Denting Kehidupan dalam Pameran
Karte melukis rumah-rumah kardus yang berdempetan, simpang siur, serta saling tumpang tindih. Karte membuat potret sosial kehidupan perkotaan. Ada coretan-coretan pensil yang naïf, yang sebagian ternyata coretan anaknya yang masih duduk di kelas 5 SD.
Pengunjung memperhatikan ‘Ksatria Dadakan’ karya Karte Wardaya
Bayangkanlah, ‘toast’ dengan gelas anggur berisi lembaran-lembaran rupiah, rumah-rumah, hutan yang coklat meranggas, dan hutan yang hitam sisa-sisa terbakar. Empat gelas anggur ini berjejer berdempetan di atas padang rumput yang luas berwarna hijau tua. Alam terbuka berlatar langit kelabu. Terpisah dari empat gelas ini, berdiri menyendiri sebuah gelas berisi pepohonan dan rumput berwarna hijau muda yang segar. Gelas yang satu ini terkesan berdiri tegar dan stabil.
Lukisan Nunung Rianto berjudul ‘Tak Tergoyahkan (T2)’ ini sekaligus menyodorkan realita pahit dan harapan manis. Masih ada keoptimisan di tengah kritik sosial yang ia lontarkan.
Nunung berpameran bersama Kelompok Denting yang diawaki empat anggota, yakni Giring Prihatyasono, Karte Wardaya, Mulyo Gunarso, dan Nunung sendiri. Pada pameran kali ini mereka melibatkan empat perupa lain, yakni Choirudin, Herjaka HS, Jon Batik, dan Yaksa Agus. Jadilah mereka menyebut pameran Denting ke-6 ini sebagai Denting #6 Plus.
Jika dicermati, para anggota Denting agaknya membawa perspektif serupa, yakni kritik sosial yang masih disertai keoptimisan. Gaya realis juga menjadi kesamaan mereka. Bedanya lebih pada ikon serta tema sosial yang mereka pilih.
Gunungan, Semar, dan kaligrafi Jawa.
‘Manunggaling Kawula Gusti’ karya Giring Prihatyasono
Nunung menggunakan gelas transparan sebagai ikon yang luwes dipakai untuk berbagai isu sosial. Gelas transparan bisa dikembangkan baik dari jenis maupun isinya. Nunung mengaku belum lama memakai ikon ini. Sebelumnya ia memakai piring, yang juga banyak digarap perupa lainnya.
Mulyo masih memakai sarang burung sebagai ikonnya, sebagaimana pameran Denting pertama pada tahun 2009. Namun kali ini tanpa bulu burung, yang juga menjadi kekuatan gaya realisnya. Ia juga tetap menggeluti isu lingkungan hidup, atau katakanlah, keseimbangan alam. Karyanya ‘Rumahku Harapanku’ menggambarkan sarang burung di antara pohon-pohon yang tinggi menggapai awan, berlatar dinding batu bata kelabu yang terkesan dingin dan keras.
Giring tetap berkutat dengan persoalan kultural. Karya-karyanya selama ini menunjukkan kesadarannya atas budaya Jawa atau budaya tradisional. Bedanya pada media dan cara penyampaiannya. Jika pada pameran Denting tahun 2009, ia mensejajarkan tokoh wayang dengan tokoh ‘hero’ Barat –semisal Gatotkaca dan Superman, Arjuna dan James Bond— sebagai sesama ‘hero’ yang membela kebenaran, maka pada pameran kali ini ia lagi tidak menyikapinya secara dikotomis. Meski masih sama moderatnya.
Sadewa, si bijaksana dari Pandawa, dilukisnya di permukaan kain jeans sebagai kanvas. Dalam figur wayang kulit, ia muncul setengah badan di tengah garis sobekan jeans. Tangannya yang kiri memegang jarum berisi benang yang masing-masing berwarna merah dan putih. Artinya, dalam satu sistem dunia globalisasi, tindakan aktif jati diri kebangsaan tetap perlu dilakukan.
Gelas dan lingkungan hidup. ‘Tak Tergoyahkan’ karya Nunung Rianto
Giring memosisikan perspektif budayanya secara moderat. Ia tidak bersikap xenophobia, atau setidaknya bukan antibarat. Giring menjelaskan, kenyataannya kita memang berada dalam zaman globalisasi. Yang diperlukan adalah kewaspadaan.
Kewaspadaan ini dituturkan pula dalam karyanya yang lain, ‘Manunggaling Kawula Gusti’, berupa gunungan tiga dimensi berukuran 145 x 120 cm. Ia menuliskan huruf Jawa serta kaligrafi Semar dengan bahan lem yang dituangkan melalui ‘spluit’ polos penghias kue. Kaligrafi ini menuturkan tentang falsafah ‘manunggaling kawula gusti’ sebagai wujud ‘eling’ (waspada) atas nilai-nilai kebaikan dan kebenaran.
Karya-karya Karte agak berbeda. Ia menempelkan kartu ceki dan umbul-umbul wayang di kanvas, berdampingan dengan goresan cat akriliknya. Karte melukis rumah-rumah kardus yang berdempetan, simpang siur, serta saling tumpang tindih. Karte membuat potret sosial kehidupan perkotaan. Ada coretan-coretan pensil yang naïf, yang sebagian ternyata coretan anaknya yang masih duduk di kelas 5 SD. Memainkan asosiasi pelajaran membaca ‘ini rumah Budi’, salah satu coretan pensilnya menyatakan bahwa rumah Budi sudah tidak ada.
Kartu ceki dan umbul-umbul wayang oleh Karte diposisikan sebagai bagian dari rumah, entah sebagai bagian konstruksi maupun sebagai penghuni. Di satu sisi, elemen-elemen ini mempercantik lukisannya. Di sisi lain --kalau mau bertafsir-tafsir-- ceki yang kerap dimainkan sebagai alat judi, maupun umbul-umbul yang jika dilemparkan tidak jelas akan jatuh dalam posisi muka atau belakang, mengesankan ketidakpastian. Sebagaimana juga tata kota dan pemukiman warganya yang tidak jelas konsep dan pelaksanaannya.
Sarang burung dan tembok. ‘Rumahku Harapanku’ karya Mulyo Gunarso
Semua karya kelompok Denting ini berukuran minimal 100 cm. Karya-karya yang dipamerkan di Tembi Rumah Budaya ini berlangsung sejak 13 Desember 2012 sampai 5 Januari 2013. Sesuai dengan nama kelompok para perupa ini, begitulah kontribusi perupa Denting sebagai anggota masyarakat yang dengan kegelisahannya ingin menyuarakan perasaan dan pikirannya. Mungkin hanya bunyi berdenting tapi akan terdengar ketika kita mau merenung dalam keheningan.
Pameran yuk ..!
Barata
Artikel Lainnya :
- SOP DAGING BU SUWARDI(02/08)
- 6 Juli 2010, Ensiklopedi - KUCING-KUCINGAN(06/07)
- 6 Agustus 2010, Figur Wayang - Derita Tidak Berhenti(06/08)
- UTOPIA ANAK-ANAK MUDA DARI EDUARDO GALEANO(29/11)
- TRADISI TAKJIL DAN MERCON DI BULAN PUASA(24/08)
- Lebaran Macet Di Yogya(27/08)
- Acara Malam Chairil Anwar Siap Digelar(07/04)
- Sembadra(06/07)
- 6 April 2011, Yogya-mu - KERAJINAN KULIT IKAN PARI PARI RADJA SALAH SATU PRODUK UNIK DARI JOGJA(06/04)
- WARUNG SATE GULE MBAH MARGO, NANGGULAN, KULON PROGO, PELOPOR PERSATEAN DAN PERGULEAN DI WILAYAH NANGGULAN(02/03)