Lebaran Macet Di Yogya

Lebaran Macet Di Yogya

Senin 20 Agustus, pada lebaran kedua, ketika melewati jalan Parangtitis, Bantul, Yogya, sore hari sekitar pukul 16, antrian panjang mobil dari arah selatan menuuju kota Yogya sudah mulai terlihat. Itulah awal kamacetan di YSogya dimulai pada lebaran kedua. Dan di tempat-tempat lain di Yogya, apalagi di obyek wisata, penuh sesak orang tak bisa dihindari dan kemacetan kendaraan mudah sekali ditemui.

Jalan menuju kota, dari beberapa titik lalu lintas kendaraan luar kota memasuki Yogya, kemacetan bisa dirasakan. Ring road utara antrian panjang kendaraan roda empat bisa dilihat dengan jelas, sehingga ada yang berkelakar: ‘Kemacetan Jakarta dipindahkan di Yogya’. Dan memang dari selatan, sampai jalur jalan Wates dan pada titik Pasar Gamping sampai lampu merah arah menuju ring road utara kemacetan cukup panjang terjadi. Dari arah berlawanan, kemacetan juga terjadi. Jadi, dari arah yang berbeda, kemacetan, di beberapa titik menuju kota Yogya macet.

Orang pasti sudah bisa menduga, kemacetan terjadi di Malioboro, pusat kota Yogya. Dan memang, kawasan Malioboro bisa dikatakan ‘pusatnya macet’. Bukan hanya tengah Malioboro, tetapi area disekitarnya juga macet. Padahal, arah jalan yang hendak masuk ke Malioboro sudah dialihkan, sehingga kenadaraan tidak bisa masuk ke Malioboro dari beberapa titik, dan hanya melalui samping selatan melalui utara hotel Garuda. Arah dari jalan kleringan yang biasanya bisa masuk ke Malioro, selama lebaran jalurnya dialihkan ke Kotabaru.

Lebaran Macet Di Yogya

Kawasan Abubakar Ali, arah menuju kawasan Kotabaru dan Malioboro, melihat kemacetan yang terjadi membuat kita bisa terpana melihat kota Yogya dipenuhi kendaraan roda empat. Di arah jalan jendral Sudirman, kemacetan juga tidak bisa dihindari. Dalam beberapa hari, dimulai awal lebaran, sampai Kamis 23 Agustus kemacatan masih bisa ditemukan. Pada hari sesudahnya, kemacetan bisa ditemukan arah jalan menuju ke luar kota.

Agaknya, orang yang sudah lama meninggalkan Yogya, meski bukan dari Yogya, mempunyai kerinduan terhadap kota yang dikenal memiliki beberapa predikat ini. Barangkali, dalam angannya, Yogya tidak banyak perubahan, setidaknya tidak jauh dari yang pernah ditinggalkan 30 tahun lalu. Orang yang pernah sekolah di Yogya, di UGM misalnya, ikut ‘mudik’ ke Yogya, barangkali bukan ingin bertemu keluarganya, karena keluarganya berasal dari daerah lain, tetapi ingin bertemu ‘masa lalu’nya ketika tinggal di Yogya. Maka, meski lebaran sudah lewat beberapa hari, warung SGPC di utara Selokan Mataram disekitar kampus UGM dipenuhi kendaraan dengan nomor luar kota.

Dalam kata lain, bagi yang ‘mudik’ ke Yogya, agakanya kota ini memiliki ‘masa lalu’ yang tidak bisa dilupakan. Kehidupan ketika masih muda dan dijalani dengan penuh sederhana, salah satu ‘masa lalu’ yang, rasanya, tidak bisa dilupakan. Orang yang pernah belajar di Yogya dan tinggal beberapa tahun di kota ini, pastilah pernah menjalani kehidupan sederhana. Pada tahun 1970-an, bahkan sampai tahun 1980-an, memiliki uang Rp 5000 kita masih bisa makan, merokok, minum kopi. Lebih mengesankan lagi, di Yogya mahasiswa bisa menjalani hidup dengan menghutang makan di warung, kelak kalau punya uang, saat kiriman datang, baru bisa dilunasi. Bahkan, uang kost juga bisa dibayang mundur. Jadi, Yogya, secara sosial dan kultural memberi ruang pada pendatang yang sedang menuntut ilmu di Yogya.

Kita tahu, beberapa tahun terakhir ini, pada hari lebaran, bahkan saat long week end, di Yogya mengalami kemacetan. Tentu saja, kemacetannya berbeda dengan hari lebaran. Karena pada hari lebaran, orang-orang yang masuk ke Yogya jauh lebih banyak. Selain orang yang ‘pernah tinggal’ di Yogya, orang-orang yang orang tuanya masih menetap di Yogya, keluarganya menyempatkan untuk pulang pada hari lebaran.

Lebaran Macet Di Yogya

Kita tahu, tidak banyak tempat-tempat yang dikunjungi untuk berwisata di Yogya, namun pada hari lebaran orang tertarik datang ke Yogya, yang utama bukan untuk ke obyek wisata, tetapi, rasanya, untuk bertemu ‘masa lalu’nya ketika tinggal di Yogya. Karena itu, Yogya akan ‘selalu’ menarik bagi orang yang ‘pernah tinggal’ di kota ini dan meninggalkannya untuk kepentingan mencari penghidupan.

Meski kendaraan memadati kota Yogya, para pemudik seperti menikmati. Barangkali, dalam angan mereka, Yogya kelihatan terasa semakin hidup karena kemacetan mewarnai.

Dan bagi warga Yogya lainnya, sudah mulai terbiasa dengan kemacetan sejenak, untuk memberi orang lain menikmati kota Yogya. Seperti halnya menu gudeg yang ‘berbaur’ dengan menu lain dari bermacam daerah. Warga Yogya memberi ‘toleransi’ pada kemacetan, yang hanya berlangsung beberapa hari.

Sebut saja, Yogya macet karena ada banyak saudara jauh datang ‘bertamu’.

Ons Untoro
Foto-foto Budi Adi dan Ons




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta