'Topeng' dari Slamet Riyadi Sabrawi

'Topeng' dari Slamet Riyadi Sabrawi

Buku puisi kembali mengisi jagad sastra di Indonesia. Banyak buku puisi diterbitkan, dan hebatnya bukan diterbitkan oleh penerbit komersial, melainkan justru diterbitkan oleh komunitas, atau malah diterbitkan oleh penyairnya sendiri. Ada buku puisi yang memuat puisi dari banyak penyair, misalnya 51 penyair, 100 penyair dan seterusnya. Namun ada juga buku puisi karya seorang penyair, yang memuat misalnya 100 puisi, atau 80 puisi. Pendek kata, buku puisi kembali hadir ditengah publik, setelah beberapa lama agak sepi.

Ini ada satu buku puisi yang baru terbit karya Slamet Riyadi Sabrawi dan merupakan buku puisi ketiga yang sudah diterbitkan. Buku puisi yang berjudul ‘Topeng’ ini memuat 150 puisi karyanya sendiri.

Launching buku puisi ini dilakukan Rabu (11/4) lalu di Universitas Ahmad Dahlan di jalan Pramuka, Yogyakarta, dengan menghadirkan pembahas Iman Budhi Santosa, seorang penyair yang sudah 40 tahun lebih menggeluti puisi. Selain pembahasan, beberapa puisi karya Slamet Riyadi dibacakan oleh beberapa penyair dan aktor, seperti Helga Korda, seorang aktor dari Sanggatbambu, yang aktif di tahun 1970-an. Evi Idavati, seorang penyair perempuan dan pembaca puisi yang lain seperti Herlina Van Tojo. Tak ketinggalan Slamet Riyadi Sendiri ikut membacakan puisi karyanya sendiri. Mahasiswa UAD, mengolah satu karya puisi Slamet Riyadi Sabrawi menjadi sebuah pertunjukkan teater.

'Topeng' dari Slamet Riyadi Sabrawi

Bagi Iman Budhi Santosa, cara berpuisi yang dilakukan Persada Studi Klub pada tahun 1970-an sebagai kerja yang baik, dan karena itu bisa diteruskan. Bahkan bukan hanya sekedar baik, melainkan sekaligus adalah benar. Iman Budhi Santosa melihat, puisi-puisi karya Slamet Riyadi Sabrawi adalah puisi-puisi yang baik, tetapi ada satu puisi yang diletakan pada bagian belakang dianggapnya kurang baik. Karena puisinya lebih banyak menulis mengenai protes seperti kebanyakan orang melakukannya.

“Penyair, saya kira, tidak perlu ikut teriak-teriak protes, tetapi tetaplah menulis puisi yang baik dan benar’ kata Iman Budhi Santosa.

Iman Budhi Santosa mengaku, melihat puisi dengan perspektif Jawa, karena bagi dia, yang dilakukan oleh banyak orang selama ini melihat dengan cara barat, seperti apa yang ditulis oleh Krisbudiman dan Ons Untoro dalam bukunya Slamet Riyadi Sabrawi ini.

“Krisbudiman dan Ons Untoro melihatnya dengan perspektif barat’ kata Iman Budhi Santosa.

Menggunakan perspektif Jawa, atau kalau dalam salah satu puisinya Slamet Riyadi Sabrawi mengambil cara berpikirnya Suryamentaram, dan lebih khusus lagi pada peristilahan Kramadangsa, untuk membedakan ‘si aku’. Bahwa Kramadangsa bukan ‘si aku’ itu.

'Topeng' dari Slamet Riyadi Sabrawi

“Orang biasanya mencari yang benar, bukan yang baik. Dalam cara berpikir Jawa, yang benar belum tentu baik, tetapi yang baik (sing apik) pasti benar. Makanya, orang Jawa cenderung mencari ‘sing apik’ (yang baik), bukan ‘sing bener’ (yang benar) kata Iman Budhi Santosa.

Dari 150 puisi yang ada dalam buku ‘Topeng’ Slamet Riyadi Sabrawi menuliskan banyak kisah. Lintasan peristiwa yang dia lihat, atau dia baca dan dengar, tidak lepas dari puisinya. Sepertinya, apa yang dia lihat, dengar dan baca, memberikan inspirasi untuknya. Maka, dia menulis puisi yang berjudul ‘Sandal Jepit Justice’, yang rasanya untuk merespon kisah pencurian sandal jepit yang masuk pengadilan. Dia juga menulis puisi yang berkisah mengenai ‘Tugu’ Yogya. Mungkin, Slamet karena terlalu sering melewati Tugu Yogya yang berdiri persis di perempatan jalan utama Yogyakarta.

Dari 150 puisi yang ada dalam buku ‘Topeng’ dibagi menjadi tiga tema, ialah ‘Menulis Kehidupan’, ‘Menulis Rindu’ dan ‘Menulis Tanda’. Masing-masing tema untuk mewadahi kisah-kisah dalam puisinya, misalnya puisi ‘Sandal jepit Justice’ (di)masuk(kan) pada tema ‘Menulis Kehidupan’, dan puisi yang berkisah mengenai Tugu, Salatiga misalnya, bisa dibaca pada tema ‘Menulis Tanda’. Klasifikasi tiga tema ini, adalah upaya untuk memudahkan mengenali tema-tema dalam puisi karya Slamet Riyadi Sabrawi.

Sebagai penyair, Slamet Riyadi Sabrawi memang sudah lama menulis puisi, bahkan Slamet Riyadi Sabrawi ikut dalam komunitas Persada Studi Klub yang diasuh oleh Umbu Landu Paranggi. Di PSK, kependekan dari Persada Studi Klub, Slamet Riyadi satu angkatan dengan Emha Ainun Najib, (alm) Linus Suryadi AG dan lainnya. Pada masa PSK itu, puisi karya Slamet Riyadi Sabrawi sudah masuk ‘Sabana’, yang merupakan puisi pilihan Umbu Landu Paranggi, yang dianggapnya sebagai puisi yang sudah matang.

'Topeng' dari Slamet Riyadi Sabrawi

Setelah lama berkutat di dunia jurnalistik, Slamet Riyadi Sabrawi, seorang dokter hewan, kembali produktif menulis puisi dan ‘Topeng’ adalah salah satu dari wujud produktivitas itu.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta