- Beranda
- Acara
- Berita Budaya
- Berita Tembi
- Jaringan Museum
- Karikatur
- Makan Yuk
- Temen
- Tentang Tembi
- Video Tembi
- Kontak Kami
Bale-dokumentasi-resensi-buku»Wayang Wong Gaya Yogyakarta. Masa Gemilang dan Memudar
03 Aug 2008 11:08:00Perpustakaan
Judul : Wayang Wong Gaya Yogyakarta. Masa Gemilang dan Memudar
Penulis : R.M. Soedarsono
Penerbit : Tarawang, 2000, Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : xxi + 234
Ringkasan isi :
Wayang wong gaya Yogyakarta yang merupakan ciptaan Sultan Hamengku Buwana I mengalami masa gemilang pada awal abad ke 20 sampai pecahnya Perang Dunia II tahun 1939. Wayang wong gaya Yogyakarta mencapai puncak perkembangannya pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana VIII (1921- 1939). Hal ini disebabkan sultan sendiri seorang penari, pecinta tari serta pelindung tari atau maecenas tari. Selama 18 tahun berkuasa di istana Yogyakarta diproduksi pergelaran wayang wong sebanyak 15 lakon, bersumber dari wiracarita Mahabharata dan Ramayana. Pertunjukan terpendek berlangsung selama satu hari dan yang terpanjang selama empat hari. Biasanya pertunjukan dimulai pukul 06.00 sampai 22.00 atau 23.00.
Wayang wong merupakan sebuah genre tari yang bisa dikategorikan sebagai suatu pertunjukan total yang di dalamnya tercakup seni tari, seni drama, seni sastra, seni musik, dan seni rupa. Ini berarti bahwa untuk menampilkan sebuah produksi wayang wong yang besar memerlukan hadirnya sejumlah seniman dari berbagai cabang seni. Pertunjukan yang panjang jelas hanya bisa diselenggarakan dan berkembang pada komunitas yang memiliki waktu luang serta fasilitas yang berlimpah, yaitu komunitas ningrat pada jaman kerajaan. Pada masa itu istana merupakan pusat politik, juga pusat perkembangan dan perubahan budaya. Istana menjadi kiblat dari segala ukuran nilai seni.
Wayang wong merupakan pertunjukan kaum ningrat, karena yang menari terutama pemegang peranan penting adalah putera-putera sultan, kerabat sultan, serta abdi dalem. Walaupun begitu rakyat biasa diperbolehkan menonton dengan syarat-syarat tertentu. Wayang wong juga merupakan pertunjukan yang sangat mahal apalagi bila berlangsung lama misal empat hari empat malam. Karena mahalnya biaya yang dikeluarkan tidak setiap tahun dipergelarkan.
Untuk bisa membawakan peran dalam wayang wong dengan baik seorang pemeran tidak hanya menguasai teknik tarinya saja tetapi yang tidak kalah penting adalah penjiwaan dari karakter yang dibawakan. Ketika menari ia harus lebur dalam karakter perannya. Untuk memperoleh penjiwaan yang baik diperlukan latihan yang intensif dan berat. Oleh karena beratnya syarat tersebut satu orang hanya diperbolehkan memerankan satu tokoh dalam wayang wong. Seseorang yang sudah dapat menjiwai karakter tokoh dalam wayang wong, terkadang terbawa dalam kehidupan sehari-hari. Misal seseorang memerankan tokoh Bima, dalam berjalan keseharian ia seperti Bima dalam wayang wong.
Pergelaran-pergelaran wayang wong yang megah tersebut tujuannya bermacam-macam, ada yang dipergunakan sebagai penyajian estestis yang dinikmati Sultan beserta tamu undangan, untuk menyambut peristiwa penting misal ulang tahun Sultan pada tahun 1934, untuk merayakan perkawinan Ratu Juliana dengan Pangeran Bernhard van Lippe-Biesterfeld tahun 1937.
Pementasan wayang wong kiranya bukan hanya pertunjukan biasa, tetapi ada faktor kuat lain yang melatar belakangi. Kebudayaan wayang merupakan kebudayaan yang penuh filsafat dan pendidikan. Melalui wayang wong inilah sultan ingin mengarahkan putera-puteranya, serta kerabat-kerabatnya untuk memahami benar-benar karakter–karakter ksatria dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Wayang wong meskipun ada peranan puteri tetapi yang membawakan penari laki-laki yang masih remaja dan berwatak halus. Hal ini dilandasi oleh etika dan tata susila yang tidak memperbolehkan adanya pergaulan dekat pria dan wanita. Puteri sultan dan kerabat wanita hanya dididik untuk menari bedhaya dan srimpi yang juga mengandung filsafat hidup dan pendidikan budi pekerti luhur.
Penjiwaan yang merupakan dasar filsafat seni tari Yogyakarta yang terkenal dengan istilah Joged Mataram yang terdiri dari empat dasar pokok harus dapat dikuasai dengan baik. Empat dasar tersebut adalah sawiji (konsentrasi total, tetapi tidak menimbulkan ketegangan bagi penari), greged (dinamika atau semangat dalam jiwa penari yang harus dikekang untuk disalurkan ke arah yang wajar), sengguh (percaya pada diri sendiri tetapi tidak sampai mengarah ke kesombongan) dan ora mingkuh (pantang mundur apapun yang terjadi). Untuk menguasai teknik tari gaya Yogyakarta yang paling pokok ada tujuh yaitu pandengan (pandangan mata), pacak gulu (gerak indah dari leher), deg (sikap torso yang harus dilakukan dalam posisi tegak lurus tanpa ada tegangan pada bahu), gerak cethik (pangkal paha), mlumahing pupu (paha dengan posisi terbuka), jari-jari kaki nylekenthing (pengangkatan jari-jari kaki ke atas dengan ditegangkan, sehingga apabila kaki menapak yang menapak hanya dari tumit sampai pangkal jari kaki), dan mendhak (posisi berdiri dengan menekuk lutut).
Wayang wong gaya Yogyakarta ini akhirnya mengalami kemunduran karena beberapa sebab. Penyebab kemunduran pergelaran wayang wong gaya Yogyakarta adalah faktor politik, sosial budaya, pelindung atau maecenas tari dan selera estetis. Pada waktu Sultan Hamengku Buwana VIII wafat tahun 1939 bersamaan Perang Dunia II yang menyebabkan perubahan politik termasuk di keraton Yogyakarta. Sultan Hamengku Buwana IX sebagai penggantinya sangat disibukkan urusan politik sehingga kurang memperhatikan masalah seni termasuk wayang wong. Selera estetis masyarakat sesudah tahun 1945, menyebabkan tidak bisa menikmati pergelaran wayang wong yang sangat panjang dan menelan biaya banyak. Wafatnya Sultan Hamengku Buwana VIII menyebabkan hilangnya macenas tari yang belum ada gantinya sampai saat ini.
Penyabab lain adalah penari-penari pada jaman sebelum perang kemerdekaan adalah seniman-seniman profesional yang mengabdi secara total, dan mendapat kedudukan sosial yang baik. Sebagai penari istana mereka mendapat gaji tetap, mendapat anugerah pangkat yang cukup tinggi, fasilitas-fasilitas tertentu, dan kadang-kadang bisa diangkat sebagai menantu sultan. Hal tersebut untuk saat ini mustahil dilakukan, penari-penari saat ini yang berlatih di organisasi-organisasi adalah penari sambilan. Sesudah Indonesia merdeka tahun 1945 latar belakang konsep etis dan pendidikan Jawa juga sudah banyak berubah dibandingkan dengan jaman dulu, sehingga ketertarikan pada seni tari menjadi berkurang.
Walaupun mengalami kemunduran seni tari (termasuk wayang wong) dapat berkembang di luar istana. Berdirinya organisasi tari Kridha Beksa Wirama tahun 1918 dengan restu Sultan Hamengku Buwana VII inilah yang menyebabkan seni tari berkembang di luar kalangan istana bahkan di luar Yogyakarta, walaupun dalam pergelaran tidak bisa semegah di kalangan istana. Kridha Beksa Wirama ini kemudian mendorong berdirinya organisasi tari lain seperti Mardawa Budaya dan Pamulangan Beksa Ngayogyakarta, dengan segala perkembangan dan perubahannya.
Teks : Kusalamani
Artikel Lainnya :
- Kedaton Plered tahun 1928(17/10)
- Johan Ardika Melukis Dengan Hati(13/03)
- Denmas Bekel(30/06)
- DAFTAR BUKU PERPUSTAKAAN RUMAH BUDAYA Tembi(04/09)
- Memilih Hari Untuk Minggu Depan(30/08)
- 17 Juni 2010, Kabar Anyar - KI SOEGONDO DJOJOPOESPITO, TOKOH DI BALIK PERISTIWA KONGRES SUMPAH PEMUDA II(17/06)
- Nurify Solo Exhibition Kebebasan dalam Beak Beak Word(19/05)
- Rajin Pameran(23/08)
- Catatan Pentas Tari Topeng Cirebon Masih Ada Masa Depan(19/05)
- Tugu Triangulasi di Jogja, Apa Pula Itu(16/05)