maupun berbahan bambu seperti othok-othok, klothokan dan kluntungan. Bisa dijawab tidak, karena dari sekitar 300 keluarga di Pandes, warga yang membuat mainan ini tinggal delapan orang. Mereka semua perempuan dan berusia lanjut, sekitar 70-80 tahunan. Padahal pada zaman keemasannya, hampir semua warga dusun ikut membuat mainan anak.
Dusun yang terletak di Panggungharjo, Sewon, Bantul ini sejak abad ke-19 memang dikenal sebagai penghasil mainan anak tradisional, khususnya wayang kertas. Keunikan wayang kertas Pandes adalah dibuat tanpa pola. Dengan sebuah gunting berukuran sedang, pembuatnya langsung menggunting kertas, sehingga akhirnya menjadi satu tokoh wayang. Pada masa pemerintahaan Sultan Hamengku Buwono VIII itu dusun ini sudah menjadi daerah yang kaya akan seni tradisi dan kriya, terutama yang berbahan baku kertas dan bambu. Karena kekhasan inilah, konon Pangeran Dorodjatun (nama Hamengku Buwono IX ketika masih muda, sebelum menjadi sultan) sering menyempatkan diri datang ke Pandes untuk menunggui para pengrajin membuat wayang kertas.
Pada zaman modern dasawarsa 1970-80an pun mainan tradisional Pendes masih laris-manis. Barang-barang ini mudah didapat di Pasar Plered, Gamping dan Pingit. Bahkan setiap tahunnya, dua minggu sebelum dan dua minggu setelah lebaran, biasanya warga membawa kerajinannya ini ke luar kota seperti Purworejo dan Purwodadi. Satu truk untuk mengangkut mainan, satu truk untuk mengangkut warga.
Salah seorang tokoh pemuda di dusun ini, Wahyudi (29 tahun) masih ingat pada masa kanak-kanaknya, hampir semua anggota keluarga ikut membuat mainan. Untuk itu dilakukan pembagian kerja. Untuk wayang kertas, misalnya, ada yang menggunting, lalu ada yang menggambar, ada yang mewarnai, ada yang menyatukan bagian tubuh, dan ada yang menjual. Biasanya kerja sama ini dilakukan dalam satu keluarga. Jadi pada masa itu mainan tidak dibuat sendiri tapi bersama-sama. Dengan demikian, keahlian membuat mainan khas Pandes menyebar dan berlangsung turun-temurun. Kini keahlian itu telah menyurut, bahkan menurut Yudi, untuk generasi 25 tahun ke bawah, bisa dikatakan ada keterputusan.
Yudi memperkirakan bahwa penyebab utama merosotnya minat membuat mainan ini adalah kian sepinya permintaan pasar akibat membanjirnya mainan plastik. Padahal dulu, kenang Yudi, dari hasil sawah dan kerajinan mainan, orang tuanya mampu menyekolahkan delapan orang anaknya. Dengan kata lain, kerajinan mainan bisa dijadikan sumber penghasilan yang memadai.
Sekarang di Pandes hanya ada delapan perempuan lansia yang masih terus membuat mainan. Bedanya dengan masa lalu, mereka sendirian membuatnya, bahkan terkadang sendirian menjualnya. Masing-masing membuat ragam mainan tertentu. Ada yang khusus membuat wayang kertas, ada yang membuat othok-othok dan kipas. Mbah Rejo dan Mbah Joyo, misalnya, membuat kitiran dan othok-othok. Mereka masih konsisten bertahan bukan lantaran pertimbangan pasar tetapi tampaknya lebih sebagai aktualisasi diri. Tentu lebih daripada alasan Mbah Rejo yang kelewat sederhana, “daripada melamun”. Produksi mereka dijual dengan harga Rp 500-Rp 1.000 per buah.
Untuk menghidupkan kembali apresiasi terhadap mainan anak-anak ini, Komunitas Pojok Budaya, yang antara lain dimotori Yudi, Rindi dan Nanang, mengadakan pelatihan bagi warga generasi muda untuk membuat mainan anak-anak khas Pandes. Namun diakui Yudi, kegiatan ini belakangan tersendat. Di sisi lain, sejumlah siswa sekolah –misal, Global School di Jakarta-- mengikuti pelajaran membuat mainan anak-anak ini. Yudi mengaku telah mencoba meminta bantuan dari pemerintah daerah tetapi tidak mendapat respon.
Kini, kontinuitas yang masih terpaut dari masa lalu adalah dipakainya mainan anak Pandes untuk acara Tedhak Siten di Kraton,di mana seorang anak mulai dilatih berjalan. Dalam ritual ini seorang anak berusia tujuh ‘lapan’ (7 x 35 hari) dimasukkan ke dalam kurungan ayam. Di dalamnya terdapat beberapa benda yang harus dipilih sang anak. Di antara benda-benda itu adalah beberapa mainan anak dari Pandes.
Apakah Pandes masih bisa dikatakan sebagai sentra industri mainan anak tradisional? Jawabannya bisa ya, bisa tidak. Tapi sepuluh tahun mendatang, jika tidak ada langkah-langkah antisipatif yang signifikan, bisa dipastikan jawabannya adalah tidak.
a. barata
Artikel Lainnya :
- 23 September 2010, Kabar Anyar - ENERGI GARIS NASIM(23/09)
- DRAWING The Day After Today(15/05)
- Wayang Wong Gaya Yogyakarta. Masa Gemilang dan Memudar(03/08)
- MELONGOK ANCOLNYA JOGJA(24/02)
- Selalu Dipenuhi Dilema, Pilih Londo atau Jowo(21/04)
- 20 Desember 2010, Kuliner - MIE BANGKA(20/12)
- 8 Februari 2011, Djogdja Tempo Doeloe - MODEL KARNAVAL TAHUN 1937(08/02)
- MBONDHAN TANPA RATU(21/06)
- 23 Januari 2010, Jaringan Museum - DIALOG INTERAKTIF MUSEUM ANTARA SISWA, PEMERINTAH, DAN BARAHMUS(23/01)
- Pancake Istimewa Murah Meriah(17/02)