Tembi

Yogyakarta-yogyamu»TANAH UNTUK PERTANIAN

21 Apr 2010 09:49:00

Yogyamu

TANAH UNTUK PERTANIAN

Wilayah-wilayah kabupaten di Propinsi DIY seperti Kabupaten Sleman dan Bantul sudah sejak lama dikenal sebagai wilayah yang banyak menghasilkan produk pertanian, khususnya padi. Seiring dengan perjalanan waktu tanah-tanah persawahan penghasil padi di wilayah-wilayah itu mulai menyusut. Hampir semuanya terdesak oleh kebutuhan akan perumahan atau pemukiman. Pertumbuhan penduduk yang cepat menyebabkan orang membutuhkan rumah dalam jumlah yang terus bertambah. Pengembang pun menangkap peluang-peluang semacam ini sebagai sebuah keuntungan material. Dengan modal kuat mereka mampu membeli tanah dalam ukuran relatif luas. Bukan hanya tanah-tanah tidak produktif yang mereka sasar, namun juga tanah-tanah produktif yang dalam prediksi mereka memiliki nilai strategis sehingga ketika menjadi perumahan menjadi bernilai jual tinggi. Ironisnya pula banyak sawah dijual karena dirasa tidak lagi memberikan keuntungan maksimal bagi pemiliknya. Banyak juga pembeli atau pemborong tanah tersebut berasal bukan dari DIY. Kebanyakan dari mereka adalah orang-orang berduit yang berasal dari kota-kota besar. Apa boleh buat.

Bukan hanya pengembang. Warga biasa pun mulai membeli atau mendirikan rumah atau pemukiman-pemukinan baru di atas tanah-tanha produktif. Akibatnya sudah bisa ditebak dan bisa dilihat sendiri saat ini. Salah satu contohnya adalah wilayah Pogung, Sendowo di Kecamatan Mlati, Kabupaten Sleman. Wilayah-wilayah tersebut dulunya dikenal sebagai areal persawahan yang subur dan sangat produktif. Hal demikian bisa dilihat pada kisaran tahun 70 hingga 80-an. Pada tahun 1990-an tanah-tanah di wilayah tersebut mulai bertumbuhan menjadi perumahan. Kos-kosan dan warung makan menjamur. Penduduk beralih profesi dari petani menjadi pemilik kos, penjual makanan, jasa laundry, jasa layanan fotokopi, internet, dan sebagainya. Kini tanah persawahan di kedua daerah itu boleh dikatakan sudah langka. Alhasil sistem irigasi yang mengambil air dari Sungai Code dengan mengalirkannya ke Kedung Kepit menjadi relatif kurang berguna, lebih-lebih guna untuk pertanian.

Godean, Moyudan, dan Seyegan di Sleman juga dikenal sebagai wilayah penghasil padi, Bahkan wilayah ini dikenal sebagai gudang berasnya Kabupaten Sleman. Akan tetapi wilayah ini pun tidak luput dari ancaman ”penjajahan” bangunan yang terbuat dari batu bata , baja, dan beton. Orang sepertinya tidak kuasa lagi menahan laju pertumbuhan perumahan yang merambah tanah-tanah produktif. Lambat namun sangat pasti perumahan akan terus bertambah. Dusun atau desa cepat atau lambat akan ”mengkota” juga. Boleh jadi, semua wilayah akan menjadi seragam: menjadi kota ! Tidak akan ada lagi yang namanya alam desa.

Pemkab Sleman pun mengeluarkan Peraturan Daerah No.19/2001 yang salah satu isinya melarang pemindahan peruntukan tanah pertanian ke fungsi lain di wilayah Sumberagung, Moyudan, Sleman. Maksud dari Perda ini sudah jelas: ingin mempertahankan areal persawahan di sebagian wilayah di Sleman agar tidak dirambah perumahan/bangunan. Hal semacam ini perlu dilakukan mengingat kehidupan manusia tidak bisa hidup tanpa pasokan produk-produk pertanian (pangan) untuk keberlangsungan hidupnya.

Boleh saja orang merasa ”aman” dengan munculnya perda tersebut. Akan tetapi populasi penduduk yang terus bertambah dan tampaknya memang nyaris tanpa kendali, menyebabkan kebutuhan akan pemukiman menjadi tidak terelakkan. Sampai kapankah wilayah-wilayah tersebut bertahan dari rambahan akan pemukiman atau peruntukan lain ? Kita tidak tahu. Semestinya tanah untuk pemukiman dan lahan produksi sudah sejak awal diperhitungkan bahkan dipilahkan dengan cermat. Jika hal-hal demikian dilepaskan begitu saja maka manusia tidak akan peduli apa-apa karena seperti diketahui kuasa uang atau modal demikian menjajah dan sangat melemahkan manusia. Seperti diketahui, manusia berkecenderungan mau melakukan apa saja demi uang, lebih-lebih uang dalam jumlah besar. Demikian pun pemilik sawah akan mudah tergiur dengan iming-iming uang besar sehingga mereka akan melepaskan sawahnya demi uang besar. Tidak peduli bahwa sawahnya kemudian akan menjadi lokasi pendirian pabrik, areal penampungan barang rongsok, perumahan, atau apa pun. Soal kelestarian areal persawahan: emang gue pikirin ?!

a. sartono




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta