Yogyakarta: Versailles van Java
Mungkin beberapa dari kita belum tahu bahwa sebenarnya ketika apa yang dinamakan sebagai ibukota Kerajaan Ayodyakarta Hadiningrat yang juga disebut Ngayogyakarta Hadiningrat berdiri, ibukota kerajaan ini demikian megah dan eksotis. Hal ini bukan mengada-ada atau pamer diri. Seorang Belanda yang bernama Willem van Hogendorp (1795-1838), yang adalah lulusan Leiden dan merupakan anak sulung Gijsbert Karel van Hogendorp yang merupakan salah satu pendiri Kerajaan Nederland Serikat (1815-1830) pernah menulis begini: ”Solo (Surakarta) selalu memberi saya kesan yang luar biasa, tapi Djocja (Yogyakarta) dalam masa kemuliaannya pastilah merupakan Versailles Jawa. Tidak sampai sepersepuluhnya yang tinggal utuh, tapi (aslinya dulu) terlihat pada reruntuhan tembok yang besar-besar.” Demikian seperti yang ditulis ulang oleh Profesor Peter Carey dalam bukunya ”Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan lama di Jawa 1785-1855 (Jilid 1).”
Willem van Hogendorp menuliskan kesannya atas ibukota Yogyakarta itu pada tahun 1828. Jadi ia menuliskan kesan itu setelah hampir tiga tahun Yogyakarta dilanda Perang Jawa (1825-130). Perang ini banyak menghancurkan bangunan-bangunan besar dan mewah di ibukota Yogyakarta. Sebelumnya, yakni tahun 1812 Yogyakarta juga telah mengalami penderitaan besar akibat Perang Sepei yang juga membawa kerusakan cukup besar serta terkurasnya harta benda dan pusaka milik Keraton Yogyakarta akibat perampasan yang dilakukan oleh Inggris.
Jadi, sekalipun telah terjadi perang dua kali dan mengakibatkan kerusakan yang hebat, Willem van Hogendorp pun masih bisa melihat atau menyaksikan kemegahan, keindahan, dan kemewahan ibukota Yogyakarta di awal abad ke-19 itu. Demikian seperti yang dtiuliskannya dalam laporannya yang kemudian hal ini dituliskan juga oleh Peter Carey dalam bukunya ”Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855.”
Puncak kemegahan Yogyakarta tersebut disebut-sebut terjadi pada kisaran tahun 1820. Tulisan mengenainya diterakan sebagai berikut.
Masa itu Yogya makmur, kaya dan indah, negeri subur dan mujur, ibukota cantik dan asri, penuh gedung-gedung bagus, taman-taman tertata rapi dan pesanggrahan-pesanggrahan yang bagus. Di mana-mana makanan dan air melimpah. Kala itu niaga, kerajinan, dan produksi berkembang. Orang Jawa (Yogyakarta) merasa bangga dengan tempat kelahiran (mereka).
Peter Carey yang selama 30 tahun meneliti sejarah Pangeran Diponegoro juga menyebutkan bahwa Yogyakarta pra-1825 merupakan kota yang nyaris tidak ada taranya di Jawa pada masa itu. Hampir seperempat bangunannya terbuat dari tembok yang bahannya berasal dari pertambangan batu kapur di Gamping di sebelah barat kota. Bahkan rumah-rumah penduduk biasa pun sekalipun terbuat dari bambu (gedhek) semuanya senantiasa dicat putih bersih (dikapur), dikelilingi pagar tembok rendah yang mengelilingi pekarangan dengan pohon buah-buahan dan perdu.
Kondisi Yogyakarta yang demikian indah dan asri itu juga dituliskan oleh pengelana dan pejabat Belanda yang demikian jeli, yakni Jan Izaak van Sevenhoven (1782-1841). Sevenhoven berkomentar tentang kebersihan dan kerapian kota tersebut (Yogyakarta) dalam kunjungannya pada tahun 1812. Sevenhoven menyebutkan bahwa di sepanjang jalan utama menuju keraton waktu itu terdapat pohon beringin tinggi dan rindang dengan rumah-rumah penduduk biasa yang letaknya mundur, agak jauh dari pinggir jalan utama tersebut. Lebih jauh selepas ujung jalan utama itu terdapat barisan toko-toko Tionghoa yang di sebelah baratnya terdapat rumah besar dengan halaman depannya berhiaskan taman dan tiga kolam besar. Rumah-rumah itu merupakan tempat pejabat tinggi yang mewakili pemerintah Belanda di ibu kota kesultanan. Kompleks tersebut berhadapan langsung dengan Benteng Vredeburg yang selesai dibangun tahun 1795. Di sepanjang jalan umum sekeliling benteng tumbuh juga pohon-pohon beringin. Di bawah keteduhannya berlangsung kegiatan pasar utama kota itu.
Demikian gambaran sekilas tentang Yogyakarta yang dipersamakan dengan Versailles, Prancis. Sekarang, apakah hal tersebut juga masih dapat disaksikan ? Tentu saja telah terjadi perubahan di sana-sini. Ada sekian banyak perubahan yang menyebabkan kondisi Yogyakarta masa lalu berbeda dengan masa kini. Namun komponen-komponen utamanya tentu saja masih dapat disaksikan. Eksotisme yang ada di Yogyakarta mungkin juga berubah, namun ruhnya mungkin terus menjiwai setiap gerak dan kiprahnya.
”Jogja, Jogja, tetap istimewa... ” demikian penggal lagu hip hop yang sempat ngetop di Jogja (mungkin juga di Indonesia).
a.sartono
Artikel Lainnya :
- Spirit Kebersamaan dan Kebebasan(17/03)
- 26 Februari 2011, Adat Istiadat - UPACARA GREBEG MAULUD KERATON YOGYAKARTA 2011 (26/02)
- MALIOBORO, SURGA BELANJA DI YOGYAKARTA(01/01)
- Pameran Artist Residensi 10 Galih Reza Hidup dan Harapan(12/09)
- 22 April 2010, Situs - KISAH JURUKUNCI(22/04)
- Berebut Gunungan Grebeg Sekaten di Paku Alaman(06/02)
- Denmas Bekel(16/09)
- 3 Maret 2011, Primbon - Wuku Prangbakat(03/03)
- SATE SAYUR SAPI NANI RESTO(09/05)
- Dolanan Layangan-3 (Permainan Anak Tradisional-78)(20/03)