'UTOPIA' ANAK-ANAK MUDA DARI EDUARDO GALEANO

'UTOPIA' ANAK-ANAK MUDA DARI EDUARDO GALEANO‘Utopia’ adalah salah satu judul esai dari sejumlah esai-esai lainnya karya Eduardo Galeano, yang dibacakan oleh anak-anak muda, yang boleh jadi ‘asing’ terhadap nama Eduardo Galeano. Anak-anak muda ini,diantaranya Retno Iswandari, Mutia Sukma, Budi Yasanti Parola, Fauziah Syahila, I Made Astika dan Halim HD. Acara dikemas dengan tajuk ‘Sastra dan Gerakan Perempuan di Amerika Latin’. Diselenggarakan di Karta Pustaka, Rabu (23/110 lalu.

Anak-anak muda ini, yang dimotori oleh Halim HD, memiliki bakat ‘reading performance’ yang menggembiarakan. Semua pembaca, tampil dengan sungguh-sungguh dan orang tidak ‘mengenali’ yang dibaca adalah esai, bukam cerpen atau penggalan prosa. Retno Iswandari sendiri, ketika disodori naskah untuk memilih, tidak mengira kalau yang akan dibaca adalah esai, bukan cerpen.

“Ketika saya diminta untuk memilih naskah-naskah yang akan dibacakan, terus terang saya tidak mengerti ini jenis naksah cerpen atau apa. Saya juga tidak terlalu mengenal penulisnya. Tetapi begitu saya membaca naskahnya dan memilih untuk dibacakan di Karta Pustaka ini, saya kagum akan karyanya, yang ternyata adalah esai’ kata Retno Iswandari.

Masing-masing membacakan, setidaknya satu naskah, tetapi ada yang lebih dari satu naskah, seperti misalnya, I Made Astika. Selebihnya, naskah yang ada dibacakan oleh Halim HD.

Salah satu esai yang dibacakan berjudul ‘Utopia’. Agar neter T'UTOPIA' ANAK-ANAK MUDA DARI EDUARDO GALEANOembi bisa mengenali bagaimana pikiran Eduardo Galeano kita sertakan teks ‘Utopia’ itu. Silahkan untuk membacanya:

“Petualangan dan kabar tentang dunia baru menjadi berita hangat di bar-bar, café-café dan warung-warung kopi di pelabuhan Flemish. Pada suatu malam musim panas, di pinggir pelabuhan, Thomas More bertemu, atau tepatnya menemui Rafael Hithloday, pelaut yang pernah berlayar bersama Amerigo Vespucci. Rafael menyampaikan kabar bahwa dia menemukan Pulau Utopia tak jauh dari pesisir Amerika.

Rafael, pelaut yang pernah berkeliling dunia itu mengabarkan bahwa Utopia itu berhubungan dengan tidak adanya penggunaan uang sebagai alat bayar dan tiadanya kepemilikan pribadi. Di sana, emas tak berharga dan konsumsi apa adanya, dan tak ada seorangpun yang menggunakan pakaian berlebihan. Setiap orang menyerahkan buah-buahan dari hasil panenan atau yang dicarinya di hutan ke rumah publik, dan setiap orang bebas memilih buah-buahan itu serta bahan konsumsi kebutuhan lainnya, untuk kebutuhan dirinya atau keluarga. Ekonomi sangat bersahaja. Tak ada yang menimbun barang, dan tak ada seorangpun yang cemas atau takut kelaparan.

Warga m'UTOPIA' ANAK-ANAK MUDA DARI EDUARDO GALEANOemilih pimpinannya, seorang pangeran, dan juga mencatatnya jika dianggap melanggar keputusan warga. Pimpinan agama ditunjuk menurut pilihan warga. Penduduk Utopia membenci peperangan. Walau demikian, mereka akan mempertahankan mati-matian batas nagari mereka. Agama yang mereka yakini tidak digunakan untuk menyerang dan membuat aib dengan alasan apapun juga, dan tidak menggunakan kekerasan untuk membuat orang lain pindah keyakinan.

Mereka mempunyai hukum yang mengijinkan perceraian. Namun akan menjatuhkan hukuman berat pada perselingkuhan. Dalam hukum di Pulau Utopia, setiap orang bekerja enam jam sehari. Kerja dan Istirahat harus seimbang, dan warga saling berbagi waktu, seperti mereka berbagi meja makan. Masyarakat bertanggung jawab penuh terhadap anak-anak kecil yang orang tuanya sedang sibuk bekerja. Warga atau orang yang sedang sakit mendapatkan prioritas pertolongan dan pengobatan khusus. Etanasia dijauhi. Taman-taman dan kebun-kebun buah-buahan memenuhi berbagai ruang dan lahan. Dan kita akan mendengar musik sejauh kemanapun kita melangkah”.

Esai-esai Eduardo Galeano pendek-pendek dan menyoroti berbagai macam hal, dan pikiran-pikirannya selalu ‘mengganggu’ pikiran orang lain. Bahkan seringkali, kapan kita membaca esai-esainya akan tertegun. Selain ‘Utopia’, ada judul l'UTOPIA' ANAK-ANAK MUDA DARI EDUARDO GALEANOain, misalnya ‘Buket Kembang Nelson Rodrigues’, ‘Ibu-Ibu perkasa dari Plasa De Mayo’, ‘Dari Mutilasi Rasisme Menuju Kemegahan’, ‘Lima Perempuan Perkasa’ dan lainnya.

Kita kutipkan judul lain, esai yang sangat pendek, tetapi memberi renungan yang cukup dalam. Judulnya, ‘The Culture Of Terror’. Simak esai itu:

“Memeras. Mencerca. Mengancam. Menampar. Memukul. Merangket. Mencambuk. Hukuman kamar gelap. Menyemprot dengan air es. Memaksa berpuasa. Memksa makan. Melarang meninggalkan rumah. Melarang orang menyatakan pendapat. Melarang orang berbuat menurut pikirannya. Menghina di depan publik”.

Semuanya itu adalah cara-cara, hukuman, sikasaan yang ada di dalam kehidupan keluarga. Untuk menghukum ketidakpatuhan dan menghalangi kebebasan, banyak keluarga terbiasa menghidupkan budaya terror dengan menghina perempuan, mengajar anak-anak berbohong, dan menyebarkan wabah ketakutan.”.

Ons Untoro




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta