Tembi

Makanyuk» MENIKMATI TONGSENG SUDIMORO

13 Apr 2008 07:18:00

Makan yuk ..!

MENIKMATI TONGSENG "SUDIMORO"

Di Bantul ada beragam jenis menu yang berkaitan dengan daging. Sangat mudah menemukan sate kambing. Hampir di sudut-sudut Bantul, termasuk di dusun-dusun, menu sate kambing berikut variasinya: tongseng, gulai kambing dan lelung (gulai balung), mudah ditemukan. Namun ada menu lain yang berkaitan dengan daging, ialah tongseng dan gulai ayam. Jumlahnya tidak “menjamur” seperti daging kambing.

Nama warungnya “Sudimoro”. Dari namanya orang Jawa akan segera tahu maksudnya. Atau kalau diterjemahkan berbunyi “bersedia mampir”. Terjemahan ini terasa sekali “menghilangkan” nuansa kata aslinya. Tetapi kita memang tidak akan membahas kata “Sudimoro” .. Biarlah pada kata aslinya.

Warung ini terletak di tengah kota Bantul. Tepatnya di Jalan Jendral Sudirman No 2. Hanya beberapa meter dari Pasar Bantul. Dan hanya beberapa ratus meter dari kantor Bupati Bantul. Pendeknya, warung “Sudimoro” berada di jalur utama kota Bantul. Kondisi warungnya sangat sederhana, kalau terlalu ekstrim untuk disebut kumuh. Hanya terdapat 5 meja panjang, tiga kursi panjang, tiga kursi kecil dan 6 kursi plastik. Namun warung ini tidak pernah sepi dari pengunjung. Yang menarik, pengunjungnya tidak hanya pejalan kaki atau pengendara sepeda. Tidak sedikit yang menggunakan mobil dan sepeda motor. Ini artinya, pengunjung “Sudimoro” bukan hanya orang yang bertempat tinggal di sekitar warung atau tidak jauh dari warung itu.

Lalu, apa yang dijual sehingga banyak orang datang?

Inilah yang menarik. “Sudimoro” hanya menyediakan dua jenis menu, yaitu tongseng dan gulai ayam kampung. Tak ada menu yang lain. Hanya ada makanan penunjang, seperti krupuk, lumpia, tempe benguk goreng dan pisang goreng. Kelengkapan lain dan memberi “citra” warung ini ialah teh gula batu.

“Minumnya apa?” begitu sapaan pertama penjualnya saat melihat orang masuk ke dalam warungnya.

Empat perempuan yang masih muda siap melayani pengunjung. Satu orang perempuan yang selalu siap di tungku tempat masak. Dua yang lain siap membuatkan pesanan minuman, dan satunya mengantarkan makanan yang dipesan. Teknik masaknya campuran tradisional dan modern. Artinya, selain menggunakan kompor gas, juga menggunakan arang dan keren/anglo. Piranti yang dipakai memasak, selain wajan ada kuwali. Pesanan dibuat dalam relatif cepat. Hanya sekitar 10 menit. Silih berganti orang datang, sehingga warung yang tempatnya kecil tersebut tidak sampai berjubel. Selalu saja orang datang dan pergi

Warung ini setiap hari buka mulai pukul 09.00, dan biasanya tutup pukul 16.00 karena menu utamanya sudah habis. Pada jam makan siang, antara pukul 12.00-14.00, warung ini penuh pengunjung. Orang-orang seperti sungguh-sungguh “sudimoro”.

Harganya pun tidak mahal. Satu porsi yang terdiri dari tongseng/gulai, nasi dan minuman hanya dihargai Rp 7.500. Tidak jarang, orang pesan dua porsi sekaligus: dua tongseng dan sepiring nasi.

“Sudah berapa lama warung ini?”

“Sampun dangu, mboten kemutan kala menapa sepindahan. Menawi mboten klentu tahun 1967 (Sudah lama, tidak ingat kapan tahun awal mulainya. Kalau nggak salah ingat tahun 1967),” kata salah seorang penjaga warung..

“ Dulu yang mengawali nenek. Sekarang ini diteruskan cucunya,” lanjutnya.

“Berapa potong ayam sehari?”

“Waduh, waduh, kagem menapa kok takon-takon (Waduh, waduh, kok bertanya untuk apa),” katanya.

Begitulah penjual tongseng “Sudimoro” mencoba menghindari pertanyaan. Sambil melayani pemesan yang bergantian datang, tertawa renyah untuk tidak menjawab pertanyaan.

Menu tongseng atau gulai merupakan jenis menu tradisional Jawa. Artinya, sudah lama jenis menu itu mudah ditemukan di Yogya. Keluarga Jawa sangat akrab dengan dua jenis menu itu. Warung “Sudimoro” bisa dimengerti sebagai warung yang menjaga “kelestarian” menu tradisional di tengah bermacam menu asing, termasuk menu etnik lain yang “menyerbu” Yogyakarta.

Mampirlah di “Sudimoro” untuk tidak melupakan menu tradisional Jawa.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta