Tembi

Makanyuk»SATE LEGI DAN SATE BLENDOK, KHAS BERINGHARJO YOGYAKARTA

01 Dec 2008 10:57:00

Makan yuk ..!

SATE LEGI DAN SATE BLENDOK: KHAS BERINGHARJO YOGYAKARTA

Sate bukanlah jenis makanan asing di Indonesia. Berbagai variasi masakan berbahan baku daging yang cara pengolahannya dengan cara dibakar ini bisa dijumpai dari Sabang-Merauke. Bahkan juga di negara-negara lain. Sekalipun demikian, Sate Legi dan Sate Blendok kemungkinan besar hanya terdapat di Yogyakarta. Itu pun hanya ditemukan di Pasar Beringharjo. Tempat mangkalnya juga tidak berada di los makanan atau jajanan, tetapi di pintu masuk sisi selatan-depan. Cara menjajakannya pun cukup dengan duduk lesehan atau di atas dhingklik. Sementara dagangannya dipajang di atas tambir atau tampah (nyiru). Praktis tidak membutuhkan tempat yang luas. Hanya, masalahnya muncul kemudian ketika konsumen akan menikmatinya karena tidak adanya tempat berupa kursi, meja, atau tikar. Lho ?

Kalau memang sudah ngebet kepingin menikmati mau tidak mau menikmatinya sambil berdiri (boleh jugajongkok) di tengah lalu lalang orang belanja di pasar. Kalau ingin dianggap sopan, akan lebih baik jika membeli dalam bentuk bungkusan kemudian dibawa pulang dan di santap di Rumah. Hanya saja sate yang sudah dingin tentu tidak seenak atau senikmat ketika masih panas.

Penjual Sate Legi/Sate Blendok di Beringharjo ini sekarang hanya tinggal 2-4 orang saja. Salah satunya adalah Bu Dibyo. Bu Dibyo (65) yang asli Sleman ini mulai berjualan Sate Legi/Blendok sejak tahun 1968 (40 tahun yang lampau). Kala itu sate memang sudah menjadi makanan kesukaan banyak orang. Sate blendok yang berasa manis kala itu umum dijual di tempat-tempat pertunjukan dengan harga murah karena bahan bakunya hanya lemak (gajih) sudah mampu menarik minat banyak pembeli (terutama anak-anak dan remaja). Bu Dibyo mengembangkannya dengan sate blendok berasa manis ini dengan bahan baku daging sapi murni. Artinya tanpa lemak. Kecuali itu Bu Dibyo juga mempertahankan Sate Legi yang berbahan baku lemak atau gajih sapi yang populer juga disebut Sate Blendok itu.

Tempat berjualan Sate Legi/Blendok Bu Dibyo ini juga terhitung sangat sederhana. Ia hanya membawa panci, tenggok, tambir, alat pembakar, kipas, dan daun pisang. Semua sate telah ditusuki dan dibumbinya dari rumah. Jadi, begitu sampai di Pasar Beringharjo ia tinggal meletakkan tenggok, dingklik, dan menata dagangannya di atas tambir. Jika ada pembeli datang ia tinggal wuus, wuus, mengipasi satenya di atas panggangan. Bu Dibyo biasa mangkal disisi dalam pintu masuk Pasar Beringharjo di bagian selatan-barat.

Aroma bakaran lemak dan daging Sate Legi ini demikian menyengat dan merangsang selera nafsu makan. Wujud tampilan Sate Legi memang relatif sederhana. Bolehlah dibilang kurang borju. Warna kemerahan daging sapinya masih kelihatan segar. Sedangkan untuk sate lemaknya kelihatan begitu mengkilat karena lelehan lemak bercampur bumbu akibat pembakaran di atas bara. Dalam satu tusuk sate biasanya berisi 3 potong daging sapi demikian juga untuk satu tusuk sate lemaknya. Isinya juga tiga potong lemak. Ukuran masing-masing potongan lemak dan daging kira-kira 2 x 2 cm.

Rasa sate ini memang benar-benar kuat rasa manisnya. Akan tetapi rasa rempah-rempahnya pun demikian kuat. Unsur gula jawa, bawang putih, bawang merah, dan terutama ketumbar demikian terasa. Bahkan rasa itu juga demikian terasa sampai ke kedalaman serat-seratdagingnya. Menurut Bu Dibyo hal itu dikarenakan potongan daging mentah yang telah ditusuk lidi dicencem atau direndamnya dalam bumbu-bumbu selama 4 jam lebih. Jadi, ketika Anda mengunyah potongan daging tersebut Anda tidak akan lagi membaui aroma amis. Serat-serat daging itu telah menyatu dengan bumbu-bumbu yang merendamnya. Meskipun tampilannya tampak sederhana dan bersahaja, namun rasanya sungguh sensasional. Beda banget dengan sate kambing atau sate sapi pada umumnya. Rasa manisnya memang cenderung kuat, namun rasa manis beraroma rempah yang kuat ini juga berpadu dengan rasa gurih yang muncul di tengah-tengah kita mengunyah dagingnya yang memes ‘tidak terlalu lembek dan tidak terlalu keras’.

Beda lagi dengan Sate Blendok yang bahan bakunya 100 prosen berasal dari gajih atau lemak sapi. Sapi Blendok dinamakan demikian karena tampilan dari sate ini memang benar-benar mirip blendok. Blendok adalah getah pohon yang telah agak lama mengumpul dan kemudian mengalami perubahan warna menjadi kecoklatan, kuning, dan bening karena berbagai proses kimiawi.Demikian pula tampilan Sate Blendok. Sate murni lemak ini jika sudah dibakar tampilanya juga akan tampak hitam kecoklatan, kuning, dan bening karena lemak yang dibakar meleleh. Sate Blendok memiliki rasa yang kurang lebih sama dengan sate daging legi. Hanya saja Sate Blendok jika ditelan terasa klenyer-klenyer di kerongkongan. Selain itu, setelah kita menelannya, maka langit-langit mulut kita akan terasa berat dan nggadhel yang oleh orang Jawa dikatakan sebagai ngendhal. Artinya, sisa lemak yang kita telan berhenti dan mengendap di langit-langit mulut kita.

Umumnya, orang yang telah selesai makan Sate Blendok dia akan mengeruk ceruk langit-langit rongga mulutnya dengan jari. Maklum kendhal atau lemak di langit-langit mulut ini terasa mengganggu. Aktivitas mengeruk ceruk langit mulut dengan jemari ini jika dipandang mata memang menjadi tidak sedap. Orang mungkin mengatakannya sebagai kurang beradab. Mungkin begitu. Apa boleh buat.

Satu tusuk Sate Legi (daging) dihargai Rp 2.000,- sedangkan Sate Legi (gajih) dihargai Rp 1.500,- per tusuknya. Dalam sehari Bu Dibyo mampu menjual 5 kilogram daging sapi untuk satenya. Sedangkan pada bulan-bulan liburan ia bisa menghabiskan 15 kilogram daging sapi untuk sate yang diproduksinya.

Jika Anda berada di Yogyakarta tidak ada salahnya Anda mencicipi rasa Sate Legi yang mungkin di daerah Anda tidak atau kurang lazim. Jangan apriori dulu. Rasakan sensasinya Bung !

a. sartono k




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta