Innerlight, DJ Papan Atas Asal Sleman

Meski mengaku tidak lagi ingin kaya dan terkenal, tapi kenyataannya nama Edi Triana alias Innerlight sudah sampai Singapura dan Las Vegas setelah tampil di Heinneken Global Final tahun 2007. Ia kini berada di jajaran atas DJ Indonesia.

innerlight edi triana ex 3 band

Lahir di Yogyakarta 23 Januari 1974, anak ketiga dari tiga bersaudara ini sejak kecil sudah suka dengan musik. Waktu SD, Edi Triana alias Innerlight sudah sering ikut lomba nyanyi lagu Jawa, dan menjadi juara tingkat kabupaten sampai provinsi. Bakatnya yang kuat membuat Edi begitu cepat menguasai gitar hanya dalam waktu satu bulan ketika ia masih SMP. Bakat musiknya diwarisi oleh kakeknya yang pemain keroncong. Ayahnya Edi juga suka main musik terutama musik-musik tradisionil.

Eddie Triana adalah sosok yang selalu serius. Kelihatan dari raut wajahnya dan cara ia bercerita kepada Tembi saat mewawancarainya di tempat biasa Edi mengolah musik sehari-hari di Jakarta. Ketika masih SMA pun, ketika nge-band, ia sudah berusaha untuk mendapatkan soul, jiwa, dari band-nya.

“Band itu sama seperti tim sepakbola, setiap orang tidak harus menonjol tapi bisa main maksimal sesuai perannya,” katanya. Butuh waktu sampai 2 tahun untuk mendapatkan “soul” band-nya pada waktu itu.

Maka setelah lulus SMA Edi Triana ingin sekali kuliah di jurusan musik. Niat itu diurungkan karena saran ayahnya,”Pilih sekolah yang kalo kamu nggak sekolah di situ kamu nggak akan bisa”. Edi jadi berpikir, kalo cuma mau jadi pemusik, cukup rajin latihan aja, nggak perlu kuliah bisa jadi pemusik juga.

Karena suka sejarah, Edi pilih jurusan arkeologi dan diterima di Universitas Gadjah Mada tahun 1990. Di kampus hobi bermusiknya terus berlanjut. Sampai tahun 93-94 Tiga Band yang ia dirikan makin gencar mengenalkan lagu-lagu karya mereka sendiri.

Tahun 1995, kuliah Edi habis. Waktu yang seharusnya ia gunakan untuk membuat skripsi justru ia gunakan untuk merantau ke Jakarta. Bersama teman-temannya menawarkan diri untuk main di café dan menawarkan demo lagu. Respon bagus datang dari Gilang Ramadhan. Mereka langsung dikontrak untuk 3 album di Kama Record. Distribusinya dipegang oleh Warner. Sayang, setelah album pertama band-nya kacau karena salah pergaulan.

innerlight edi triana Moonlight Dreamer

Hobi utak-atik membuat desain grafis dan program komputer membuatnya dapat terus hidup di Jakarta, bahkan sangat berkecukupan. Penghasilan yang terbilang sangat besar, sekitar Rp 30 juta-an, ternyata justru membuatnya merasa kosong. Jiwa bermusiknya tidak terpenuhi. Ia putuskan untuk kembali ke kampus menyelesaikan skripsi. Edi Triana langsung ikut KKN (Kuliah Kerja Nyata) di Desa Pakis, Magelang, di kaki gunung Merbabu, Jawa Tengah.

Dari hingar-bingar dan kelimpahan uang di Jakarta, Edi Triana “shock” luar biasa ketika melihat orang-orang di dusun yang begitu sederhana. Di situ ia mendapatkan pengalaman spiritual bagi hidupnya. “Ternyata kebahagiaan bukan ditentukan dari besarnya uang”. Itu kesimpulannya. “Hidupku jadi lebih cooling down, kalo dulu ngoyo, pingin terkenal pingin kaya, sekarang udah enggak lagi”.

Jatah waktu yang sebetulnya habis di tahun 1998 sebagai mahasiswa tertolong oleh euphoria reformasi yang menyebabkan perkuliahan tersendat, otomatis waktu penyelesaian skripsi pun dimaklumi jika terlambat. Waktu senggangnya ia gunakan untuk bermusik sendiri, membuat musik digital.

Selesai itu, Edi kembali ke Jakarta. Krisis moneter membuatnya tidak lagi sekaya dulu. Persaingan di dunia desain grafis kian ketat, dan harganya jauh lebih murah. Pekerjaan desain pun jauh berkurang karena dunia label ikut terpuruk karena krismon. Beruntung Edi Triana memang mahir membuat program-program komputer untuk perusahaan-perusahaan.

Edi Triana sudah keranjingan musik digital, uang yang ia dapat dari proyek selalu habis untuk beli software dan hardware musik digital. Tahun 2001 ia menggarap album “Magma”, bersama Syaharani yang kebetulan waktu itu ingin sekali membuat album musik elektronik atau dance music. Dari sini Edi Triana semakin getol membuat karya lagu elektronik, lahirlah album iseng-iseng yang ia namai Recycle Bin. Namun, ia menganggap album ini gagal karena ia buat tanpa melakukan survei selera pasar.

Tahun 2004 adalah titik baliknya. Kemampuannya di bidang pembuat software membawanya pada pilihan sulit. Ia ditawari pekerjaan sebagai programmer di sebuah perusahaan asing yang menyediakan jasa VOIP dengan gaji U$ 2.500 sebulan.

innerlight Conversation With You

Edi Triana nggak pingin mengulang kekosongan batin yang pernah ia rasakan dulu. Meski jiwa musiknya belum menunjukkan hasil, ia menolak tawaran kerja itu.

Belajar dari kegagalan album pertamanya, Edi melakukan survei sendiri. Ia datangi klab-klab untuk tahu seperti apa musik yang lagi ngetren. Di buatlah album perdana dengan judul “Take Me to The Blue Blue Sky”. Di sini Edi mulai menggunakan “Innerlight” sebagai nama aliasnya.

Lagu-lagu dance music ia upload di indotrance’s blog, blog miliknya sebagai cara untuk mengetahui apakah karya musiknya ada yang suka. Di luar dugaan ternyata banyak orang suka. Bahkan seminggu setelah ia me-launching karyanya, ia banyak di-complain karena banyak dari mereka yang belum menerima kiriman CD album Innerlight. Hal ini bukan disengaja karena Edi mengira albumnya nggak ada yang suka. Ketika ia mengecek rekening banknya ternyata sudah ada 300 orang yang memesan. CD albumnya sukses di pasaran. Hanya dalam waktu kurang dari 3 bulan 1.000 CD ludes terjual melalui online.

Dari sukses penjualan CD, Edi Triana mendapat tawaran untuk nge-DJ di sebuah acara Rave Party di Yogya dengan bayaran pertama tiga juta rupiah. “Sebenarnya aku nggak kepikir untuk nge-DJ, tapi karena ternyata orang suka dengan musikku, buru-buru aku cari tau gimana caranya nge-DJ. Mungkin aku DJ pertama di sini yang nggak pake plat tapi pakai laptop.

Dalam waktu singkat kariernya melesat. Tahun 2005 Edi Triana sudah “sepanggung” dengan DJ-DJ internasional seperti Solar Stone, Reece Elliot, Scot Bond, SimonBrisky, Niklas Harding, Ben, Gareth Emery, Andy Moor, Matt Darey, First Sate,Whippenberg.

Oktober 2005, karyanya “Waiting for Nothing” dikontrak oleh Monster Tunes, sebuah label musik trance terbesar di dunia. Dua bulan setelahnya ia tampil di London.

Beberapa lagu dengan sentuhan musik tradisional seperti “Atmosphere in Java, Barata Yudha, Ayun Ambing, Toba Dream”, ia lahirkan. Tahun 2006 single-single dance ini membuatnya terpilih sebagai pemenang dalam ajang Heinneken Thirst Studio. Di acara Heinneken main event di pantai Ancol, Edi tampil bersama Dj internasional DJ BT dan DJ Ronin. Di sini ia membuat gebrakan berani dengan memasukan musik dari lagu Bagimu Negeri karya Kusbini dan mendapat sambutan meriah dari para clubbers.

Keputusannya di tahun 2004 untuk mengikuti “passion”-nya memang tepat. Menjadi pemusik seperti yang ia impikan ketika masih SMA sudah terwujud. Meski mengaku tidak lagi ingin kaya dan terkenal tapi kenyataannya namanya sudah sampai Singapura dan Las Vegas setelah tampil di Heinneken Global Final tahun 2007. Album ketiganya yang bertajuk “Clubhoppers Essential Mix #5” dengan hits “Moonlight Dreamer”, “Conversation With You” dan “Going Home”, terjual ribuan copy. Bahkan album keempatnya yang dirilis tahun 2009 dengan judul “Miracle” sudah menembus angka penjualan 7.000 keping.

innerlights Clubhoppers Essential Mix #5.pg

Satu kebanggaan prestasi dari konsistensi seorang Edi Triana yang memilih karier sesuai passion!!

Award :

  • Heineken Thirst 2006 Winner
  • Paranoia Award Track of the Year 2006 for “Atmosphere in Java”
  • REDMA Trance Dj of the Year 2006
  • REDMA Producer of the Year 2007
  • Paranoia Award Producer of the Years 2008
  • Trance DJ of the Year REDMA 2010
  • Track of the Year REDMA 2010 for "Fade Away"
  • Track of Year PARANOIA AWARD 2010 for "Fade Away"
  • Trance Dj of the Year REDMA 2011
  • Podcast of the Year REDMA 2011

Temen nan yuk ..!

ypkris

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta