Bupati Jawa Pasca Perang Jawa
Berikut ini adalah gambaran tentang seorang Jawa yang berpangkat bupati dalam pakaian lengkap. Gambaran tentang bupati Jawa ini dibuat sekitar tahun 1830-1850. Jadi dibuat setelah Perang Jawa (1825-1830) berakhir. Bupati berpakaian mewah dan indah ini tampak diiringi oleh seorang pengiringnya yang mungkin disebut sebagai semacam abdi punakawan. Abi ini tampak membawa payung kebesaran yang merupakan tanda kebesaran (pangkat) majikannya, sang bupati tersebut.
Dilihat dari penampilannya dan cara berbusana yang demikian sebenarnya dapat ditarik kesimpulan bahwa berbusana dan berpenampilan yang baik sudah sangat diperhatikan oleh masyarakat Jawa masa lalu. Kemewahan dan segala macam asesori yang menunjukkan ”kebesarannya” tampaknya demikian penting dan sepertinya harus ditampakkan di luar. Kewibawaan dengan cara berbusana yang mewah, indah, dan sesuai aturan yang ditetapkan negara maupun adat menjadi hal yang wajib dipatuhi. Kewibawaan diri yang dicerminkan dengan penampilan fisik yang baik menjadi hal yang penting pada sisi ini.
Pada sisi lain cara berbusana yang mewah dan indah juga mencerminkan bahwa orang Jawa waktu itu sudah sangat memperhatikan keindahan (seni). Bahwa hal yang indah tidak saja menyenangkan hati pada dirinya sendiri, namun juga (diharapkan) dapat menyenangkan hati orang yang memandangnya. Rasa senang (kagum) dari orang lain akan membuat orang lain tersebut memiliki rasa segan kepadanya. Oleh karena itu tidak aneh pula jika cara berpakaian di masyarakat Jawa masa lalu dibedakan secara bertingkat-tingkat. Bahwa motif batik tertentu tidak diperkenankan dipakai oleh orang kebanyakan. Motif Gurda (garuda) misalnya, atau Parang, pada masa lalu hanya boleh dikenakan oleh raja dan keluarganya.
Payung dengan warna tertentu juga menunjukkan tingkat kepangkatan yang membawanya di samping juga menunjukkan derajat kebangsawanannya. Hal itu belum lagi menyangkut masalah penggunaan asesori lain seperti keris, kalung, peniti, kancing baju, sepatu, baju, ikat kepala, celana, sepatu, dan sebagainya.
Pemilikan abdi juga menjadi bagian dari gengsi sosial masyarakat Jawa masa lalu. Jika ada bangsawan atau priyayi memiliki abdi dalam jumlah relatif banyak, maka gengsi sosialnya juga akan naik. Hal demikian seolah menjadi petunjuk bahwa bangsawan yang bersangkutan kaya. Artinya, mampu ”memelihara” sekian banyak abdi. Di samping itu, hal demikian juga menjadi semacam petunjuk bahwa bangsawan yang bersangkutan disukai oleh para abdi.
Abdi cebol atau cacat yang dalam khasanah budaya Jawa sering disebut sebagai abdi Punakawan juga menunjukkan tingkat gengsi sosial dari majikan (bangsawan) yang memilikinya. Dengan memiliki abdi cacat (cebol, buta, pincang, bongkok, dan seterusnya) hal itu akan menunjukkan bahwa bangsawan yang bersangkutan murah hati, mau peduli pada orang cacat, dan seterusnya. Di samping itu juga ada semacam kepercayaan bahwa dengan memiliki abdi-abdi yang cacat maka kewibawaan, kemakmuran, dan keseimbangan kosmis akan dapat diperoleh bagi sang raja (bangsawan) yang memilikinya.
a.sartono
sumber: Peter Carey, 2012, Risalah Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan di Jawa, 1785-1855, Jakarta: KPG bekerja sama dengan KITLV-Jakarta, Yayasan Arsari Djojohadikusumo, Aseasuk, Fadli Zon Library, dan Gramedia Printing Group.
Artikel Lainnya :
- 21 Agustus 2010, Denmas Bekel(21/08)
- Tuntunan Seni Kethoprak(18/03)
- 21 Juli 2010, Kabar Anyar - AJARAN BUDI PEKERTI SEMAKIN TERMARJINALKAN(21/07)
- Ben Sihombing(13/08)
- 5 April 2011, Kabar Anyar - 52 TAHUN SANGGARBAMBU(05/04)
- KERANGKA GAJAH KRATON NYI BODRO MENAMBAH KOLEKSI MUSEUM BIOLOGI UGM YOGYAKARTA(21/05)
- Kebudayaan Indis. Dari Zaman Kompeni sampai Revolusi(18/01)
- TROTOAR CANTIK DI JALAN PARANGTRITIS(01/01)
- 22 Juni 2010, Djogdja Tempo Doeloe - RUMAH SAKIT MATA DR. YAP TAHUN 1920-AN(22/06)
- De Petangans of Telingen der Javanen(28/03)