Octo Mengenang dan Memandang Rembang
Rapi, manis dan romantis. Demikian secara umum kesan menikmati karya-karya Octo Cornelius dalam pameran tunggalnya, ‘Hi[s]tory’. Octo tengah berkisah tentang Rembang, kota kelahirannya.
Visualisasinya tidak bergejolak atau menyangat. Kalaupun ada penyangatan justru untuk mempermanis karyanya, seperti warna-warni lelehan getah kayu yang berhasil mencuri perhatian. Karya-karya tiga dimensinya dikemas dengan rapi, termasuk komposisinya. Octo juga memberi figur-figur kecil berwarna-warni yang mempermanis dan menghidupkan suasana, seperti beberapa burung yang bertengger atau kepala seekor burung yang melongok di jendela. Polesan kopi secara ornamentik ataupun dekoratif di media kayu pada sejumlah karyanya menguatkan sisi artistiknya.
Pilihan media kayu untuk karya-karya tiga dimensinya sejajar dengan atmosfir yang dibangunnya. Meski karya-karyanya rapi dan berjarak namun media kayunya serasa memberi kehangatan. Atau mungkin juga, lebih menegaskan aksentuasi kehidupan. Karena karya-karyanya dalam pameran kali ini tetaplah berkisah tentang Rembang sekarang meski tak lepas dari penggalan kenangan masa lalu.
Dalam wawancara tertulisnya dengan Tembi, Octo menjelaskan bahwa ia sering membayangkan lebih jauh tentang pengalaman dan pengamatannya tentang Rembang yang selalu membayanginya. Karya-karyanya ini merupakan bentuk bermain-mainnya dengan imajinasi hasil membayangkan lebih jauh ini.
Octo, misalnya, menciptakan tokoh Awi yang bulat dan gendut. Badannya terbuat dari kayu sedangkan kepalanya terbuat dari kulit buah kawista. Buah bernama latin limonia acidissima, atau bernama lain wood apple, ini merupakan buah khas Rembang. Menurut Octo, nama Awi diambil dari kata kawista, selain ternyata dalam bahasa Sunda awi berarti kayu. Kulit buah ini memang keras dan bermaterial seperti kayu.
Karyanya, ‘My Name is Awi’ menampilkan Awi membawa jangkar. Kata Octo, ini simbol bahwa dia bisa berhenti di suatu tempat lebih lama. Dan dengan jangkar itu dia tidak akan terhanyutkan oleh arus yang melewatinya, selama jangkarnya masih kuat dalam mengkait.
Tiga sosok Awi juga ditempatkan di depan sebuah kincir angin. Dikemas ala fantasia --satu memegang tongkat bintang, satu bertelinga sayap, dan satu memegang kuas-- ternyata mereka adalah karakter Awi yang direspon tiga orang teman Octo. Jadi figur rekaan Octo ini sebenarnya bisa jadi figur otonom yang memungkinkan dimodifikasi dengan polesan-polesan baru.
Octo menjelaskan, ketiga sosok ini sebenarnya itu terpisah dengan karya kincir angin. Kincir ini mengisahkan tentang Rembang sebagai penghasil garam. Kincir-kincir ini akan selalu ada di setiap petakan-petakan tambak, yang berfungsi memompa air laut yang dialirkan lewat parit-parit kecil untuk dialirkan di tiap-tiap petakan tambak. Namun, menurut Octo, jika musim penghujan tiba, petani garam tidak dapat memproduksi garam karena air laut yang asin berubah menjadi payau sehingga kincir-kincir tersebut dihentikan.
Di bawah kincir angin ada rumah kecil bergaya fairy tales atau dongeng anak-anak. Octo meletakkan kodok di setiap pintunya karena rumah ini ternyata memang diciptakannya sebagai rumah kodok. Octo menjelaskan, kodok merupakan salah satu satwa yang sering singgah di kincir-kincir itu saat musim penghujan.
Namun, tanpa komponen simbolik lainnya, orang bisa melihat karya berjudul 'Rainy Day' ini semata sebagai kincir angin yang menarik meski ternyata mengandung kisah sosial di baliknya.
Kisah sosial lainnya adalah hutan yang meranggas. Batang-batang pohon tak berdaun dalam karya ‘Meruang’ tampil tak berisi, hanya padat di sisi luar, seperti siluet negatif film atau alat cetak timbul. Imaji meranggas yang minimalis. Menurut Octo, karya ini bercerita tentang hutan di Rembang bagian selatan yang dulu lebat namun sekarang gundul, seperti menjadi "ruangan" yang baru dan gersang.
Melalui media yang berbeda, alumni ISI Yogyakarta Jurusan Fotografi ini menampilkan foto-foto hitam putih yang “berbeda rasa”. Fotonya, ‘The Abandoned’, muram dan sendu. Seperti judulnya, bangunan dalam foto ini seperti terbengkalai dan diabaikan, terasa sebagai sisa-sisa sebuah kemegahan yang tersapu jaman.
Menurut Octo, foto ini merupakan bangunan kolonial yang diambilnya pada sekitar tahun 2005-2006 setelah dibongkar paksa. Semua komponen bangunan ini, termasuk lantai, dibawa entah kemana, yang tersisa hanya tembok dan pilarnya saja. Padahal pada tahun 2000, bangunan ini masih utuh. Kini meskipun bangunan ini sudah direnovasi menjadi perpustakaan daerah tapi kesan yang tertinggal dalam diri Octo adalah kisah yang kurang mengenakkan tentang bangunan ini yang rusaknya dirasakan tidak wajar dan janggal.
Hasil jepretannya yang artistik ini ternyata ikut didukung oleh “kecelakaan”. Rol film yang memuat gambar bangunan tua ini sempat terselip. Sekitar tiga tahun kemudian, Octo menemukan kaleng rol filmnya yang belum dicuci. Setelah diproses di salah satu lab foto ternyata rol film itu sudah berjamur dan rusak. Sebagiannya adalah foto-foto bangunan tua itu. Namun karena kerusakanya itu ia menemukan efek ‘pecah-pecah’ yang menurutnya lebih dramatis.
Karyanya ’Pesta Pantai’ merupakan gabungan antara karya tiga dimensi dan fotografi. Menurut Octo, karya ini berkisah tentang upacara ‘Sedekah Laut’ sebagai ungkapan syukur para nelayan kepada alam yang telah memberi hidup. Pada karya kayunya yang minimalis ini, ia menyertakan album foto mini yang memuat foto-foto yang ia ambil saat prosesi.
Octo juga menampilkan karya-karya yang lebih bersifat personal. Seniman kelahiran 1981 yang sejak 1999 tinggal di Jogja ini menggambarkan kebimbangannya, merantau di Yogya atau menetap di Rembang. Octo kini menjadi artistic engineer di Papermoon Puppet Theatre, selain secara pribadi tetap terus berkarya sebagai seniman. Karyanya, ’Pilihan Ganda’, menampilkan dahan pohon yang menjulur dari dalam pintu rumah, dan seekor burung sedang bertengger di atas sarangnya di ujung dahan.
Masih terkait dengan Yogya, ‘Let's Drink Together’ menampilkan Awi mengendarai teko bersayap. Segera terbayang teko yang sederhana dan homy, berisi air segar ataupun air hangat. Menurut Octo, karya ini terinspirasi dari teman-teman di Yogya yang selalu menanyakan dan minta dibawakan oleh-oleh sirup kawista. “Akhirnya saya menemukan komponen teko untuk menggambarkan proses minum bersama-sama secara kolektif,” katanya.
Tampilan karya-karya Octo yang dikurasi oleh Dito Yuwono dan dipamerkan di Lir Space, Baciro (9-25/3/12) ini umumnya menyenangkan. Sebagiannya malah menjelma sebagai karya yang manis dan romantis. Tak terhindarkan, keminimalisan bentukan karyanya sangat memberi keleluasaan tafsir baru. Termasuk juga sebagai citraan fairy tales yang menarik, semisal figur tokohnya atau rumah kayunya. Bisa juga tak berhenti sebagai fenomena Rembang atau Octo tapi menjadi refleksi orang lain. Gaya bertutur ini memungkinkan karya Octo bisa dinikmati atau “dianggap milik” lebih banyak orang sebagai bagian dari diri mereka.
barata
Artikel Lainnya :
- TITIK-TITIK KETEDUHAN DI MALIOBORO-A.YANI(28/10)
- 7 Mei 2010, Figur Wayang - Hari Bersejarah(07/05)
- 8 Oktober 2010, Figur Wayang - Persepsi Masyarakat Terhadap Tokoh Pandhawa(08/10)
- Sastra Bulan Purnama Hadirkan Geguritan di Tembi(27/09)
- 11 Januari 2011, Kabar Anyar - KUNJUNGAN SINGKAT SMP N 2 PUNDONG: MENUJU TAHU(11/01)
- Membaca Cerpen-Cerpen KR dengan Ekspresi(20/11)
- AROMA WANGI PADA TIONG JIU(16/09)
- 2 April 2011, Kolom - ANAK MUDA DAN GAYA HIDUP MASA KINI(02/04)
- Nora dan Kuple Exhibition Harapan Lewat Gambar(17/06)
- SEGELAS SECANG MENGHANGATKAN(14/07)