Ben Sihombing

Ben Sihombing

Setiap orang butuh cerita. Saat seseorang berada di titik terendah atau bahkan tertinggi pasti butuh cerita. Cerita menjadi solusi yang menjawab kegelisahan diri.

Sambil berkhayal jadi super hero Jepang, Ben Sihombing menyusunnya rapi dan detail cerita khayalannya di dalam kamar setiap malam sampai tertidur, berharap besok bisa mengalahkan kakak kelas yang pernah mem-bully-nya.

Masa SMP menjadi masa yang membebaskan Ben dari tindakan bully di SD. Padahal, di sekolah itu terkenal dengan cerita-cerita ngeri yang bisa membuat orang bergidik atau miris membayangkannya. Sesama siswa memalak (minta uang) kepada siswa lainnya bukan hal aneh di sana. Guru diancam pakai pisau oleh muridnya sendiri juga bukan pelanggaran sepertinya karena toh sekolah tidak bisa berbuat apa-apa. Ben aman berkat kemampuannya main gitar. Ben bisa diterima karena suka mengiringi siswa-siswa sangar itu bernyanyi. Ben tidak perlu lagi berkhayal jadi hero.

Kemampuan main gitar Ben semakin bagus. Di SMA Ben makin gila nge-band sampai akhirnya dia sendiri sadar harus meninggalkan hobi nge-band-nya yang sempat membuat nilai pelajarannya rontok. Apalagi orang tua Ben sempat kehilangan pekerjaan, jadi mau tidak mau Ben harus benar-benar fokus ke pelajaran supaya biaya yang sudah dikeluarkan dengan susah payah berbuah manis seperti nilai-nilainya ketika di SMP.

Lulus SMA, orang tua Ben dapat kerja lagi sehingga soal biaya kuliah tidak lagi jadi kendala. Tahun 2001 Ben diterima di jurusan Elektro Universitas Indonesia. Tahun 2002 Ben ikut lagi Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru Universitas Indonesia tahun berikutnya dan diterima dijurusan Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Di semester kelima, Ben kembali menghadapi kenyataan pahit, ayahnya kena PHK lagi. Untungnya Ben jago main gitar. Ben sudah bisa dapat uang dari kepiawaiannya bermain gitar sebagai pemain sesi untuk rekaman album. Terkadang juga ia main di kafe-kafe.

Lulus Sarjana tahun 2007, tawaran kerja di Freeport datang dari salah satu adik orang tuanya. Meski Ben tahu itu bukan dunianya namun Ben jujur hidup mapan itu sangat penting. Pengalamannya sudah membuktikan betapa tidak nyamannya hidup sebagai orang tak punya.

Bekerja bukan di dunianya membuat Ben selalu bertanya pada diri sendiri, “apa memang begini hidup yang ia inginkan?”. Nonton film menjadi kegiatan wajib yang bisa ia lakukan untuk membunuh pertanyaan yang selalu mengusik pikirannya.

Film “Adaptation”, jadi semacam perangsang Ben untuk masuk ke dalam dunia Ben yang sejiwa dengannya. Film “Adaptation” bercerita tentang Charlie Kauffman yang berusaha mengadaptasi sebuah cerita novel “Orchid Thief.” Bagaimana si tokoh berusaha keras, depresi karena buntu tidak bisa menulis cerita adaptasi itu menginspirasi Ben untuk membuat naskah film.

Ben punya hobby baru, mencari informasi sebanyak-banyaknya tentang penulisan naskah film melalui internet dan mencoba menuangkan khayalannya dalam bentuk naskah film.

“Gue bisa!!” itu keyakinan Ben, ketika ia berhasil menyelesaikan 3 naskah dalam tempo 1 bulan. Keyakinan yang menjawab pertanyaan selama 2 tahun bekerja sebagai orang kantoran yang memang bukan dunianya.

Kembali ke Jakarta Ben menemukan ternyata beberapa teman SMA-nya sudah berkecimpung di dunia film. Seorang temannya menyarankan Ben untuk mengirimkan synopsis ke orang-orang film seperti sutradara atau produser. Ben kembali selancar di dunia maya untuk tau apa itu synopsis.

TIga bulan Ben luntang-lantung gak jelas. Sempat frustrasi bahkan sempat Ben kerja lagi sebagai orang kantoran di asuransi Prudential dibagian Sumber Daya Manusia (HRD). Tidak lebih dari sebulan Ben berhenti karena merasa bahwa untuk terjun ke dunia yang menjadi pilihannya tidak bisa dijadikan sambilan. Akhirnya Ben bertemu dengan Serunya Screenwriting, tempat belajar menulis naskah film di tahun 2010. Di sini Ben semakin fokus. Dari mentornya, Titin Wattimena, Ben baru tahu bahwa ia harus bisa menuangkan idenya dalam bentuk synopsis yang menarik tapi sederhana. Lebih dari 50an orang ia hubungi melalui e-mail , menanyakan kepada para sutradara atau produser apakah ia boleh mengirimkan synopsis. Hari-harinya ia isi dengan memantau apakah ada balasan. Tak satupun merespon. Sampai akhirnya Ben memutuskan untuk mengirim synopsis tanpa bertanya. Hari- hari berikutnya Ben Sihombing jadi Ben Simatupan, Siang Malam Tunggu Panggilan, menanti dan berharap ada telepon atau sms yang memintanya menulis film dari synopsis yang ia kirimkan.

Iqbal Rais, adalah orang pertama yang merespon, 3 hari sejak Ben mengirimkan sinopsisnya kepada Iqbal Rais. Iqbal Rais tertarik dengan tulisan Ben dan langsung menawarkannya menulis naskah film untuk ide cerita lainnya. Ben tidak menyia-nyiakan kesempatan emas itu. Ben tahu siapa dirinya, nggak perlu menuntut ini itu. Toh keberanian Iqbal Rais mempercayakan pada dirinya, yang belum punya karya film juga bisa dianggap sebagai judi karena mereka belum kenal dan Ben belum pernah menulis naskah iklan yang sebenarnya.

Film “Senggol Bacok” menjadi film pertamanya. Naskah ini ia selesaikan dalam 3 draft selama 1 bulan. Di tahun yang sama 2010, Ben dapat lagi pekerjaan menulis film berikutnya,” 3 Pejantan Tanggung” yang disutradarai Iqbal Rais juga. “Cinta di Saku Celana” menjadi film keempatnya yang diproduksi dengan Fajar Nugros sebagai sutradara. Di saat yang sama Ben mendapat pekerjaan untuk menulis “Pengejar Angin”. Proyek inilah yang mempertemukan Ben dengan Hanung Bramantyo dan Hesti Saputra. Film “Pengejar Angin” lebih dulu diproduksi daripada “Cinta di Saku Celana”, karena “Pengejar Angin” adalah cerita yang sebelumnya sudah pernah ditulis tapi Hanung Bramantyo merasa belum sreg dengan penulis sebelumnya.

Cerita depresi seorang penulis dalam film “Adaptation” yang Ben tonton waktu kerja di PT. Freeport, Papua beberapa tahun sebelumnya terasa seperti diperankan oleh dirinya. Ben sempat 3 bulan “menghilang” ketika menulis naskah untuk cerita film tentang presiden pertama RI. Ben sengaja menutup semua akses komunikasinya mulai dari ponsel sampai akun-akun jaringan social yang dimilikinya.

Inisiatif Hanung Bramantyo untuk memastikan keberadaan Ben berhasil “mengeluarkan”nya dari kebuntuan menulis cerita itu sampai akhirnya Ben merasa mendapat “pencerahan” menulis naskah dalam proses yang ia jalani selama 8 bulan. Naskah film “Gandhi” naskah film “King’s Speech” dan “Social Network” menjadi acuan dalam penulisan naskah tentang Soekarno. Ben ingin bisa seperti penulis-penulis hebat itu. Menggunakan naskah film bagus sebagai acuan sudah Ben lakukan sejak menulis naskah film pertamanya.

Dengan sifatnya yang diakui agak tertutup, Ben memilih karir dunia film sebagai penulis. Ben tidak pernah bercita-cita untuk jadi sutradara atau produser film. Sebagai penulis Ben bisa punya hak untuk tidak diintervensi selama proses penulisan. Dan sebagai penulis, Ben tidak pernah punya pretense apapun dari cerita yang ia tulis. “Realistis aja, bikin cerita yang mudah dipahami supaya film kita bisa berbicara kepada orang banyak tanpa harus berpikir bagaimana caranya merubah dunia, gue bukan siapa-siapa.” Ujar penggemar game, yang merasa kecepetan dengan 4 film yang sudah ditayangkan dalam kurun waktu 3 tahun sejak 2010.

Menurut pria kelahiran Jakarta 28 Juni 1984 ini, Sebuah karya itu bisa bagus jika dikerjakan dengan orang-orang yang memang baik, tulus. Ini salah satu hal yang membuatnya betah di dunia film khususnya di penulisan naskah. Ben bisa bertemu dengan orang-orang baik yang mau berbagi, Dari Iqbal Rais, Ben mendapat kepercayaan untuk menulis cerita film pertama. Melalui Iqbal Rais Ben bisa bekerjasama dengan Hanung Bramantyo yang memberinya inspirasi untuk berpikir “tidak biasa”, out of the box. Dari Salman Aristo, ia belajar struktur cerita dan dari Titin Wattimena Ben belajar memberi “nyawa” pada naskah yang ditulisnya.

Temen nan yuk ..!

Ypkris

Artikel Lainnya :


Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta