Pentas Baca Bahasa Inggris Rasa Jawa
Pentas Baca Tembi kembali digelar di Tembi Rumah Budaya. Pentas ke-2 ini, 9/6/12, menampilkan mahasiswa dan mahasiswi Jurusan Sastra Inggris Fakultas Ilmu Budaya (FIB) UGM. Secara khusus, pentas baca ini menunjukkan kebolehan kelompok gamelan Prasasti yang beranggotakan mahasiswa Sastra Inggris yang telah berlatih dan berkarya sejak 2011.
Landung Simatupang selaku kurator memilih kelompok gamelan ini karena menilai mereka sudah siap membawakan sejumlah komposisi. Selain itu, Landung melihat mereka serius mempelajari gamelan walaupun mereka belajar di jurusan bahasa asing. Pentas Baca Tembi edisi bahasa Inggris ini menampilkan komposisi-komposisi garapan Nanang Karbito berupa tembang Jawa dan iringan gamelan kontemporer. Dan untuk persembahan malam itu, lirik tembang-tembang Jawa karya Nanang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Ada pula pembacaan cerpen karya Soebakdi Soemanto, dosen sastra Inggris FIB UGM.
Pentas baca yang digarap mahasiswa, dan secara khusus dipersiapkan kurang lebih selama 1 bulan ini cukup menarik. Iringan gamelan dari Prasasti yang rancak mengiringi pembacaan puisi dan prosa oleh para penampil yang berusaha tampil total dengan gerakan, ekspresi, kostum, serta properti pendukung cerita.
Persembahan pertama adalah puisi Sumping Pari oleh Ronang Wahyu dan Maria Erlita. Bercerita tentang seorang pemuda yang jatuh cinta pada seorang gadis cantik dengan sumping pari di rambut yang menari dengan lemah gemulai di tengah sawah, namun akhirnya si gadis menyadarkan si pemuda untuk berhenti berangan-angan yang tanpa arti, kembali ke jati dirinya. Melihat penampilan Ronang dan Maria penonton langsung bisa memahami rangkaian cerita karena kedua tokohnya berinteraksi sesuai makna puisinya, seperti berdialog.
Puisi asli Sumping Pari karya Nanang dinyanyikan oleh penyanyi Prasasti bersama iringan gamelan sebagai pengantar pembacaan versi bahasa inggrisnya oleh Ronang dan Maria. Hal yang sama juga dilakukan dalam pembacaan puisi yang lain. Jadi setiap interval antarbait, Prasasti akan menabuh gamelan dan menyanyikan kata per kata puisi dalam versi aslinya seperti menembang, lalu pembaca akan membacakan terjemahannya dalam bahasa Inggris.
Penampil kedua, Henricus Pria, membawakan cerpen karya Soebakdi Soemanto yang berjudul The Sacred Box. Dengan kostum bergaya tradisi dan setting meja kursi, Henricus berkisah tentang anak rantau yang kembali ke kampung halamannya untuk mencari kotak keramat dari perak yang berisi petuah-petuah dari ayahnya. Dalam pembacaan cerpen, selain artikulasi yang jelas, juga diperlukan mimik dan intonasi yang tepat, serta mengubah-ubah suara untuk menandakan setiap karakter saat membacakan dialog. Henricus telah mencoba melakukannya, dan berhasil membuat cerpen ini bisa dimengerti alur ceritanya.
Demikian juga dengan Muhammad Eric Fazlur Rahman, penampil keempat yang membacakan cerpen Soebakdi yang lain berjudul A Tale of A Magician. Muhammad Eric bahkan lebih ekspresif dalam gerak maupun suara. Cerita tentang seseorang yang memaksakan mimpinya menjadi seorang pesulap namun gagal itu dibawakan dengan cukup menarik walau minim iringan dan properti.
Harapan Landung Simatupang agar Pentas Baca Tembi tidak melulu menjadi pentas pembacaan puisi - yang juga telah diadakan rutin di Tembi dalam Sastra Bulan Purnama- malam itu terwujud dengan pembacaan 2 cerpen karya Soebakdi Soemanto.
Namun, pembacaaan puisi yang diterjemahkan dari karya Nanang pun harus diapresiasi. Puisi Sumping Pari, Gembala Nada, Hyang, dan Asmaramurka, semua diterjemahkan dari tembang yang dinyanyikan Prasasti. Sinatria, mewakili panitia dari Jurusan Sastra Inggris UGM, menjelaskan bahwa proses penerjemahan yang cukup rumit, yakni harus melewati 2 proses dari menerjemahkan puisi Jawa ke bahasa Indonesia, baru kemudian diterjemahkan ke bahasa Inggris, kecuali puisi Gembala Nada yang berbahasa Indonesia. Beberapa kata yang tidak ditemukan padanannya dalam bahasa Inggris dibiarkan seperti adanya. Walau dari segi rasa menjadi tidak sekaya dalam versi Jawanya, setidaknya dapat ditangkap makna yang sama bagi yang mengerti kedua bahasa tersebut. Penerjemahan dilakukan oleh mahasiswa Sastra Inggris UGM dibantu dosen mereka, Zoe McLaughlin.
Nyanyian tembang Jawa dan iringan musik gamelan serta para penampil yang dengan suara lantang membacakan syair-syair berbahasa Inggris menjadi kombinasi yang unik dalam rangkaian acara yang berlangsung kurang lebih 2 jam tersebut. Nuansa Jawa tetap terasa kuat walau coba dikomunikasikan dalam bahasa internasional. Gamelan, puisi Jawa yang indah, cerpen berlatar budaya Jawa, kebaya yang dikenakan para penampil, sampai dua buah gunungan merah bergambar raksasa yang diayunkan Devi Hatchery -usai membacakan riwayat Rahwana dalam puisi Asmaramurka- menguatkan kesan itu. Pentas baca ini setidaknya membuktikan adanya generasi muda yang sadar akan pentingnya kefasihan berbahasa asing, khususnya bahasa Inggris sebagai bahasa internasional, namun juga merasa penting untuk melestarikan tradisi.
Teks : Enggar Ranum
Foto : Sartono
Artikel Lainnya :
- 24 Agustus 2010, Bothekan - KAYA JARAN KERUBUHAN EMPYAK(24/08)
- SATE KAMBING TIBAN(06/04)
- Sengkuni, Sang Patih Licik (1)(09/11)
- UMP, UPAH MINUMUN PROPINSI(28/11)
- MENGENANG DICK HARTOKO, MENGINGAT TANDA-TANDA ZAMAN(23/05)
- NASI GORENG B2 DAN JERUK PANAS(05/09)
- DJAKA LODANG 1 (15/06)
- Pekan Depan, Dua Antologi Puisi Diluncurkan di Tembi(26/12)
- 28 Januari 2010, Primbon - Midodareni(27/01)
- 14 Desember 2010, Ensiklopedi - DOLANAN GOBAG GERIT(14/12)