Tembi

Bale-dokumentasi-resensi-buku»Langen Mandra Wanara. Sebuah Opera Jawa

03 Sep 2008 11:14:00

Perpustakaan

Judul : Langen Mandra Wanara. Sebuah Opera Jawa
Penulis : Ben Suharto, N. Supardjan, Rejomulyo
Penerbit : Yayasan untuk Indonesia, 1999, Yogyakarta
Bahasa : Indonesia
Jumlah halaman : viii + 288
Ringkasan isi :

Langen Mandrawanara merupakan bentuk opera (Jawa) yang memiliki ciri khas unik dan sangat kuat. Ia lahir di luar tembok istana sebagai antitesis dari wayang wong dan beksan yang merupakan pementasan dramatari di lingkungan dalam kraton dan terlebih dahulu populer. Dalam kurun waktu tertentu ia merupakan simbol perlawanan terhadap budaya adiluhung di lingkungan kraton yang dianggap eksklusif.

Langen Mandrawanara diciptakan oleh KPH. Yudonegoro III. Ketika muda KPH Yudonegoro III ini sangat menggemari kesenian terutama seni tari. Pada waktu itu karena di luar istana tidak boleh meniru kesenian keraton, beliau menampilkan kesenian rakyat Srandul. Srandul ini mengambil cerita dari Serat Menak dengan instrument pengiring bendhe, terbang, kendhang, angklung. Lakonnya antara lain Pedhang Kangkam, Ndulang Mas dan lain-lain. Kadang-kadang ada selingan adegan yang disebut gara-gara. Adegan ini dipakai untuk memberi penerangan kepada masyarakat pedesaaan tentang hidup baik.

Ayah KPH Yudonegoro III, yaitu Yudonegoro II kurang berkenan putranya hanya berkecimpung dalam kesenian yang bercorak kerakyatan saja. Beliau kemudian menyarankan untuk mengubah lakon Ramayana dalam suatu bentuk kesenian yang bercorak garapan keistanaan. Tetapi KPH. Yudonegoro III agak berkeberatan dengan peraturan yang mengikat dari Keraton Yogyakarta, bahwa bentuk garapan tari dari luar keraton yang ingin sama dalam menari seperti di dalam kraton mesti menggunakan topeng. Beliau tidak tertarik penggunaan topeng dalam menari. Agar gagasannya terpenuhi, yaitu menari bebas tanpa topeng, tetapi tidak melanggar larangan yang berlaku dalam keraton, KPH. Yudonegoro III meniru bentuk yang telah lebih dulu lahir. Demikian tari yang pada dasarnya menggunakan posisi menari jongkok (Jawa : jengkeng) yaitu Langendriyan, lebih menarik untuk dipakai sebagai bahan baku banding untuk menggarap karya lain dengan cerita Ramayana. Langendriya sendiri diciptakan oleh Raden Tumenggung Purwadiningrat.

Meskipun menggunakan konsep dan pola Langendriyan namun pengaruh kesenian rakyat pedesaan tidak hilang. Maka beliau menggunakan nama lain yaitu Langen Mandrawanara. Pemberian sebutan ini perlu agar tidak harus terikat aturan kebiasaan dari bentuk yang sudah ada sebelumnya, sehingga dengan demikian terjamin kebebasannya dalam mengembangkan daya kreasi. Di balik kelembutan corak keistanaan Langen Mandrawanara memberikan kesan urakan pula. Ungkapan-ungkapan kata yang halus dan penuh nilai sastra yang dalam sering diselingi dengan tuangan ekspresi yang kasar dalam gaya bahasa yang mudah dimengerti.

Ditinjau dari arti kata per kata, Langen Mandrawanara terdiri dari tiga kata yaitu langen yang berartti bersenang-senang, mandra berarti banyak dan wanara yang berarti kera. Artinya pertunjukan yang banyak peran keranya, dimaksudkan untuk menyenangkan hati. Sebagai suatu pertunjukan mempunyai pengertian khusus sehingga Langen Mandrawanara sebagai suatu istilah mempunyai arti dramatari gaya Yogyakarta yang berdialog dengan tembang macapat, diciptakan oleh KPH. Yudonegoro III tahun 1890, dengan membawakan cerita Ramayana. Ciri khas dalam geraknya adalah dilakukan dengan posisi jongkok yaitu menggunakan lutut sebagai penyangga dalam gerak-gerik tarinya. Langen Mandrawanara ini semakin berkembang setelah KPH Yudonegroro III diangkat sebagai Patih dengan gelar KPAA Danurejo VII, dan kesenian ini diboyong ke kepatihan.

Naskah tari dalam Langen Mandrawanara biasa disebut dengan istilah Serat Kandha atau Buku Kandha, berisi:

  1. Pembagian lakon dalam beberapa jejeran

  2. Masuk dan keluarnya penari dalam pentas

  3. Kandha dalam arti sempit yaitu untaian kata-kata yang harus dibaca petugas maca kandha dengan gaya lagu membaca yang khas. Isinya adegan yang baru saja terjadi, sedang terjadi dan akan terjadi.

  4. Gendhing atau lagu gamelan

  5. Dialog dengan tembang macapat

Petugas khusus yang menyimak dan membacanya disebut maca kandha. Ia duduk di tengah tepat di muka gamelan dan menjadi titik pusat jalannya seluruh pertunjukan seolah-olah merupakan pimpinan panggung atau penanggung jawab pentas. Duduk di sebelah kirinya adalah vokalis pria atau kanca gerong, kanca wiraswara atau kanca lebdaswara. Vokalis putri disebut kanca pesindhen atau waranggana duduk di muka dan samping kiri kanca gerong. Di belakang layar pertugas maca kandha dibantu petugas kandha kothak untuk menyiapkan penari yang siap masuk pentas.

Langen Mandrawanara sebagai karya seni yang lahir di luar tembok istana telah berhasil merakyat. Karya ini seperti benang penyambung antara keagungan karya istana yang gemerlap dengan karya seni pedesaan yang sederhana dan urakan. Kampung-kampung Yogyakarta yang pernah memiliki grup Langen Mndrawanara antara lain kampung Notoyudan, Kumendaman, Sosrowijayan dan Tegalgendu Kotagede. Di kabupaten Bantul yang masih ada atau pernah ada antara lain di desa Sembung, Bangunjiwo, Kasihan dan kalurahan Jambitan, Banguntapan, Bantul. Di kabupaten Sleman (di sana lebih dikenal dengan nama Purba Wanara) antara lain di desa Morangan, Triharjo, Sleman dan desa Kembangarum, Danakerta, Turi, Sleman. Sedangkan di kabupaten Kulonprogo dan Gunungkidul belum ditemukan datanya.

Epos Ramayana yang berasal dari India adalah sumber utama cerita Langen Mandrawanara. Di dalamnya terproyeksikan masalah pertentangan, jarak, perbedaan, bahkan visualisasi perang abadi yang ada dalam batin setiap manusia. Epos ini juga berisi tentang keseimbangan serta korelasi hubungan manusia dengan Tuhan maupun sesamanya, gambaran kehidupan sosial berdasarkan status atau tingkat sosial, hubungan manusia dengan makhluk hidup lain (binatang, tumbuhan). Dalam perjalanan historis epos Ramayana berkembang dan bertambah baik sisi isi cerita atau tokoh dan tempatnya. Bahkan di Yogyakarta ada cerita yang diambil dari epos Ramayana digabungkan dengan epos Mahabarata.

Buku ini disamping menguraikan sejarah singkat tentang Langen Mandrawanara, perkembangannya sampai saat ini, termasuk lembaga-lembaga yang berusaha untuk mengembangkannya (seperti ISI Yogyakarta), juga memuat beberapa cerita Langen Mandrawanara, dengan dialog-dialongnya, notasi gendhing, nama-nama tokoh dan lain-lain. Cerita tersebut antara lain Triangga Ngenger, Kumbakarna Gugur, Rama Tambak dan Brubuh Alengka.

Teks : Kusalamani




Artikel Lainnya :



Bale Inap Bale Dokumentasi Bale Karya Bale Rupa Yogyakarta